Pulau Bungin yang letaknya sekitar 80 kilometer dari kota Sumbawa Besar, sejauh ini telah dikenal dengan sebutan pulau terpadat di dunia. Di dalam pulau karang yang unik tersebut, ternyata juga memiliki keunikan lain di bidang budaya. Salah satunya tarian ‘Joge Bungin’. Tarian yang kental dengan nuansa mistik dalam setiap penampilannya itu telah dikenal masyarakat dunia melalui kedatangan para wisatawan mancanegara.Joge Bungin merupakan persembahan Same’ Bungin (sebutan bagi warga Pulau Bungin) kepada Kesultanan Sumbawa tempo dulu. Kini, tarian tersebut kembali dimunculkan untuk disajikan pada wisatawan yang datang.
Uniknya lagi, tarian ini dapat menyebabkan penarinya kesurupan jika terlalu menghayati setiap gerakan yang diiringi irama musik tradisional berupa gandah (gendang), pipiu’ (seruling atau serunai) serta Goh (gong). Agar para penari terhindar dari kerasukan makhluk halus, maka disarankan untuk tidak terlalu menghayati detil gerakannya.
Kini, tarian ini dapat dinikmati oleh masyarakat luar dalam beberapa moment tertentu, misalnya ritual perkawinan, sunatan ataupun ketika menyambut tamu desa. Demikian pula tarian ini selalu disajikan untuk menyambut para wisman berkunjung ke Bungin hampir tiap pekan. Seperti halnya saat kunjungan wisman pada Minggu (01/09/2013).
Sekitar 100 meter dari dermaga Pulau Bungin, para wisman telah disuguhi dengan musik tradisional dan pelemparan Bente (jagung yang disangrai) sebagai bagian dari prosesi penyambutan tamu desa.
Satu per satu para wisman pun menyempatkan diri menegur dan berjabat tangan dengan para gadis beliau yang memang bertugas menyambut mereka dengan Comoh (salah satu jenis Joge Bungin).
Para penari yang dibalut dengan baju tradisional Sumbawa mengambil tempat dan menyuguhkan Comoh kepada para wisman. Prosesi menarik perhatian warga setempat yang memang menyukai jika dikunjungi oleh wisman. Uniknya lagi, para wisman dikenal dengan sebutan Balende (Belanda). Sebutan ini sudah melekat secara turun temurun di kehidupan Same’ Bungin.
Nuansa mistis pun mulai terasa tatkala para pengiring tarian meniup Pipiu diikuti tabuhan Gandah dan pukulan Goh. Dengan spontan warga yang ikut menikmati tarian itu mengaku merinding. Demikian pula para penari dan pengiringnya pun juga merasakan hal serupa. Mereka mengaku merasakan hembusan angin dingin dari laut yang tidak seperti biasanya. Nuansa mistik meliputi warga di lokasi itu hingga akhir tarian yang ditandai dengan ajakan para penari kepada para wisman untuk menari bersama.
Siska, salah seorang penari Joge Bungin, mengungkapkan, situasi atau nuansa mistis tersebut terasa hampir setiap kali menarikan Joge Bungin. Tapi ia tetap saja menari meski merasakan sesuatu yang tidak seperti biasanya.
Sementara itu, pembina tarian, Dewi Astuti, menjelaskan, tari Como’h, selain untuk menyambut tamu juga dibawakan saat ada upacara adat oleh orang dewasa.
“Tarian ini wajib untuk dibawakan karena merupakan tradisi dari nenek moyang. Apabila tarian ini dibawakan, sudah pasti salah seorang atau semua penarinya kesurupan. Kalau sudah kesurupan, biasanya para penari akan memakan bunga atau Bente di dalam mangkuk sebagai bagian dari kelengkapan tarian,” tutur pengajar di SDN 1 Pulau Bungin tersebut.Ia mengakui, resiko kerusupan tetap akan terjadi ketika penari membawakan tarian tersebut. Untuk mengurangi resiko kesurupan, maka ada satu gerakan tarian dari enam gerak dasarnya sengaja tidak diperagakan.
Pasalnya, gerakan itu akan mengakibatkan penari dan orang yang ada di sekitar lokasi pasti kesurupan. Terutama mereka yang saat itu sedang termenung.
Dewi yang kini berusia 27 tahun tersebut, bertekad melestarikan tarian yang turun-temurun diwariskan oleh para leluhurnya itu. Dewi mengaku, semua gerakan tarian tersebut diwarisi mediang ibunya yang kala itu juga menjadi pembina tari. Kini ia meneruskan tradisi leluhur dan mengembangkannya di kalangan generasi muda Pulau Bungin khususnya para gadis muda. “Jika bukan mereka, maka siapa lagi yang akan meneruskannya,” ujar Dewi. (Ken Kaniti)