Sumbawa, PSnews – Kemeriahan prosesi wisata Sail Moyo Tambora ‘tercoreng’ akibat penampilan seronok peserta busana Fashion Street Fest yang digelar di Jembatan Samota Rabu malam (12/9/2018). Penampilan peserta yang berpakaian minim menonjolkan kemolekan tubuhnya itu menjadi sorotan pegiat media sosial baik facebook, tweeter, whatsapp dan lain-lain. Warga net menilai peragaan busana sexy itu bertolak belakang dengan falsafah Tau Samawa (warga Sumbawa) yang dikenal bernuansa religius yakni “adat barenti ko sara’, sara’ barenti ko kitabullah“
Menanggapi sorotan warga net tersebut, salah seorang tim desainer busana Fashion Street Fest Sail Moyo Tambora, Ali Agsyah akhirnya angkat bicara.
Dalam jumpa pers di Kantor Bupati Sumbawa Jumat (14/9/2018), Ali bersama desainer lainnya Dani mewakili semua desainer yang terlibat menjelaskan tentang konsep dari acara fashion show tersebut. Acara pada malam itu diawali dengan penyajian sebuah tarian mistis yaitu tarian Dulang Pasangka yang dibawa oleh Sanggar Seni Riam Bagentar Desa Sebasang Kecamatan Moyo Hulu. Tarian itu memiliki makna rasa syukur, rasa sukacita atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah penyajian itu, muncul enam model memperagakan busana adat Sumbawa yaitu pakaian Sumbawa Salonang Antin, Busana Lonas Pabite, Busana Lante Gadu, Busana Ceremonial of Barodak, Busana Pangantan Basapu, dan Busana Palace Style. Dan dilanjutkan dengan parade kreasi kre alang yang diperagakan oleh ibu-ibu yang aktif di organisasi kewanitaan dan memiliki minat terhadap dunia fashion. Dua peragaan ini menggambarkan awal dimulainya sebuah peradaban yang berlandaskan budaya, spiritual, ketuhanan.
Setelah dua penyajian peragaan tersebut, muncul kelompok anak yang mempresentasikan gaun berbahan dasar tenun khas Sumbawa dan Bima. Disini pihaknya menggambarkan keceriaan dari dunia anak-anak. Dari sini pihaknya juga ingin menceritakan bahwa anak-anak akan membawa peradaban ini menuju ke hal yang lebih baik sebagai harapan dan dibekali dengan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal.
Di peragaan ke empat pihaknya menampilkan 3 model gadis remaja dan 10 model pria remaja. Pada momen ini pihaknya menceritakan tentang kehidupan remaja, yang tidak bisa dipungkiri bahwa walaupun sudah membekali mereka dengan pendidikan akhlak, tapi setelah mereka menuju ke usia remaja, pengaruh dari lingkungan sangat berpengaruh terhadap pergaulan mereka. Inilah yang pihaknya ceritakan melalui karya dimaksud.
Peragaan selanjutnya, masuk kepada titik terendah kehidupan berupa manusia. Pihaknya mengambil contoh bencana yang sedang menimpa NTB. Melalui 3 karya futuristic yang memiliki detail yang tidak biasa dan tidak beraturan yang menceritakan tentang bencana gempa yang baru saja menimpa NTB. Selanjutnya peragaan ditampilkan dengan menghadirkan 5 model pria membawakan busana formal berbahan tenun NTB. Pada titik ini menjadi salah satu cara menceritakan tentang titik balik manusia setelah terkena bencana, memunculkan semangat untuk mencari lagi peradaban yang hampir hilang. Momen ini juga menampilkan 8 koleksi busana pesta modifikasi berbahan dasar tenun NTB dengan konsep muslimah. Dimana diceritakan bahwa Sumbawa tidak buta dan mampu menerima gempuran globalisasi yang modern, namun tetap berpegang teguh pada syariat dan adat istiadat. “Kita juga sangat memahami falsafah hidup Tau Samawa adat barenti ko sara’, sara’ barenti ko kitabullah,” tandasnya.
Dan terakhir show ditutup dengan penampilan 8 koleksi busana karya desainer Provinsi dan 10 koleksi busana karya desainer Nasional yang semuanya bertemakan busana pesta muslimah. “Saya menceritakan konsep pagelaran yang dilaksanakan pada hari Rabu, 12 September 2018 kemarin. Namun setelah pelaksanaannya, banyak muncul stigma negatif dari masyarakat, terutama warga net. Terkait salah satu dari koleksi kita yang dikatakan melanggar syariat yang ada di Tana Samawa,’’ papar Ali.
Dari kejadian itu, pihaknya menyadari bahwa sudah kecolongan dan sangat menyadari bahwa ini murni kesalahan pihaknya. “Apalagi busana yang diperdebatkan sebenarnya bentukannya bukan seperti yang beredar saat ini, tapi timnya mendesain busana tersebut dengan menutup belahan, dan sayangnya tutupan belahan tersebut dibuat terpisah, dan ketika show akan dimulai, ternyata tutupan belahan tersebut ketinggalan di galeri desainer dan waktu tidak memungkinkan untuk mengambilnya, karena show segera dimulai,” bebernya.
Untuk improvisasi pengganti selendang yang hilang itu, pihaknya tidak memperisapkan. “Jadi yang kita bawa ke sana itu murni hanya untuk penampilan tidak ada cadangan kita sudah tidak kepikiran. Karena kita juga merangkap menjadi tata rias, perancang busana dan kira koreografer dan lain sebagainya. Jadi untuk waktu ketika show kita dandannya dari jam 8 pagi sampai menjelang magrib, untuk mencari yang lainnya tidak sempat,’’ ujarnya.
Dia menambahkan akan menjadikan hal ini sebagai suatu pembelajaran yang sangat berharga agar pada kesempatan lainnya tidak akan mengulangi hal tersebut, dan lebih memahami etika dan estika berbusana Tau Samawa. (PSg)