(Edisi : Jokowi – Ma’ruf)
Oleh : Heri Kurniawansyah HS (Fisipol UNSA & Awardee LPDP RI Fisipol UGM)
Mungkin sangat menarik jika tema pembahasan kita sedikit digeser kepada mapping konstalasi politik pasca pilpres kali ini, karena dalam perspektif lain, pertaruhan dan tantangan politik yang sebenarnya justru baru akan dimulai setelah pilpres itu sendiri.
Hipotesisnya adalah bahwa tarik ulur kepentingan itu justru akan dimulai setelah presiden terpilih, yaitu penentuan siapa yang akan duduk di kabinet, komisaris, duta besar, dan posisi-posisi strategis lainnya. Sudah barang tentu semua yang pernah berkeringat mengharapkan posisi tertentu dari hasil dinamika politik ini. Hal tersebut tidak bisa dinafikan, meskipun perihal itu semua adalah hak prerogatif presiden, namun tak semudah itu presiden mampu mengucapkannya karena semuanya akan terhalang oleh berbagai kepentingan partai koalisi, utamanya keinginan Veto Player. Bayangkan, pembicaraan jatah-jatahan tentang kursi kabinet dan posisi strategis lainnya sudah santer dibicarakan sebelum pilpres itu sendiri, sehingga pasca pilpres ini, utamanya setelah penentuan kemenangan secara resmi diumumkan oleh KPU, dinamika ini pasti akan lebih dinamis dan penuh dengan tarik ulur kepentingan antar sesama koalisi itu sendiri.
Dari proses ini kita akan melihat pertaruhan ketegasan dan kewibawaan seorang presiden. Situasi ini dipastikan lebih sulit dan lebih dinamis dibandingkan ketika Jokowi memutuskan siapa calon wakil presiden yang akan mendampinginya pada waktu itu. Jika dipandang dari perspektif “will” seorang Jokowi, besar kemungkinan dia menginginkan Mahfud MD sebagai pendampingnya pada saat itu, namun gerombolan koalisi berkata lain, pada akhirnya sang Kyai-lah pendamping Jokowi yang dianggap memenuhi unsur kepentingan para koalisinya.
Kondisi tersebut sepertinya akan terulang kembali dengan obyek yang berbeda. Disinilah pemandangan menarik akan terlihat, dan disinilah tantangan politik akan dimulai, sebab ada banyak orang yang akan dan harus diakomodir dalam situasi ini, terutama mereka yang berkeringat dan pasang badan secara all out demi kemenangan Jokowi.
Proses tersebut menjadi salah satu determinan terjadinya konflik internal, dan dari proses ini pula kita akan bisa melihat siapa saja yang akan kecewa dengan konsensus final dari sang presiden, termasuk akan terlihat para gerombolan yang akan loncat pagar oleh karena faktor kepentingan tertentu akan diakomodir atau tidak.
“Adjustment Process”
Tantangan baru dari seorang Jokowi nantinya dalam mengambil sebuah keputusan jika dia terpilih untuk periode ke 2 nya adalah lebih kepada menjawab 9 pertanyaan utama yang telah penulis mapping dibawah ini, yaitu :
- Siapakah para menteri kabinet kerja jilid 1 yang akan tetap bertahan di jilid ke 2 ini (bisa karena faktor prestasi atau profesional, pun bisa karena faktor Veto Player dan geo politik).
- Apakah orang-orang seperti Susi Pudjiastuti, Sri Mulyani, Basuki Hadimulyono, Ignasius Jonan, Retno Marsudi, dan tentunya Pratikno yang dianggap memiliki kinerja yang cukup baik dimata sang presiden akan tetap dipertahankan atau tidak?, Mengingat mereka adalah orang-orang yang tidak terafiliasi dalam partai politik tertentu.
- Apakah ketiga Menteri Kordinator (Menko) ini yaitu Puan Maharani, Luhut Binzar Panjaitan, dan Wiranto akan tetap bertahan meskipun dianggap oleh publik tidak berprestasi amat, bahkan cenderung dianggap sebagai menteri karena faktor politik semata. Untuk sementara penulis memberi hipotesis bahwa mereka pasti masih bertahan oleh karena faktor Veto Player, partai koalisi, dan faktor kepentingan tertentu yang sulit di deskripsikan, apalagi melihat ketiga Menko tersebut berada pada posisi paling elit di TKN yang terkesan paling ngos-ngosan memperjuangkan kemenangan Jokowi diantara yang lainnya.
- Siapakah wajah baru yang disinyalir akan masuk kabinet kerja jilid 2?. Jika boleh berspekulasi, nama-nama seperti Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, TGB, Maruarar Sirait, akan menghiasi kabinet baru. Dua dari keempat nama tersebut adalah tokoh politik yang tiba-tiba loncat pagar oleh karena faktor oportunistik politiknya.
- Lantas bagaimana dengan Erick Thohir, rasa-rasanya mungkin saja ini bukan levelnya seorang Erick Thohir, mungkin saja dia akan memilih jalur lain dibelakang layar, dan tentu semua ini bagian dari barter politik alias balas budi yang akan tetap berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu.
- Lalu bagiamana dengan eksistensi Veto Player di setiap partai koalisi (Megawati Juncto Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Surya Palo, Cak Imin, Romahurmuziy Juncto Suharso Monoarfa, Minus Wiranto yang partainya belum masuk Parlement Threshold ), Apa mungkin mereka akan berada di posisi Menko, atau mungkinkah mereka akan berada di belakang layar seperti fenomena kabinet kerja jilid 1, atau apa posisi yang cocok buat mereka ?.
- Apakah para menteri dari kalangan NU seperti Imam Nahrowi, Lukman Hakim, Hanif Dhakiri akan tetap bertahan atau akan digantikan dengan tokoh dari kalangan NU lainnya mengingat NU merupakan ormas sentral kemenangan Jokowi itu sendiri, terutama di wilayah Jawa timur yang merupakan salah satu wilayah paling banyak pemilihnya.
- Apakah orang-orang terdekat yang rela mati-matian mendukung Jokowi seperti Ngabalin, Moeldoko, Luhut Binzar Panjaitan, dan sejumlah relawan yang kini menjadi komisaris berbagai BUMN akan tetap bertahan seperti posisi sebelumnya, atau akan move ke jabatan lainnya?.
- Bagiamana dengan konflik of interest dari dinamika ini? Karena yang pasti mereka semuanya yang telah berkeringat akan menghadapi situasi harap-harap cemas menunggu kebijaksanaan Jokowi untuk kepentingan diri mereka.
Dalam penjelasan lain, dari ke 9 item tersebut, secara mikro dapat dideskripsikan bahwa jika Jokowi mempertimbangkan personal para menteri berdasarkan asas profesionalitas, maka orang seperti Pratikno, Susi Pudjiastuti, Sri Mulyani, Basuki Hadimulyono, Ignasius Jonan, dan Retno Marsudi adalah orang-orang yang mungkin dianggap tepat untuk dipertahankan, namun jika Jokowi memandang dari perspektif politik semata, maka orang seperti Puan Maharani, Luhut Binzar Panjaitan, Wiranto, Moeldoko, dan tentunya Airlangga Hartarto adalah orang yg tidak mungkin akan didepak dari jabatan sebelumnya, terutama Puan Maharani. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mestinya harus terjawab untuk menentukan siklus pemerintahan jokowi jilid 2. Proses inilah yang justru menjadi babak baru dalam dinamika politik pasca pilpres kali ini. Inilah yang disebut dengan “adjustment process“. Kita tunggu saja kejutannya. (***)