Sumbawa, PSnews – Cukup banyak masyarakat yang mengeluhkan lamanya pelayanan penerbitan sertifikat tanah yang dilakukan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa. Bagi yang berpengalaman mengurus sertifikat, setiap menyebut BPN Sumbawa selalu mencibirkan bibir. Bahkan ada sebagian yang meludah, karena sering dikecewakan dengan cara kerja institusi terkait dalam melayani penerbitan tanah milik masyarakat. Lambannya penyelesaian sertifikat tak pelak menimbulkan dugaan bahwa kondisi itu sengaja diciptakan untuk membuka ruang permainan busuk dalam pengurusan sertifikat tanah.
Padahal menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2010, untuk tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 hektar maksimal 57 hari. Artinya sertifikat hak milik (SHM) ini harus selesai tidak lebih dari 2 bulan. Kenyataannya, aturan itu tidak berlaku di BPN Sumbawa, karena ada yang sampai bertahun-tahun. Sehingga patut diduga ada oknum bermain dalam proses penerbitan sertifikat di BPN Sumbawa.
Seperti yang dialami Tini Kustiati – warga Labang 1 Kecamatan Labangka. Sejak mengurus sertifikat atas lahan pertaniannya seluas 4,8 hektar di Labangka IV pada Tahun 2013 lalu hingga memasuki pertengahan 2018, sertifikat tersebut belum terbit. Uang habis dan waktu tersita bolak balik Labangka – BPN, hanya untuk mengurus persyaratan yang tidak masuk akal dan terkesan diakal-akali oleh oknum BPN. ‘’Padahal saya waktu itu memilih pengurusan sertifikat kilat di BPN,’’ terang Wati – sapaan akrabnya.
Wati membeberkan, pada tahun 2013, dia mengurus sertifikat atas namanya. Saat itu pihak BPN mematok biaya untuk pengurusan kilat sebesar Rp 12 juta. Katanya, luas tanah dibagi dua dan diterbitkan dua sertifikat masing-masing senilai Rp 6 juta, Rp 3 juta diserahkan secara tunai dan Rp 9 juta ditransfer via ATM. Namun hingga beberapa kali Kepala BPN sudah berganti wajah sampai 2018 ini, sertifikat tersebut belum juga terbit. Alasannya oknum di BPN macam-macam.
Setahun berselang, BPN mengatakan jika sertifikat itu belum bisa diterbitkan. Alasannya karena ada pencegatan dari PT SAL. Menurut Wati, PT SAL telah membebaskan lahan milik masyarakat di lokasi tersebut kecuali lahan miliknya seluas 4,8 hektar. Oleh BPN, dia diminta untuk meminta surat rekomendasi dari PT SAL yang menyatakan jika lahan 4,8 Ha itu tidak termasuk yang dibebaskan. Setelah ada rekomendasi itu, BPN berjanji akan menerbitkan sertifikat. Upaya untuk mendapatkan rekomendasi itu berjalan alot. Hingga dua tahun lamanya akhirnya rekomendasi yang diminta BPN diantar utusan PT SAL, yang menyatakan lahan milik Wati tidak termasuk di dalamnya. Rupanya sertifikat belum juga terbit. Bolak-balik ditanya, BPN mengaku masih dalam proses dan tidak memberikan jaminan waktu kapan akan selesai. Padahal saat itu sudah berselang dua tahun pasca rekomendasi PT SAL.
Ketika terus didesak, BPN kembali menyatakan jika tanah itu bermasalah. Ada surat pencegatan dari ahli waris berinisial HZ, yang merupakan putra dari H Murad—ayah kandung Wati dari istri pertama. Tapi surat pencegatan itu terbantahkan karena H. Murad kala itu masih hidup (meninggal dunia bulan September 2017 lalu dalam usia 125 tahun). Terlebih lagi sudah ada surat hibah dari H Murad kepada Wati atas persetujuan saudara-saudaranya. Surat hibah itu diterbitkan Notaris Joko Derpo Yuwono, SH.
Alasan BPN ini tidak mempan. Namun BPN lagi-lagi mengaku sertifikat itu masih dalam proses dan berjanji seminggu akan terbit. Sebulan berselang tidak ada kabar, Wati kembali mendatangi BPN. Oleh petugas BPN, Lalu Syamsidar dan Fataruddin SH, mengatakan tanah itu bermasalah. Terjadi tumpang tindih dengan tanah di sampingnya.
Usut punya usut ternyata tanah milik Wati diambil oleh HF pemilik lahan di samping tanah tersebut. Luasnya hanya 8 are. Lalu Syamsidar dan Fataruddin meminta agar masalah itu diselesaikan karena hanya inilah yang menghambat sertifikat tersebut belum bisa diterbitkan. Tidak membutuhkan waktu yang lama masalah itu tuntas, dengan adanya surat pernyataan dari HF. Rupanya janji BPN hanya bualan semata. Buktinya sertifikat tersebut tak kunjung diterbitkan.
Kali ini Lalu Syamsidar dan Fataruddin beralasan prosesnya ada di bagian pengukuran. Wati bersama keluarganya pun melabrak Wayan pejabat bagian pengukuran, meminta klarifikasi atas tertundanya proses sertifikatnya diterbitkan. Alasan tidak masuk akal diberikan Wayan. Wayan meminta Wati mendapatkan tandatangan beberapa orang, seraya menyodorkan nama-nama orang tersebut. Setelah diteliti, nama orang-orang yang diperlihatkan Wayan, bukan pemilik lahan yang berada mengelilingi lahan milik Wati. Padahal sudah ada tandatangan PT SAL selaku pemilik tanah sebagaimana permintaan BPN sebelumnya.
Setelah terjadi perdebatan panjang, akhirnya Wayan menerima dan memprosesnya serta mengajukan berkas sertifikat itu kepada Kepala BPN, Ketut Diktasari SH MH agar diterbitkan SK. Sehingga Wati dan keluarganya bertemu dengan Kepala BPN yang kala itu didampingi Fataruddin SH dan Azis. Kepala BPN memutuskan dan memerintahkan jajarannya untuk cek lokasi. Namun menurut Wati cek lokasi ini mestinya tidak perlu dilakukan, sebab sebelumnya sudah dilakukan dan tidak ada persoalan, clear and clean. Kepala BPN meminta waktu satu minggu untuk menyelesaikannya. Dalam rentang waktu seminggu ini, Wati banyak mendapatkan informasi bahwa orang-orang yang diduga berafiliasi dengan mafia tanah mulai bergerak, mengintervensi oknum-oknum tertentu. Ada yang mendatangi pihak pertahanan, ada juga yang mendatangi pihak pemerintah desa, bahkan Notaris.
Setelah seminggu waktu yang dijanjikan Kepala BPN, tiba-tiba Fataruddin SH menghubungi Wati menginformasikan bahwa tanah itu bermasalah. Fataruddin menghubungi Wati sekitar pukul 22.00 WITA. Katanya, tanah itu telah terjual seluas 2 hektar, dibuktikan dengan adanya akta jual beli yang dikeluarkan oleh Notaris I Gede Sarwada SH M.Kn, tertanggal 11 Oktober 2013. “Ini aneh setiap sertifikat itu hampir selesai, pasti ada saja informasi yang diberikan oknum BPN. Mereka sepertinya berusaha untuk tidak menerbitkan sertifikat. Kenapa ini semua muncul setelah ayah kami meninggal dunia? Kami semakin curiga sengaja proses sertifikat ini diulur-ulur sampai ayah kami meninggal dunia,’’ tutur Wati.
Dari data yang diperoleh, tanah 2 hektar itu dijual oleh Lalu Puji Artha. Lalu Puji artha mengaku menerima surat kuasa menjual dari H Murad. Tanah itu dijual kepada Ir. IGN Oktavianus Arif Subagio pada tahun 2013. Padahal sepengetahuan Wati, ayahnya saat itu tidak pernah memberikan surat kuasa, apalagi kepada orang yang tidak memiliki hubungan kerabat. Ayahnya saat itu sudah sakit dan tidak bisa menandatangani sesuatu. Hanya melakukannya dengan cap jempol.
Anehnya lagi, ketika lahan seluas 4,8 hektar itu diukur pihak pertanahan pada tahun 2014 lalu menyusul diajukannya permohonan sertifikat atas namanya (Tini Kustiati), hadir Lalu Pujiartha dan orang-orang yang terlibat dalam jual beli lahan itu sebagaimana tertuang dalam Akta Jual Beli. Tapi mereka tidak memprotes atau mengatakan jika sebagian tanah itu sudah dijual. Selain itu tidak pernah ayahnya menerima uang penjualan tanah itu. Ibunya saat ini masih hidup, segar bugar juga tidak pernah menandatangani apapun. Termasuk tidak pernah memberikan surat persetujuan adanya surat kuasa tersebut. Apalagi pernah menerima uang hasil penjualan. “Saya pastikan semua tanda tangan ayah dan ibu saya dipalsukan,’’ tukasnya.
Notaris I Gede Sarwada SH M.Kn yang ditemui mengakui adanya akta jual beli itu. Namun berdasarkan kwitansi, pembelian tanah itu masih sebatas uang muka senilai Rp 28 juta dari Rp 100 juta seluas 2 hektar. Dalam pengurusan akta jual beli ini, dilengkapi sejumlah persyaratan yakni foto copy KTP H Murad dan istrinya Siti Rahma. Ada juga surat kuasa yang ditandatangani H Murad dan disetujui istrinya, Siti Rahma. Gede mengaku tidak melakukan verifikasi dengan mendatangi H. Murad dan istrinya. Selain itu tidak ada dokumen berupa foto yang memperlihatkan H Murad menandatangani surat kuasa. “Ketika persyaratan itu lengkap, kami proses. Kami tidak perlu melakukan cek and ricek apakah surat kuasa atau dokumen lainnya dipalsukan atau tidak,’’ kata Gede
Gede juga enggan memperlihatkan berkas pengajuan akta jual beli tanah itu, dengan alasan sudah menjadi dokumen negara dan bersifat rahasia. Namun yang mengejutkan pengakuan Notaris Gede, jika sebelumnya dia sudah dihubungi Fataruddin SH dari pihak pertanahan untuk tidak memberikan penjelasan kepada Wati dkk terkait proses akta jual beli.
Setelah mendapat penjelasan dari Notaris, Wati dkk beranjak ke kantor BPN Sumbawa. Di sana Wati diterima Kepala BPN lagi-lagi didampingi Fataruddin dan Azis. Dari penjelasan Wati, Kepala BPN baru mengetahui jika jual beli itu masih sebatas uang muka. Selain itu batas-batas tanah yang dijual itu tidak sinkron. Artinya obyek tanah yang dijual sebagaimana tercantum dalam akta jual beli sebenarnya tidak ada. Wati meminta BPN menolak segala hal yang tidak jelas dan segera memproses sertifikat itu. Kepala BPN termasuk Fataruddin meminta Wati agar mendapatkan tandatangan Kepala Desa Labangka IV.
Dengan adanya tandatangan itu, sertifikat dapat diproses. Akhirnya, Rabu, 2 Mei 2018, tandatangan Kades Labangka IV itu diserahkan Wati kepada Fataruddin. Saat yang sama, Fataruddin mengaku proses sertifikat itu masih bermasalah, sebab ahli waris HZ mengajukan pencegatan. Katanya, surat pencegatan itu masuk 4 hari lalu. Tapi ketika Wati meminta agar memperlihatkan surat pencegatan, Fataruddin mengaku belum melihatnya karena ada di Lalu Syamsidar. Wati pun menghubungi Lalu Syamsidar. Lalu Syamsidar mengaku surat itu ada di Fataruddin. Lalu Syamsidar juga mengaku belum sempat membaca surat pencegatan. “Ini hanya akal-akalan oknum-oknum BPN. Indikasinya dari awal sudah sangat jelas,’’ tukas Zainuddin – kerabat Wati yang terus mendampingi selama proses pengurusan.
Wati pun terus berupaya menghubungi pihak sengketa tanah di BPN. Petugas setempat mengaku belum menerima surat pencegatan itu. Menurut petugas sengketa ini, mereka tidak serta merta mengakomodir setiap surat pencegatan yang masuk. Harus disertai bukti-bukti agar nantinya disandingkan dengan bukti yang dimiliki pemohon sertifikat.
Yang mengherankan Wati, mengapa pertanahan terus mengakomodir hal-hal yang tidak jelas. Padahal pencegatan dari orang yang mengaku ahli waris ini sudah pernah ada dan dianulir. Hal ini mengingat Wati memiliki surat hibah yang diterbitkan notaris Joko. “Ini harus dibongkar, sepertinya ada yang tidak beres,’’ pungkasnya. (PSg)
perlu bantuan untuk menyelesaikan sertifikat tanah yang bermasalah merasa dibohongi orang2 Bpn katanya klo sudah diberi uang bisa cepat slesai, ternyata seteleh uang diterima masih belum slesai dengan alasan masih direfisi gak pernah habis, seperti gak ada dosa, scuritinya seperti melindungi para penipu juga. ya smua saya anggap ujian dari Allah yang gak pernah tidur.
saya sebetulnya perlu bantuan dari siapa saja untuk menyelesaik sertifikat tanah yang sudah saya wakafkan untuk mushola dikampung saya yang belum ada musholahnya, syarat2 suratnya sudah lengkap bayar pajaknya juga sudah lunas ,salah satu petugasnya pun ato pakek nama p.Nius minta uang sudah tak beri sesuai kesepakatan katanya ada uang pasti cepat jadi ternyata sampek sekarang belum slesai setiap saya ke Bpn jawabnya masih direfisi, slalu saya merasa dibodohi dibohongi meskipun p.Jokowi pernah datang waktu saya ke Bpn hasilnya tetap, scuritinya juga tetap melindungi seperti melindungi para maling kok seperti gak ada dosa ya, gak buta pura2 buta, saya gak kaya hanya punya tanah sejengkal cukup untuk mushola, tapi dipersulit sertifikatnya smua aku serahkan kepada Allah,seandainya ada yang membantu saya ucapkan trimakasih, dengan do’a smoga dilapangkan jalan hidupnya & rezekinya, amin. otak saya sekarang seperti buntu bagaimana & bagaimana.