OPINI : Dari Kompetitor Menjadi Pembantu

Membaca Semiotik Politik Prabowo
Oleh : Ubaidullah
– Ketua Umum PDRI Wilayah NTB,
– Staf Pengajar UNSA

“Sungguh aneh tapi nyata, itulah realita politik yang harus kita terima sebagai bagian dari etape demokrasi yang berjalan penuh liku-liku tapi ada nuansa romantika genit dari para aktor yang melakoninya. Politik memang jarang bisa ditebak arah lajunya, sehingga yang tadinya competitor sekarang menjadi pembantu atau anak buah.”

Ubaidullah

Perlu kiranya, saya memulai tulisan ini dengan merunut kembali awal pertemuan antara presiden terpilih yaitu Jokowi dengan rival politiknya Probowo yaitu di stasiun MRT lebak Bulus Jakarta pada hari sabtu tanggal 13 Juli 2019 lalu. Dari sini menandakan adanya niat baik dari keduanya yaitu melakukan proses rekonsiliasi politik yang membuat situasi Negara pasca pilpres menjadi sedikit adem ayem. Lepas adanya diel-diel politik yang berujung pada prabowo menjadi pembantu presiden. Apresiasi dan dukungan kepada keduanya dalam proses rekonsiliasi tersebut perlu didukung, sehingga polarisasi masyarakat pada akar rumput mulai hilang dan stigma atau terminology cebong dan kampret itu dihilangkang tapi yang ada adalah merah putih. Pasca pertemuan ini iklim politik nasional kita mulai menurun intensitasnya yang tadinya keras dan ganas namun menjadi sedikit lembut. Ini menandakan bahwa kedewasaaan dalam berpolitik perlu dilestarikan ke masa yang akan datang.

Pertemuan kedua yang dilakukan menjelang pelantikan presiden di istana Negara pada tanggal 11 Oktober 2019 di Istana Negara. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa hal terkait dengan ditawarkannya probowo menjadi salah satu pembantunya. Bila dilihat dari kompetensi yang dimiliki Prabowo yaitu sebagai mantan Prajurit TNI yang jabatan terakhirnya adalah Danjen Kopasus dan pangkat terakhir adalah Letnan Jendral, tentu masalah pertahanan dan keamanan menjadi titik fokus yang terus digalakkan oleh Prabowo saat debat Capres maupun forum-forum lainnya. Ini alasan mendasar presiden Jokowi merangkul Probawo sebagai pembantunya di bidang pertahanan dan keamanan.

Dalam konteks ini, saya ingin menyentil kembali terkait dengan cerita dari Abraham lncoln dan Willian Seward yang sekiranya ada korelasi postif dengan bergabungnya prabowo dalam kabinet. Mereka adalah dua politisi Amerika yang selalu fight dalam merebut kursi presiden. Dalam perjalanan Lincoln sebagai Junior yang mengalahkan Seward sebagai seniornya dalam menjadi presiden Amerika. Suatu ketika Lincoln menawarkan Seward untuk bergabung dalam kabinetnya sebagai menteri luar negeri atau Secretary of state, padahal jabatan ini merupakan posisi ketiga terkuat di Amerika Serikat setelah Presiden dan Wakil Presiden. Pada saat yang bersamaan Seward bertanaya kapada William kanapa kamu mengajak kami gabung, padahal kami adalah rivalitasmu, ternyata keduanya memilki sikap dan padangan yang sama yaitu mencintai Negara Amerika Serikat. Mungkin cerita dua tokoh Amerika inilah, yang menginspirasi Prabowo sehingga mau menjadi pembantu presiden, demi kemajuan bangsa dan Negara. Seyogyanya, Prabowo sebagai seorang kompetitor dan tokoh yang memilki banyak pendukung tidak perlu menjadi bagian dari kabinet tersebut. Karena tentu ada marwah, harkat, dan martabat yang hilang. Betapa tidak, kalau kita maknai terminologi “pembantu” tersirat bahwa orang yang disuru, diperintah, dan dibuang kapan saja oleh si atasan. Pembantu identik dengan posisi yang kurang sedap didengar. Banyak orang yang kecewa dengan sikap Prabowo tersebut, tapi itulah politik selalu ada kepentingan yang menyertainya. Atau mungkinkah Prabowo menjadi duri dalam daging dalam kabinet ini.

Membaca Semiotik Politik Prabowo
Perlu kiranya saya memulai bahasan kedua ini, dengan memahami kembali tentang istilah semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Roland Barthes mengemukakan bahwa semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.. Meski istilah semiotika banyak dipakai di dunia kesusasteraan dan kebahasaan, tapi sebagai sebuah keilmuan semiotika bisa digunakan untuk melihat interaksi dan korelasi sosial, berdasarkan sistem penandaan dalam kehidupan manusia.

Tidak salah kalau kemudian eksistensi Probowo sebagai pembantu presiden di bidang pertahanan dan keamanan. Satu harapan besar yaitu dapat melakuukan penguatan, pengembangan, dan kemajuan baik dari sisi kualitas dan kuantitas keamanan Negara. Dia mampu membaca dengan baik dan seksama bahwa kondisi Negara dalam keadaan kurang kondusif . Terutama keamana Negara dari pengaruh asing, yang ingin menguasai Indonesia. Kita tahu bahwa Indonesia Negara kaya sumber daya alam, potensi laut yang luar biasa, sehingga inervensi asing sangat mungkin merongrong kemanan, ketertiban, dan keutuhan NKRI. Prabowo mampu membaca tanda-tanda, gejala yang dapat memicu lahirnya konflik, sehingga diperlukan satu pola kepemipinan yang baik dan tepat dalam bidang ini. Prabowo mampu membaca dan mlihat kondisi pertahanan kita yang masih tertinggal Negara lain, baik dari sisi anggaran, kebaruan Alutsista, dan SDM dari prajurit TNI. Pertahanan dan keamanan yang kuat dan berkualitas akan menjadi tolok ukur lancarnya pembangunan dan investasi di sebuah Negara. Lebih lagi, dunia berada di era industry 4.0 dan juga perang dagang antara Cina dan Amerika yang tentu berdampak pada Indonesia sebagai Negara berkembang.

Pada tataran komunikasi politik Prabowo memang terlihat vokal, tegas, dan sedikit terlihat emosional. Tetapi dalam praktek-praktek pengambilan keputusan, seorang pemimpin tidak cukup hanya menerapkan cara dan model komunikasi. Seorang pemimpin idealnya juga harus mampu menangkap tanda-tanda yang ada dalam lingkungan sosial kemasyarakatan. Semiotika politik lebih pada penajaman sebuah gejala mengapa simbol atau tanda-tanda itu muncul, sehingga seseorang kemudian bisa menggunakan tanda-tanda itu ketika berkomunikasi dengan siapapun (publik) Seorang pejabat politis (publik) akan lebih mudah ketika bisa menangkap apa saja yang terjadi di tengah masyarakat, apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat (tanda-tandanya rakyat menginginkan sebuah penyelesaian karena tengah merasakan sesuatu yang menghimpit dalam hidupnya.  Misalnya mahalnya biaya kesehatan, sulitnya memenuhi kebutuhan hidup primer, maraknya pengangguran, kemiskinan, gangguan keamanan negara  yang kemudian tanda itu diwujudkan dalam bentuk ekspresi : kekesalan, marah, arogan, acuh,  kepasrahan, frustrasi, dan sebagainya. inilah sikap dan gaya Prabowo selama berda diluar pemerintah, ketiak membaca, melihat, dan mengamati gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga ketika seorang pemimpin hadir di tengah-tengah rakyat, bukan lagi dalam konteks sedang menawarkan sebuah program, tapi justru harus mampu menangkap tanda-tanda yang dirasakan rakyat, dan kemudian siap untuk memberikan solusi dan penyelesaian dari persolan tersebut. Mudahan-mudahan hadirnya Prabowo dalam kabinet mampu melahirkan perubahan tranformatif khusunya dalam bidang pertahanan dan kemanan Negara. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment