Arief : Sultan adalah Marwah Budaya Sumbawa

(Bagian Kedua)
Oleh
Didin Maninggara

Drs. Arif, M.Si dikenal sebagai salah satu pejabat karir di lingkup Pemerintah Kabupaten Sumbawa, dan kini sebagai Kepala Badan Kesbangpoldagri. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Forum Komunikasi Lintas Etnik (FKEL) Kabupaten Sumbawa, pria kelahiran Kampung Sumbawa (Bima) pada 30 Desember 1960 ini, berbicara tentang makna keberadaan Sultan Sumbawa, yang pada 5 April nanti genap 4 usia penobatannya. Berikut ini petikan penting perbincangannya dengan Didin Maninggara dari Pulau Sumbawa News. ~~~~~

Tanya : Bagaimana Anda melihat etnis pendatang yang sudah menjadi warga Sumbawa?

Drs Arief
Drs Arief, MSi

Jawab : Kalau dilihat dari sisi ketenangan atau kesejukan, tidak berlebihan jika disebut, bahwa saudara-saudara kita di luar etnis Samawa merasa tenang dan terayomi hidup di Sumbawa.

Mereka yang telah beranak pinak menetap di Sumbawa, merasa dirinya totalitas sebagai orang Sumbawa. Bahkan sudah lupa dengan leluhurnya di daerah asal.

Tanya : Bisa disebutkan contoh?

Jawab : O iya, salah seorang di antaranya, yaitu I Wayan Rantak, pemilik Hotel Tambora. Beliau, dikenal luas oleh masyarakat Sumbawa sampai ke pelosok desa, karena dia banyak berbuat untuk memberdayakan masyarakat. Dia merasa dirinya dan keluarganya totalitas sebagai orang Sumbawa.

Tanya : Kenapa begitu kental rasa kesumbawaan mereka?

Jawab : Saya kira ini merupakan fenomena umum bagi warga pendatang dari manapun. Bahwa prinsip, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” yang harus diamini dan diinternalisasikan (dibuyakan) di dalam kehidupan masyarakat etnis pendatang.

Tanya : Dapat dijelaskan korelasi pepatah tadi dalam perspektif adat Sumbawa?

Jawab : Berangkat dari studi empirik oleh Prof. Dr. Muller, Sosiolog Jerman di Sumbawa pada tahun 1983, dia menyimpulkan bahwa etnis asli Sumbawa adalah “the very hospitality people”. Artinya, masyarakat yang sangat santun dan ramah. Masyarakat yang bisa mengobati lukanya sendiri, dan tidak pendendam.

Tanya : Bisa lebih dijelaskan?

Jawab : Kalau dilihat dari banyak kasus empirik, bahwa masyarakat umumnya terbelah-belah karena gesekan antar etnis atau antar kelompok, termasuk perkelahian antar kampung yang acapkali terjadi di beberapa wilayah di NTB. Tetapi, tidak kita saksikan di Sumbawa. Hal itu memberi gambaran yang memperkuat hipotesa bahwa Sumbawa itu tenang, Sumbawa itu damai, Sumbawa itu indah karena keragaman budaya dan sarat harmonisasi. Selain itu, komunitas Samawa amat dikenal memiliki Social Stabiliter yang tinggi.

Tanya : Kenapa begitu?

Jawab : Saya kira, ini lebih bersentuhan dengan budaya ataupun adat Samawa yang sarat akan nilai, misalnya menghormati dan menerima siapapun etnis dari luar.

Tanya : Lalu bagaimana dengan persoalan terjadinya kerusuhan Januari 2013 yang nyaris mengarah ke Tragedi Sumbawa tahun 1980?

Jawab : Kejadian 22 Januari 2013, adalah persoalan dipermukaan, dipicu oleh prilaku dan tingkah laku personal pelaku, bukan oleh dendam atau kebencian. Karena sudah masuk ke ranah hukum, maka masyarakatpun menghormatinya. Sedangkan tragedi “Jembatan Kembar” pada Januari 2014, Kapolres AKBP Karsiman, SIK, MM amat tanggap dan cepat melokalisir dan melakukan pendekatan terhadap keluarga pihak korban.

AKBP Karsiman orientasinya by obyective, langsung pada tujuan, praktis, bahkan by pass, tetapi tidak mengabaikan prosedur, beliau sangat Diskretif. Hasilnya, kita ketahui bersama bahwa penanganan Tragedi itu berakhir di Pengadilan Negeri, yang relatif dinilai adil, sehingga memberi kepuasan kepada keluarga korban. Dampaknya, tidak menimbulkan kerusuhan susulan.

Tanya : Bisa Anda jelaskan peran dan pengaruh Sultan Sumbawa terkait tragedi tersebut?

Jawab : Marwah Sultan sangat nyata dan kuat pada rapat Muspida yang dipimpin oleh bupati dan dihadiri oleh para pimpinan instansi, dan para tokoh informal serta elemen lainnya, detik-detik menjelang Tragedi Januari 2013.

Saat sebagian besar peserta rapat sangat panik dan hanyut oleh fenomena tragedi, di saat itulah Sultan memberi nasehat kepada semua yang hadir: “Peristiwa ini adalah ujian, mari kita istiqomah melaksanakan tugas pokok dan fungsi masing-masing, Insya Allah tangan langit akan meridhoi perjuangan kita, lindunganlah masyarakat”.

Pesan Sultan tersebut menunjukkan makna yang dalam yang dapat diartikulasikan sebagai cerminan tingginya kewibawaan dan kharisma Sultan dalam menyikapi situasi genting yang berpotensi meluluhlantakan pranata sosial dan aspek lain dalam kehidupan masyarakat pada saat itu.

Tanya : Dapatkah dikatakan bahwa keberadaan Sultan siginifikan dalam meredam gejolak sosial tersebut?

Jawab : Amat signifikan, karena figur beliau sebagai pemimpin adat tau dan Tana Samawa dihormati dan ditauladani ucapannya, serta menyemangati kami dalam menanggulangi kerusuhan saat itu. Di samping itu, instruksi bupati kepada kami untuk tetap berkoordinasi, terpadu dan profesional.

Keberadaan Sultan merupakan kebutuhan yang berdimensi kultural dalam perspektif pembangunan, karena kita membangun manusia seutuhnya.

Dengan demikian, peran dan ketokohannya memberi inspirasi agar pembangunan tidak mengabaikan aspek budaya dan nilai. Sebab, budaya dan nilai akan mencerminkan peradaban suatu masyarakat. Wujud dari peradaban tersebut tercermin pada ajaran adat Samawa, yakni “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan Kitabullah” yang dalam praktek sehari-harinya dikenal dengan jargon: “katakit lako nene’, kangila boat lenge”.

Dalam konteks itulah, keberadaan Sultan layak diapresiasi oleh siapapun yang berpijak di Tana Samawa. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment