Malang, PSnews – Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Sumbawa-Malang (IKPMS-) mengadakan kajian ke-Sumbawaan dengan tema “Martabat Tana Samawa Dalam Tata Kelolah Pemerintahan”. Kegiatan yang disebut forum Dilektik ini bertempat di Jl. Raya Sengkaling, Kecamatan Dau, Malang. Diskusi yang diadakan Sabtu (6/7/2019) ini diisi oleh Rusdianto A.R M.Pd sebagai pemantik materi.
Fikri Imam, Ketua (IKPMS-M) menjelaskan, kegiatan ini digagas sebagai wadah memperluas wawasan sekaligus ruang aktualisasi gagasan sebagai reaksi terhadap permasalahan sosial yang ada di Sumbawa.
Rusdianto menjelaskan, masyarakat Sumbawa yang begitu egaliter akan selalu membutuhkan pergerakan yang masif demi terbangunnya kembali martabat dari ‘Tau Tana’ Samawa’. Gerakan-gerakan tersebut tidak boleh lepas dari kaidah normatif ke-Samawaan yang sejatinya perlu digalangkan secara berkelanjutan oleh kaum pemuda. Kekeliruan yang pernah ada di masa lalu dan saat ini merupakan dampak dari luputnya nilai luhur ke-Samawaan itu sendiri.
Falsafah “Takit ko’ Nene’ kangila Boat lenge”, oleh Rusdianto disebut sebagai core manusia Sumbawa, atau dalam konteks lainnya, “satemung pamendi ke panyadu’ “ merupakan lajur berfikir yang harus dimiliki setiap orang, terkhusus bagi yang menjalankan pemerintahan atau pengontrol pemerintah.
Selanjutnya nilai kultural tersebut dianggap mulai menjelma sebagai objek simbolis dan tidak lagi berbicara tentang esensi dan substansi, yang pada akhirnya mengindikasikan matinya nalar kritis para pemuda. Rusdianto mengatakan bahwa keberadaan Mahasiswa ini seharusnya menjadi agent of change, bukan agent of Cenge’ “.
Diskusi berlanjut dengan dialog interaktif antara peserta diskusi dengan pemateri. Dalam retorika yang alot tersebut, keluarlah statement bahwa orang Sumbawa dituntut untuk tidak hanya memiliki kesadaran semu dan kesadaran naif, seperti dalam konsep Paulo Freire, melainkan kesadaran kritis dalam rangka mengembangkan peradaban dan membangun keteraturan sosial.
Harun hadiatriansyah, salah seorang peserta diskusi berpendapat bahwa dalam tata kelola pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sumbawa terlalu berfokus pada pembangunan fisik dan cenderung abai dengan pemberdayaan masyarakat dari segi ideologis maupun wawasan sosialnya. Beberapa dari peserta diskusi juga mengeluhkan kurangnya transparansi kebijakan pemerintah, sehingga sulit bagi mereka dalam mengawal jalannya pemerintahan.
Ofi Hidayat Misalnya, Mahasiswa S-2 Komunikasi Politik Universitas Brawijaya ini mengungkapkan bahwa titik balik Sumbawa dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan tidak melulu harus bertumpu pada kinerja pemerintah, melainkan masyarakat sendiri yang melakukan inovasi dari beberapa aspek usaha. Tentunya dengan mengentaskan stigma negatif masyarakat Samawa tentang ketidak berdayaan dan pesimistis. “Misalkan dengan memulai kegiatan interpreneur dan tidak bertumpu dengan proyeksi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Maka terbangunlah konstruksi sosial baru yang lebih baik,” paparnya.
Namun menurut Ofi, tidak lantas inovasi tersebut menjadikan pemerintah berpangku tangan atas tanggung jawabnya pada masyarakat. (grw)