Perspektif Malthus : COVID-19 Part 2 Ancaman dan Dilema Ekonomi Indonesia?

M. Ridho Rezkita

Mashasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Mataram

Setelah kurang lebih setahun semenjak masa transisi pandemi ke epidemi pada tahun lalu, kasus penyebaran subvarian baru virus COVID-19 kembali marak terjadi di tahun ini. Dilansir dari CNBC Indonesia,  kasus ini kembali meningkat sejak akhir Oktober 2023 dengan kenaikan angka mencapai 267 kasus per minggunya yang semula hanya berkisar 30 sampai 40 kasus. Lonjakan kasus penyebaran virus ini terbilang cukup masif, dan berpotensi besar mengulang kembali era pandemi pada tahun sebelumnya.

Merebaknya penyebaran varian baru COVID-19 seolah  mengisyaratkan agar masyarakat bersiap-siap pada trauma ekonomi yang dulu melanda, seperti kesulitan akses pangan, penurunan pendapatan,  atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini tentu tak hanya berdampak bagi masyarakat, tetapi negara secara tidak langsung juga ikut mengalami stagnasi pendapatan nasional yang mengarah pada kemerosotan ekonomi. Jika berkaca pada tahun lalu, menurut data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, angka kerugian akibat COVID-19 di Indonesia diperkirakan menyentuh Rp 320 trilliun selama kuartal I-2020 (Putri et al., 2020).

Di samping itu, kembalinya pandemi tentu akan mengancam keselamatan banyak orang. Terhitung pada rentang Maret-Mei tahun 2020, total kematian akibat COVID-19 di dalam negeri mencapai 45.652 orang. Meskipun tingkat kasus kematian akibat COVID-19 tersebut menunjukkan angka yang sangat jauh dari total populasi, namun nyawa dan keselamatan tetaplah menjadi aspek berharga dalam konteks hak setiap individu.

Akan menjadi perdebatan yang menarik jika seandainya fenomena kembalinya COVID-19

ini dikaitkan dengan teori kontroversial mazhab Klasik yang diungkapkan oleh Thomas Robert Malthus, yakni teori mengenai pertumbuhan populasi. Dalam tulisannya yang berjudul “An Essay on the Principle of Population”, ia menyatakan bahwa pertumbuhan spesies manusia akan cenderung melampaui pertumbuhan sumber daya yang tersedia (Cypher & Dietz, 2009), yang berakibat pada kemiskinan dan kelaparan. Malthus menyarankan bahwa pertumbuhan populasi perlu dikendalikan untuk menghindari ancaman sosial dan ekonomi tersebut, termasuk melalui cara ekstrim seperti penyebaran wabah penyakit dan epidemi.

Jika pemerintah menjadikan teori ini sebagai rujukan dalam menyikapi kembalinya kasus penyebaran COVID-19 ini, maka pemerintah bisa saja “tega” membiarkan virus ini berkembang. Dikutip dari CNN Indonesia, Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang terbesar populasi dunia, dengan total penduduk mencapai 265 juta jiwa dan akan bertambah 320 juta jiwa pada 2050 mendatang. Fenomena ini secara otomatis akan menjadi perhatian, sebab, dengan angka kemiskinan dan kelaparan di Indonesia yang terbilang cukup tinggi, secara tidak langsung membuktikan rendahnya kemampuan negara dalam menjaga stabilitas ketersediaan dan ketahanan pangan bagi seluruh populasi dalam negeri. Kondisi ini kemudian semakin diperparah dengan adanya tantangan penyebaran subvarian baru COVID-19 di Indonesia.

Dengan mengendalikan jumlah populasi melalui penyebaran wabah ini, pemerintah akan lebih mudah dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan penduduk. Pemerintah memiliki ruang yang lebih luas untuk menata ekonomi dan menjamin ketersediaan pangan yang merata karena populasi yang berkurang. Sebagai negara yang masih tergolong berkembang, populasi yang lebih kecil juga dapat memudahkan pemerintah dalam mengurangi tekanan pada infrastruktur serta peningkatan kualitas pelayanan untuk masyarakat. Hal ini menyiratkan bahwa kenaikan angka kematian akibat COVID-19 seolah-olah mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Fenomena ini seakan-akan membenarkan pendapat Malthus, bahwa pertumbuhan populasi yang eskponensial seharusnya bisa selaras dengan kecenderungan pertumbuhan sumber daya yang linier.

Kendati demikian, teori ini sejatinya tidak akan mungkin diterapkan di Indonesia, karena hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dijamin dalam Undang-Undang. Maka, tak heran jika teori ini dianggap ekstrim dan kontroversial. Membiarkan wabah menyebar adalah sama halnya dengan mengurangi potensi sumber daya manusia bagi negara. Sumber daya manusia memegang peran yang sangat vital dalam sistem perekonomian. Tanpa manusia, tidak ada yang akan menjalankan sistem perekonomian, sehingga, pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment