OPINI : Fesmo yang Gagal atau Sumbawa yang Dianaktirikan?

Oleh :  Imron Fhatoni
(Ketua IKPPM EMPANG)

Kabupaten Sumbawa tidak masuk dalam kegiatan Sport Tourism NTB 2017. Dalam kegiatan yang masuk dalam kalender wisata NTB ini, dilaksanakan tujuh item pariwisata di sejumlah Kabupaten/Kota se-NTB. Namun Kabupaten Sumbawa tidak masuk dalam daftar lokasi pelaksanaannya.

Melihat hal ini, sejumlah tokoh mulai mempertanyakannya. Baru-baru ini protes itu datang dari Wabup Sumbawa H. Mahmud Abdullah. Beliau mempertanyakan mengapa Sumbawa tidak masuk dalam kegiatan tersebut. Padahal menurutnya, Kabupaten Sumbawa adalah salah satu daerah yang juga banyak diminati oleh wisatawan.

Ada juga yang mengatakan bahwa seharusnya Dispora Prov. NTB seharusnya mengkaji ulang kembali keputusan ini. Mereka beranggapan bahwa Sumbawa harus mendapat tempat dalam kalender wisata NTB. Di Sumbawa, objek-objek wisata seperti Pulau Moyo patut diperhitungkan. Belum lagi agenda tahunan Festival Moyo (Fesmo)yang rutin dilaksanakan.

Beberapa waktu lalu Sumbawa memang telah menggelar Fesmo sebagai agenda tahunannya. Salah satu muatan dari kegiatan ini adalah menggaet wisatawan sebagai upaya dalam pengembangan sektor kepariwisataan. Kegiatan ini memuat beragam konten yang menarik seperti pacuan kuda, karapan kerbau dan berbagai event olahraga lain.

Ketika itu dalam pelaksanaannya Fesmo memang menuai banyak kritikan. Tapi kegiatan ini tetap berlangsung meriah. Ada yang mengatakan bahwa festival ini tidak sesuai target, sehingga palaksanaannya tak perlu dilakukan untuk tahun-tahun berikutnya.

Jika ditelisik lebih dalam, memang sejauh ini Fesmo yang diharapkan mampu menjadi pendobrak pertumbuhan ekonomi melalui sektor kepariwisataan belum menapaki jalan yang sebenarnya. Jauh jika dibandingkan kegiatan semacam Festival Bau Nyale di Lombok yang gemanya mampu menyihir para kulit putih untuk berdatangan.

Kini Pemerintah Kabupaten Sumbawa kembali diuji. Benarkah Fesmo adalah produk gagal? Mengapa kegiatan besar dengan anggaran milyaran rupiah semacam ini tak membawa dampak yang signifikan bagi dunia pariwisata kita. Jika benar demikian, mengapa pagelaran akbar tahunan itu tetap dipertahankan? Atau bisa jadi Sumbawa memang dianaktirikan dalam pembangunan di NTB.

Sejalan dengan itu, salah seorang anggota DPR Provinsi NTB asal Sumbawa juga pernah mengatakan hal serupa. Dia menilai bahwa RAPBD 2017 tidak pro terhadap Sumbawa. Kompisisi anggaran tidak mencerminkan pemerataan pembangunan di Provinsi NTB. Bahkan pulau Sumbawa dianggap sebagai anak tiri pembangunan.

Di mata saya, semuanya memang tidak terlepas dari segala bentuk kepentingan. Mengingat politik adalah pasar yang di dalamnya menampung semua orang dengan kepentingan yang berbeda.

Namun terlepas dari dua kemungkinan ini, Fesmo selanjutnya harus dipersiapkan secara matang dan terperinci. Pemerintah dituntut kreatif dalam mengolah pagelaran ini mengingat besarnya anggaran yang digunakan dalam pelaksanaannya. Jangan sampai Fesmo hanya menjadi ladang bisnis bagi sebagian kelompok dan golongan. Sementara masyarakat disihir dengan merdunya alat tabu yang menidurkan analisa. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment