OPINI
“Antara Kelalaian Angkasa Pura Dengan Pembiaran Pemprov NTB”
Sejarah transportasi udara di Lombok, Nusa Tenggara Barat diawali dengan dibangunnya Pelabuhan Udara Rembiga pada tahun 1956 dengan fasilitas Landasan 1.200 m x 30 m yang diperpanjang menjadi 1.400 m x 30 m pada tahun 1958 dan 1.850 m x 40 m pada tahun 1992. Bandara tersebut diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959 dengan nama Pelabuhan Udara Rembiga. Nama Pelabuhan Udara Rembiga berubah menjadi Bandar Udara Selaparang dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.61/1994 tanggal 30 Oktober 1994 dan pada 1 Oktober 1995 Bandar Udara Selaparang pengelolaannya diambil alih oleh Angkasa Pura Airports yang hari ini bernama PT. Angkasa Pura (Persero) sesuai BA.AU.9819/UM.114/95 dan BA.85/HK.50/1995-DU tanggal 3 Oktober 1995.
Seiring dengan beroperasinya Bandar Udara Selaparang, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi NTB mengkaji tentang kemungkinan pembangunan Bandara baru pada awal tahun 1992. Melalui proses yang panjang dan diwarnai konflik antara pemerintah yang menggunakan kekuatan militeristik dengan petani di Tanak Awu yang tidak setuju terhadap pembangunan Bandara baru yang dibangun di atas lahan produktif +/- 500 hektar, dalam kurun waktu 1995/1996 sampai dengan 2005/2006. Kasus Konflik Petani Tanak Awu sempat mencuat menjadi kasus nasional, melibatkan banyak pihak dalam merespon gerakan sosial warga Desa Tanak Awu Kabupaten Lombok Tengah dan para pendamping, misalnya NGO dan Mahasiswa. Hingga kasus konflik petani di Tanak Awu ini menjadi catatan sejarah yang cukup penting di kalangan aktivis Reforma Agraria di NTB karena memakan korban yang cukup banyak di kalangan petani dan aktivis di daerah ini.
Namun mahalnya pengorbanan yang berdarah-darah dari petani Tanak Awu dalam mempertahankan tanahnya melawan kepentingan penguasa untuk pembangunan bandara baru yang selanjutnya diberi nama Bandara Internasional Lombok (BIL) pada waktu itu, tidak berbanding lurus dengan manfaat yang diperoleh oleh masyarakat setempat, bahkan umumnya masyarakat NTB pada konteks kemanfaatan dan kontribusi BIL dalam menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Nusa Tenggara Barat hari ini.
Adalah berawal dari lahirnya Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan PT. Angkasa Pura I (Persero) No. 415.43/001.A/2009, 05/SP/Hk.06.03/2009/PP-BIL, tentang Kerjasama Pembangunan dan Pemanfaatan Sebagian Fasilitas Fisik Sisi Udara Bandar Udara Internasional Lombok Baru di Kabupaten Lombok Tengah, berupa Apron, Taxiway, Pelataran GSE, Inspection Road dan Halipad dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 110.000.000.000,- disertai hak dan kewajiban para pihak. Baik pada tahap persiapan pembangunan (pasal 5), tahap pelaksanaan (pasal 6), tahap pengelolaan dan pengoperasian (pasal 7), serah terima operasional hasil pembangunan (pasal 8), jangka waktu perjanjian (pasal 9), kontribusi tetap (pasal 10), berakhirnya perjanjian (pasal 12), sanksi (pasal 13), dan lain-lain hingga pemberitahuan pada pasal (17) dan (18).
Nampak sangat jelas dalam Perjanjian Kerjasama yang ditandatangani oleh Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi, MA dan Direktur Utama PT. Angkasa Pura I, Bambang Darwoto tersebut, terkesan manipulatif dan tidak fair, karena menempatkan Pemprov NTB pada posisi yang sangat lemah, sementara pihak PT. Angkasa Pura I ditempatkan pada posisi yang selalu diuntungkan. Hal ini sangat jelas terbaca dalam Akta Perjanjian Kerjasama, yang mana dalam pasal mengenai sanksi, hanya menyebutkan sanksi secara jelas terhadap kelalaian yang dilakukan oleh pihak Pemprov NTB saja. Sementara sanksi kelalaian yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura I, tidak terdapat satupun uraian dan kejelasan pasal yang mengatur. Meskipun kelalaian dimaksud dilakukan secara sengaja dan merupakan kewajiban pihak PT. Angkasa Pura I terhadap hak mutlak Pemerintah Provinsi NTB, seperti hak Pemprov NTB untuk mendapatkan kontribusi tetap, sebagaimana ketentuan pasal 3 ayat (4), pasal 7 ayat (1) huruf a, ayat (4) huruf a, Pasal 10 ayat (1) dan (2).
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 8 Agustus 2011, lahirlah Berita Acara No. 050/658.A/UM/2011, BA.313/0B.01.08/2011/DU, tentang Serah Terima Operasional Sementara Hasil Pembangunan Sebagian Fasilitas Fisik Bandar Udara Internasional Lombok yang dilaksanakan oleh Pemprov NTB, yang terdiri dari Apron, Taxiway, Pelataran GSE, Inspection Road dan Helipad, senilai Rp. 109.490.813.500,-. Terjadinya serah terima ini merupakan pelanggaran serius yang sangat fatal terhadap ketentuan pasal 8 ayat (2) Perjanjian Kerjasama di atas. Karena tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, dan dengan begitu mudah dan gampang, menyerahkan aset daerah kepada pihak lain dengan melanggar dan mengabaikan Perjanjian Kerjasama yang telah mengikat kedua belah pihak. Yang mana dalam pasal 8 ayat (2) Perjanjian Kerjasama tersebut diamanatkan, “ bahwa sebelum pelaksanaan serah terima operasional, kedua belah pihak terlebih dahulu wajib menunjuk Badan Penilai Independen untuk melaksanakan appraisal terhadap hasil pembangunan, sebagai dasar atas nilai investasi yang diakui, dan nilai tersebut akan digunakan sebagai acuan oleh Pihak Kedua (PT. Angkasa Pura I) dalam perhitungan pemberian Kontribusi Tetap kepada Pihak Pertama (Pemprov NTB)”.
Pemprov NTB dan PT. Angkasa Pura I (Persero) telah lalai dan mengingkari untuk merealisasikan amanat Perjanjian Kerjasama tersebut, khususnya pasal 10 tentang Kontribusi Tetap, yang mana pada prinsipnya mengamanatkan kedua belah pihak untuk segera menyepakati dan menandatangani Perjanjian Pemberian Kontribusi Tetap, selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan setelah ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima Operasional, atau selambat-lambatnya sampai tanggal 8 Agustus 2012. Namun hal tersebut diabaikan, bahkan terjadi pembiaran, sehingga kewajiban PT. Angkasa Pura I tidak pernah dilaksanakan dan direalisasikan hingga hari ini. Hingga belakangan ini muncul wacana dan usulan Gubenrnur NTB untuk melakukan pemindah-tanganan/pelepasan/penjualan langsung asset milik Pemprov di kawasan BIL kepada PT. Angkasa Pura I.
Akibat dari kelalaian dan pembiaran tersebut di atas, Pemprov NTB mengalami kerugian dalam konteks pendapatan daerah yang bersumber dari Kontribusi Tetap Pemanfaatan dan Pengoperasian Fasilitas Fisik milik Pemprov NTB di kawasan BIL, karena tidak pernah masuk ke dalam asumsi rencana Pendapatan APBD NTB, sejak ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima Operasional tersebut, tanggal 8 Agustus 2011 hingga Tahun Anggaran 2016 ini. Bila dihitung asumsi rencana Pendapatan Daerah yang seharusnya masuk ke dalam Pos Pendapatan Daerah yang bersumber dari Kontribusi Tetap dari Pemanfaatan dan Pengoperasian Fasilitas Fisik Milik Pemprov NTB di Kawasan BIL oleh PT. Angkasa Pura I, sebesar antara Rp. 3-5 Milyar per tahun, maka sejak Tahun Anggaran 2012 hingga 2015, asumsi kerugian daerah akibat kelalaian dan pembiaran yang dilakukan Pemprov NTB dan PT. Angkasa Pura I tersebut, mencapai nilai antara Rp. 12 Milyar – 20 Milyar.
Sebagai putra daerah dan warga negara tentu kita merasa terpanggil untuk mengingatkan Pemerintah Provinsi NTB dan PT. Angkasa Pura I dalam persoalan ini. Karena kasus seperti ini juga pernah terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Dalam kerja sama Pemprov Kalsel dengan PT. Angkasa Pura I (Persero) tentang pemanfaatan, pengelolaan dan pengoperasian hingga pelepasan asset milik Pemprov Kalimantan Selatan di kawasan Bandar Udara Syamsuddin Noor Banjarmasin. Kasus tersebut telah memakan “korban” yang cukup banyak di kalangan para pejabat di jajaran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, di antaranya, mantan Sekda Pemprov Kalsel, Prof. Dr. Ir. Ismet Ahmad, M.Sc, mantan Kadishubkominfo Kalsel,
H.Helmi Indra Saigun, SH, dan mantan General Manager PT. Angkasa Pura I Kantor Cabang Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin, Drs. Gerrit N Mailenzum. Di samping itu ada beberapa nama mantan pejabat tinggi daerah setempat yang diduga turut terlibat dengan permasalahan ini, kini dalam pemeriksaan intensif aparat penegak hukum, di antaranya mantan Gubernur Kalsel H.M. Sjachrien Darham, mantan Kadis Kimpraswil Ir. Saffek Efendi, mantan Kepala Bappeda Ir. Syarifuddin Basri, mantan Pimpinan DPRD Kalsel H. Syamsuri Darham, dan lain-lain.
Para pejabat tersebut di atas, didakwa melanggar Pasal 2 Jo Pasal 3 Jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana mereka diproses hukum sesungguhnya bukan karena proses pelepasan asset semata, melainkan disebabkan oleh “kelalaian” dan sikap “pembiaran” yang dilakukan karena tidak terlaksananya butir-butir Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerjasama, khususnya menyangkut hak Pemprov Kalsel untuk mendapatkan Kontribusi Tetap dari PT. Angkasa Pura I yang tidak dapat terealisasi sesuai perjanjian, yeng mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan daerah.
Berdasarkan uraian di atas kami menyampaikan beberapa poin pernyataan sikap :
- Pemprov NTB perlu mengambil langkah kebijakan, serta sikap tegas untuk menjaga wibawa Pemprov NTB dan masyarakat NTB terkait dipatuhinya hak-hak Pemprov NTB oleh PT. Angkasa Pura I untuk mendapatkan Kontribusi Tetap, serta segera mendesak PT. Angkasa Pura I untuk segera merealisasikan kewajibannya, sebagaimana diatur dan diamanatkan dalam Perjanjian Kerjasama Nomor : 415.43/001.A/2009, 05/SP/Hk.06.03/2009/PP-BIL, tanggal 11 Agustus 2009.
- Meminta kepada Gubernur NTB untuk meninjau ulang surat Gubernur NTB Nomor : 415/33/KESDA, tanggal 8 Januari 2015 tentang persetujuan atas rencana pembelian aset milik Pemprov NTB di Kawasan BIL oleh PT. Angkasa Pura I, sampai terlaksananya kewajiban PT. Angkasa Pura I membayarkan Kontribusi Tetap kepada Pemprov NTB terhitung dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015.
- Meminta kepada pihak PT. Angkasa Pura I (Persero) untuk segera melaksanakan kewajibannya untuk memberikan Kontribusi Tetap/Bagi Hasil/Deviden kepada Pemprov NTB sesuai amanat Kontrak Perjanjian Kerjasama tersebut di atas.
Oleh : Amilan Hatta – Direktur Eksekutif Lembaga Analisis dan Kajian Kebudayaan Daerah (LINKKAR) NTB. No HP : 082147898634/087863934034 ; Email : milano_poto@yahoo.co.id