Oleh : Iwansyah
(CEO Suara Literasi Perawat Indonesia)
Perawat adalah profesi dengan garda terdepan dalam pelayanan kesehatan sudah seharusnya mampu memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal dengan didukung oleh pendidikan keperawatan yang professional. Pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesional, diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang menguasai pengetahuan dan ketrampilan profesional dibidang keperawatan serta memiliki dan menampilkan sikap profesional. Tenaga perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memegang peranan penting dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Bahkan WHO menyatakan perawat merupakan “back bone” untuk mencapai target-target global, nasional maupun daerah.
Oleh karena itu dunia kerja di bidang keperawatan membutuhkan sosok yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya. Standar pendidikan keperawatan Indonesia yang ditetapkan oleh Dikti menyatakan, seorang dinyatakan lulus sebagai perawat jika sudah menyelesaikan pendidikan keperawatan sesuai aturan yang ditetapkan dan dibuktikan dengan ijazah dari institusinya. UU Keperawatan No. 38/2014 Pasal 12 Ayat 1 menyebut, pendidikan tinggi keperawatan menuntut kinerja lulusan harus sesuai mutu yang telah ditetapkan. Lulusan pendidikan keperawatan memiliki ciri penguasaan kompetensi termasuk hard skill dan soft skill sesuai jenjang pendidikannya dan dibuktikan melalui kinerjanya di dunia kesehatan. Sedangkan lulusan dikatakan kompeten jika sudah mengikuti uji kompetensi dan mendapatkan Surat Tanda Register (STR) yang dikeluarkan oleh MTKI.
Untuk mencapai hal tersebut paling awal dan penting harus dilakukan adalah menata pendidikan keperawatan, sehingga mahasiswa keperawatan mendapatkan pendidikan dan pengalaman belajar sesuai tuntutan kompetensi profesi keperawatan. Proses pergeseran ini menjadikan dua sistem “lama dan baru” itu harus dikombinasikan dalam sistem pendidikan yang mengkombinasikan peran institusi pendidikan dan peran lahan praktek yang mendukung pencapaian kompetensi yang diharapkan. Upaya penataan system dapat dilakukan melalui pengembangan lama praktek keperawatan, disertai dengan terbinanya masyarakat profesional keperawatan (Profesional Comunity) untuk pelaksanaan pengalaman belajar klinik (PBK) dan pengalaman belajar lapangan (PBL) yang benar.
Namun demikian, dalam realitas praktiknya, supervisi para pembimbing terhadap mahasiswa yang sedang melakukan praktik lapangan belum maksimal dan belum mampu mengaplikasikan pengalaman lapangan untuk mengembangkan skill mahasiswa. Selain itu, intensitas kunjungan sangat jarang, bisa jadi seminggu atau sebulan sekali. Padahal, semestinya pendidikan keperawatan dalam upayanya mempersiapkan calon profesional di bidang keperawatan, menyadari ada kondisi lain yang harus diperhatikan selain kompetensi, yakni proses pendidikan profesional.
Bagaimana cara mempertemukan mahasiswa dengan proses pendidikan profesional? Peranan seorang Clinical Instructure (CI) sangat penting dalam setiap tahapan praktikum mahasiswa sejak di tatanan laboratorium sampai tatanan klinik atau kerja lapangan. Namun kemahiran mahasiswa keperawatan terhadap dunia profesinya belum tercukupi oleh institusi pendidikan. Padahal calon lulusan perawat tidak saja harus mampu melakukan nursing treatment, tetapi juga dapat berkolaborasi dengan tim medis untuk pemberian farmakologi. Jadi tidak semata berfokus pada pekerjaan profesinya, tetapi perawat juga dituntut memahami profesi terkait hal-hal lainnya sehubungan dengan pelayanan kesehatan.
Praktik lapangan merupakan stimulus program ini direalisasikan. Semisal dari hasil supervisi pembimbing terhadap observasi dan eksperimen mahasiswa praktik menemukan masalah, tidak lantas dikaitkan dengan standar institusi pendidikan tersebut. Ada baiknya, hal itu dijadikan rumusan permasalahan yang kelak dijadikan contoh-contoh kasus hingga akhirnya dibakukan.
Keberadaan bimbingan klinik dalam suatu praktek klinik merupakan suatu hal yang mutlak karena pembimbing pada praktek klinik sangat mempengaruhi perkembangan kemampuan pengetahuan, ketrampilan dan sikap dari calon lulusan keperawatan.. Selain itu pembimbing klinik /Clinical Instructor (CI) merupakan sumber motivasi bagi mahasiswa keperawatan untuk mencapai tujuan praktek. Disamping itu pembimbing juga dapat menilai apakah teori-teori yang didapatkan dikelas dapat diterapkan dalam situasi nyata kepada klien, dan apakah rencana praktek keperawatan benar-benar dapat dilaksanakan. Sehingga seorang pembimbing klinik /Clinical Instructor (CI) adalah seorang perawat yang mempunyai pemahaman konsep keperawatan, sehingga trampil sebagai pengajar dan mempunyai komitmen sebagai pembimbing klinik yang benar-benar memahami peran dan fungsinya dalam membantu kegiatan mahasiswa, yaitu pertama sebagai Educator (pendidik), kedua sebagai care giver (pelaksana), ketiga sebagai Role model (model contoh).
Karena itu, butuh dukungan dari kedua belah pihak, baik institusi pendidikan maupun institusi kerja keperawatan untuk saling memahami persoalan tersebut. Sebagai mahasiswa, mereka dituntut untuk memenuhi kompetensi yang diminta institusi pendidikannya. Sebagai calon tenaga kerja, mereka dituntut untuk mengikuti prosedur dan sistem yang berlaku di dunia kerjanya. Dari kedua tuntutan tersebut, mahasiswa berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang siap dipergunakan untuk dunia kerjanya kelak. Sebab mahasiswa keperawatan merupakan aset dalam sistem pelayanan kesehatan.
Mahasiswa keperawatan juga harus memahami bahwa kunci dari pelayanan kesehatan yang baik adalah komunikasi yang efektif. Di mana, seorang pasien harus diposisikan sebagai subjek dan bukan objek praktik. Namun dalam praktiknya di lapangan, tidak jarang mereka mengabaikan hal tersebut. Bahkan tercatat di Joint Commission Perspectives on Patient Safety, vol. 2 No. 9, bahwa 63 persen dari JCAHO (organisasi akreditasi RS di Amerika) bahwa kejadian komunikasi yang buruk adalah akar penyebab masalah.
Hal itu yang tidak termasuk dalam standar di institusi pendidikan tinggi dan terjadi di praktik pelayanan kesehatan. Seharusnya ada jalur komunikasi yang andal untuk menelaah persamaan persepsi dan komunikasi interpersonal terhadap pemecahan masalah tersebut. Jika institusi pendidikan bersikukuh dengan standar pendidikan keperawatan saja tanpa mengenalkan sejak dini dunia kerja keperawatan, dikhawatirkan lulusan keperawatan butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan hal-hal profetik lainnya di lingkungan kerja. Meski hal ini wajar terjadi, namun ini akan berdampak pada kualitas lulusan dan pasien tentunya. (***)