NKRI dalam Sebuah Kertas dan Teori

Oleh : Heri Kurniawansyah HS (FISIP UNSA)

            Membaca dan memahami negeri tercinta ini dalam sebuah kertas, betapa hebat dan indahnya negeri ini. seakan-akan tidak ada anak yang putus sekolah, seakan-akan tidak ada anak-anak sekolah yang melewati jalan setapak melawan terjangan derasnya air sungai dan ekstrimnya jembatan tali saat berangkat ke sekolah, seakan-akan tidak ada gedung sekolah terbuat dari dinding bambu, seakan-akan tidak ada jalan berlumpur nan ekstrim di berbagai daerah, seakan-akan tidak yang miskin di negeri ini, dan seakan-akan tidak ada permasalahan sosial lainnya, singkatnya seakan-akan rakyatnya hidup dalam surganya dunia. Betapa tidak, membaca UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah bahkan sampai peraturan tingkat daerah, semuanya bermuara pada kenyamanan rakyat tingkat tinggi.
Jika kita medengar para penguasa membincang tentang negeri ini, betapa hebatnya mereka membahas satu demi satu setiap pelik masalah bangsa, namun semuanya itu hanya dalam sebuah kertas, atau dalam bahasa akademiknya adalah masih dalam tataran “teori”. Semua orang bisa membuat kata-kata indah, semua orang bisa merangkai retorika, namun berbuat demi kemaslahatan adalah penantian bak mimpi oleh rakyat negeri ini.

            Usia senja telah menghampiri negeri ini. Usia yang sudah matang untuk mendewasakan diri. Sistem demi sistem, era demi era, pemimpin demi pemimpin bahkan penjajahan demi penjajahan telah dilewati oleh negeri ini, sehingga patutlah disebut negeri ini telah ditempa dengan berbagai pengalaman yang sangat luar biasa. Jika negeri ini adalah seorang manusia, maka dia pasti adalah orang yang paling hebat didunia ini. Namun inilah negeriku yang begitu rumit dengan segala permasalahannya. Mendengar kata “ Agustus” maka tentu sangat kental dengan menyambut HUT negeriku tercinta. Berbagai persiapan-persiapan ceremonial untuk menyambut hari kelahirannya, hati ini sangat bahagia dengan kegiatan-kegiatan ceremonial menjelang ulang tahunnya. Euforia penyambutannya sangat terasa dipenjuru nusantara, baik di kota, di pedesaan, maupun di pelosok negeri. Bendera merah putih berkibar disetiap rumah, kota dan desa terhias oleh pernak pernik merah putih dan umbul-umbul, kegiatan-kegiatan perlombaan selalu meramaikan suasana ulang tahunnya seperti panjat pinang, lomba olahraga dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Euforia masyarakat menyambut hari lahirnya seakan melupakan sejuta permasalahan pelik bangsa ini. Bahagia masyarakat menyambutnya seakan memberikan warna dan semangat baru buat negeri ini. Sejuta harapan masyarakat dititipkan setiap memperingati hari lahirnya, karena melalui moment hari jadi adalah moment mengevaluasi diri dari setiap permasalahan yang ada. Membaca buku sejarah dan mendengar cerita para guru dan orag tua kita tentang perjuangan para pendahulu kita, betapa komit dan teguh pendiriannya demi harga diri bangsa sehingga kita semua menikmati hidup dengan nyaman saat ini. Atas perjuangan tersebut tentu konsekuensinya harus terbayar dengan menggapai harapan apa yang menjadi cita-cita para pendahulu kita. Ternyata sampai saat ini harapan mereka masih terasa hampa bahkan tidak tentu arah.

Kebahagiaan dan euforia rakyat menyambut hari jadi negeri ini ternyata berlangsung ketika bulan Agustus saja. Semangat tersebut tidak berboncengan lagi dengan jiwa para penguasa setelah ceremonial 17an. Menyambut hari jadi negeri ini begitu euforianya, namun ketika kita menoleh ternyata pelik permasalahan negeri ini melampaui batas kewajaran. Saya pikir setelah kita merdeka kita akan hidup nyaman dan damai, namun yang terjadi justru kita terjajah oleh bangsa sendiri, bahkan penjajahan melebihi ganasnya penjajahan jaman pendahulu kita. Jika dulu kita terjajah secara fisik, namun saat ini kita terjajah dengan segala cara bahkan dilakukan oleh yang merasa dirinya negarawan. Para pendahulu kita lebih memilih menaha lapar berhari-hari daripada berkompromi  dengan penjajah, sekarang mental kita justru seperti penjajah.

Tiada hari tanpa korupsi, tiada hari tanpa bencana, tiada hari tanpa berita miring. Inilah “kabar kabari” negeri ini. Generasi bangsa yang sudah terkoptasi modernisasi liberal sehingga menjadikan kultur timur bangsa digeser menjadi kultur barat. Generasi yang merupakan keniscayaan penyambung pembangunan, namun sudah bermental liberal. Setiap hari senin mereka selalu menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, hormat kepada “merah putih” dan “mengheningkan cipta” mengenang para pahlawan, namun kegiatan tersebut hanyalah rutinitas ceremonial yang maknanya tidak terbawa dalam kehidupan sosialnya. Sepertinya kultur barat menjadi “primadona” dikalangan generasi saat ini. Contohnya ada didepan mata kita, bagaimana mereka berbicara, bergaul dan bertindak. Namun harapan untuk kembali ke marwah bangsa tentu masih ada, tinggal bagaimana caranya mendesain ulang substansi sistem bangsa ini termasuk sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya. Bukan ceremonial yang harus dibanggakan, namun nilai-nilai kemerdakaan adalah tuntutan wajib yang harus kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bukan teori yang harus kita dengar, bukan juga kata-kata meyakinkan diatas kertas yang kita agung-agungkan, namun relaitas dan kerja nyata yang rakyat tunggu, karena negeri ini akan lebih maju jika kita tidak banyak berteori apalagi menulis kata-kata indah di kertas, yang terpenting adalah memaksimalkan teori-teori itu dalam wujud nyata pergerakan.

Ada harapan dan semangat baru ketika kita mendekati tanggal 17 Agustus, rakyat menyambutnya dengan gegap gempita seakan ada makna dan ingin mengatakan “wahai para pahlawanku, tersenyumlah”. Makna tersebut seakan memuncak ketika “sang merah putih” berkibar di tiangnya. Makna tersebut juga akan memuncak ketika para generasi berprestasi, makna tersebut akan memuncak ketika para penguasa menyisingkan lengan baju untuk membangun negeri ini. “Mereka” pasti akan tersenyum ketika para penguasa takut dosa. Namun yang terjadi, kita ternyata masih membuat “mereka” menangis. Perjuangan para “veteran” kita sungguh luar biasa sehingga kita bisa mengenal dengan angka dan kata “17 Agustus” yang merupakan tonggak sejarah bahwa Indonesia akan berlari menuju kebebasan penjajahan dan menuju kemenangan serta pembangunan. Namun jika “mereka” menyaksikan sembrautnya negeri ini, mungkin mereka akan menangis betapa kita tidak menghargai perjuangan tumpah darah mereka. Saat ini kita hidup dengan serba modern dan serba mudah serta pragmatis, namun kita menyisihkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Sejuta problematika bangsa adalah bukti sembrautnya praktik idealis bangsa. Kita dipertontonkan oleh skenario-skenario konspirasi untuk perut pribadi. Di depan mata rakyat secara terang-terangan tanpa malu mempertontonkan perilaku penjajah. Ironisnya orang-orang seperti itu yang menjadi primadona, semakin berbuat salah semakin terkenal, yang berprestasi justru tanpa nama. Yang menistakan pancasila justru dijadikan duta pancasila, padahal pancasila adalah pundamental bangsa. Inilah rumpun peliknya permasalah bangsa tua ini. Jangan hanya dijadikan moment perayaan hari jadi sebagai moment ceremonial saja namun jauh dibalik itu semua ada makna yang lebih besar yaitu menghargai perjuangan para pejuang dan founding father bangsa ini. inilah negeri dalam sebuah kertas.

Mulai saat ini bawalah makna 17 Agustus dalam jiwa kita dalam membangun bangsa ini. Asa dan harapan tentu masih luas, kita belum terlambat, jangan jadikan moment hari jadi bangsa ini sebagai moment “membaca pidato dan berkhutbah” saja, namun makna “perjuangan” harus tertanam dalam jiwa kita terutama kepada penguasa dan generasi bangsa, agar negeri ini bukan saja negeri dalam kertas, namun negeri yang benar-benar nyata mengaktualisasikan coretan-coreta dalam kertas itu menjadi gerakan nyata yang berhasil.

Dirgahayu Negeriku yang ke 71, semoga lekas sembuh.

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment