Oleh : Heri Kurniawansyah HS
(Awardee LPDP RI Magister Departemen Kebijakan Publik Fisipol UGM & Fisipol UNSA)
Ramainya perbincangan tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) sangat mendominasi berbagai forum formal maupun nonformal. Serasa tiada hari tanpa membincang tentang pilkada beserta jagoannya masing-masing. Semuanya sah-sah saja, karena jika dikaji dari perspektif demokrasi, yang demikian merupakan determinasi kemajuan berpikir dalam memaknai demokrasi yang diidam-idamkan selama ini. Berbagai keunikan menghiasi tahun politik menuju pilkada ini, meskipun pertarungan di bilik suara belum dimulai, namun berbagai spekulasi dari berbagai sudut pandang sudah mulai muncul ke permukaan. Ada yang menyakini paslon tertentu yang akan menang mutlak, ada juga survey yang kemunculannya secara tiba-tiba dengan basis yang tidak kredibel. Selain itu, uniknya banyak calon kepala daerah yang justru terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK menjelang Pilkada. Ragam problematika tersebut merupakan “nature of reality” yang tak terhindarkan dalam bingkai demokrasi apalagi di negara dunia ke tiga, yang ditunjang dengan keberagaman budaya, agama dan suku.
Fase normatif sudah mulai terlewatkan satu persatu. Beberapa pekan yang lalu para kontestan masih berstatus sebagai bakal calon (balon), kini telah berganti status menjadi pasangan calon (paslon). Dalam perjalannya, berbagai manuver begitu masif dilakukan oleh paslon beserta simpatisannya. Berbagai sumber daya dimaksimalkan dalam memperkuat rekatan ingatan publik pada diri mereka. Berbagai media, terutama media sosial (medsos) adalah salah satu contoh instrumen yang paling masif digunakan sebagai perekat ingatan publik akan jagoannya masing-masing. Sebab media merupakan corong informasi pertama bagi masyarakat “community” yang memiliki daya sihir yang mampu merubah paradigma dan cara pandang masyarakat dalam membentuk doktrinasi pada dirinya dan orang lain. Setiap kali membuka media sosial (entah itu facebook, instagram, twitter, dan whatsapp), berbagai promosi dan iklan para paslon dengan ragam caption yang dikemas dengan narasi-narasi terbaik nan kreatif mendominasi beranda para pegiat medsos. Sehingga melalui proses tersebut telah memunculkan tokoh-tokoh popular ke permukaan.
Kepopuleran tersebut serasa membuat publik mengklaim bahwa kemenangan telah ada dalam genggaman. Dari popularitas tersebut pula memunculkan rasa optimis dari dari berbagai kalangan, terutama kalangan pegiat medsos. Sering terdengar narasi dan deskripsi optimis dari sekelompok masyarakat di bebagai warung kopi, pangkalan ojek, dan tempat lainnya yang didasarkan akan kepopuleran tersebut. Namun proses ini adalah adalah proses politik, sebuah dunia intelektual yang penuh dengan teka teki dan strategi. Yang tidak poluper bukan berarti diam, bisa jadi yang tidak populer memilih jalan lain ataupun tikungan lain untuk menuju kemenangan sesungguhnya, sebab kemenangan di media sosial tidak berarti apa-apa jika tumbang di bilik suara. Pemain di media sosial tidak sebanding dengan masyarakat secara utuh, bahkan pemain di media sosial cendrung diasumsikan sebagai masyarakat kelas menengah. Popularitas di media sosial juga bisa menipu dan bahkan bisa menjadi ancaman. Suara masyarakat kelas menengah sama nilanya dengan masyarakat kelas bawah. Nah, di Indonesia proporsi kelas bawah jumlahnya bisa 70%-80% dari total jumlah suara. Mereka menguasai suara mayoritas, hanya saja mereka diam tidak banyak terdengar di media atau medsos, inilah yang disebut dengan jebakan popularitas (Ferizal, 2017). Karena itulah, pentingnya strategi manajemen (management strategic) dalam memformulasikan langkah-langkah politik dalam persaingan yang amat kompetitif ini.
Beragam analogi ilmiah (contoh kasus) dalam kontestasi politik yang menunjukkan orang-orang populer terjebak dalam popularitasnya. Mereka terhimpit bahkan tumbang dalam pertarungan politik meskipun popularitasnya melangit jika dibandingkan dengan lawan politiknya. Kepopuleran Ridwan Kamil di tanah Jawa Barat tidak bisa dpungkiri bahkan melangit jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Dia adalah seorang wali kota yang sangat modern dan begitu kental dengan mayoritas anak-anak muda. Popularitasnya di berbagai media, baik televisi, media cetak, dan media sosial seakan tidak terbendung, terlebih Ridwan Kamil adalah sosok kepala daerah yang sangat aktif mengkonsumsi media sosial dan memiliki follower terbanyak. Kalangan kelas menengah di medsos secara holistik mengkampanyekan Ridwan Kamil di berbagai obyek. Popularitasnya pun menobatkan dia sebagai balon gubernur pertama di Jawa Barat yang mendapat dukungan dan bahkan langsung mendapat deklarasi dari partai Nasdem. Terkesan, pada saat itu Ridwan Kamil tak akan terbendung untuk menduduki kursi Jabar 1. Namun dalam perjalanannya, justru Ridwan Kamil adalah satu-satunya balon gubernur yang hampir tidak memiliki partai pendukung dan hampir tidak mempunyai kans untuk bertarung di pilgub Jabar. Pada akhirnya Ridwan Kamil berafiliasi dengan koalisi rapuhnya atau partai non populer.
Amien Rais dengan PANnya begitu populer pada masa transisi. Saat reformasi bergolak pada 1998, Amien Rais adalah sosok yang cukup disegani. Karena keberaniannya mengkritik pemerintahan Soeharto di senjakala kekuasaannya, tokoh Muhammadiyah itu bahkan sempat dijuluki sebagai “Bapak Reformasi”. Pasca-reformasi 1998, karier politik guru besar Fisipol UGM ini pun terus moncer. Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikannya bersama sejumlah tokoh berhasil mendudukkan sejumlah kadernya di DPR lewat pemilu 1999. Amien Rais kemudian menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004. Karena peran besar Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada sidang umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001, sebuah majalah bahkan pernah menjulukinya sebagai “King Maker”. Namun saat Pileg/Pilpres 2004, suara PAN dan Amien Rais jauh di bawah popularitasnya. Setelah kalah dalam Pilpres 2004, karier politik Amien Rais terus meredup seiring usianya yang semakin senja.
Kita juga bisa melihat bagaimana sejarah Megawati yang gagal menjadi presiden ketika berhadapan dengan Gus Dur dalam sidang parlemen. Strategi orang-orang yang selama ini “diam” justru menghantarkan Gus Dur menuju kemenangannya melalui voting mengalahkan kepopuleran Megawati. Padahal saat itu PDIP merupakan partai yang begitu menggeliat menjadi partai penguasa setelah Orde Baru dan Golkar tumbang. Anggota parlemen pun begitu bergemuruh menyuarakan kepopuleran Megawati sebagai calon terkuat presiden kala itu, disamping ada Yusril Ihza Mahendra dan Gus Dur sebagai calon yang kepopulerannya masih jauh dibawah popularitas Megawati. Namun apa yang terjadi, Megawati dan pendukungnya yang sangat menguasai gemuruh parlemen saat itu harus mengelus dada setelah ditikung oleh strategi orang-orang yang tidak popular.
Contoh yang lain terjadi pada Pilkada Banten periode yang lalu dimana Rano Karno yang begitu popular di Media Sosial namun tumbang di bilik suara. Berbagai iklan dan kampanye menghiasi berbagai media, terutama media sosial. Nyaris pesaingnya tidak begitu dikenal oleh penikmat medsos. Namun di TPS, bukan nama Rano Karno yang menjadi juaranya seperti di medsos. Karena di bilik suaralah penentu kemenangan yang sebenarnya.
Kasus yang paling mutakhir di era modern ini adalah kekalahan mutlak sang fenomenal Basuki Tahja Purnama alias Ahok yang benar-benar tidak sejalan dengan popularitasnya di kalangan publik. Sepertinya mata dan kuping dunia tertuju pada kepopuleran Ahok kala itu. Kepopulerannya baik di dunia nyata maupun di dunia maya seakan mengalahkan popularitas Jokowi dan Pilpresnya. Kampanye Ahok oleh para loyalis setianya melalui media sosial serta eksistensi media-media nasional yang amat militan mengafirmasikan kekuatan Ahok seakan tidak terbendung. Insting publik seakan mengatakan “tidak mungkin Ahok akan kalah, Ahok sepertinya akan menang mutlak”. Yah kepopuleran Ahok di berbagai media yang membuat berbagai kalimat optimis itu muncul. Namun sekali lagi politik itu adalah dunia nyata, bukan dunia maya. Pada faktanya, Ahok yang sangat popular di berbagai Media, bahkan didukung oleh partai penguasa dan secara politik di dukung oleh eksistensi Jokowi, tapi kalah di bilik suara. Selanjutnya, apakah orang-orang popular di pilkada NTB kali ini akan menambah daftar panjang tokoh yang terkena “jebakan popularitas“, kita tunggu jawabannya di bilik suara yang berlogo KPU, bukan di medsos.