OPINI : Banjir Bima, Sebuah Ironi di Kota Tangguh

Oleh : Fathul Muin 
(Fasilitator BNPB untuk Program Desa Tangguh Bencana)

Banjir Bima ternyata menyisahkan derita yang sungguh menyedihkan bagi masyarakat. Tidak disangka akan ada pederitaan sejauh itu. Meski tidak ada korban jiwa namun secara psikologis masyarakat sangat terpukul. Banyak sekali masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan logistik terutama pangan. Kok bisa ya? Inilah ironi di Kota tangguh bencana.

Air setinggi 1 – 3 meter merendam rumah warga

Dalam perspektif kebencanaan, Kota Tangguh Bencana sesungguhnya sebuah kota yang memiliki kemampuan (kapasitas) yang lebih tinggi dari pada kerentanannya, baik dari aspek manusianya, lingkungannya, infrastruktur, ekonomi, sosial budaya dan politiknya. Sehingga risiko yang dihadapi pun secara praktis lebih kecil dibandingkan Kota/Kabupaten lain yang memiliki kapasitas rendah (termasuk Kabupaten Sumbawa).

Sebagai kota yang dijadikan MODEL PERCONTOHAN KOTA TANGGUH BENCANA NASIONAL, Kota Bima sudah memiliki perangkat dan sistem yang mendukung ketangguhan itu. Antara lain Perda No 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB), Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang menjadi acuan atas rencana pembangunan daerah.

Warga berlarian mencari tempat yang lebih aman

Selain itu, sebagai kota model, juga sudah pasti memiliki kajian risiko partsipatif, sistem peringatan dini dan rencana kontinjensi, rencana evakuasi, kelembagaan PB (FPRB dan relawan) hingga simulasi.
Bagi saya, agak sedikit aneh jika kondisi pasca bencana terjadi kesemrawutan dalam hal penanganan darurat, khususnya dalam kegiatan pelayanan kebutuhan dasar (lebih khsusus lagi pangan/makanan). Sebab dalam sistem yang dibangun, perencanaan kontinjensi memegang peranan yang sangat penting dalam kondisi seperti ini. Secara konseptual, perencanaan kontinjensi menjamin kesejahteraan warga di pengungsian karena di perencanaan tersebut semua jenis dan jumlah kebutuhan sudah diproyeksikan sesuai rencana-rencana sektoral. Proyeksi ini tentu didasarkan pada pengkajian ancaman, skenario kejadian dan dampak serta kebijakan dan strategi. Dan biasanya rencana kontinjensi ini dilegalkan melalui peraturan wali kota/bupati. Tapi kemudian teory (konsep) inilah yang menjadi patokan/acuan upaya pengurangan risiko bencana dalam sebuah rencana kontinjensi, pernyataan kebijakan biasanya bertujuan untuk memastikan semua warga terdampak tercukupi kebutuhan dasarnya dengan tidak ada diskriminasi dan konflik. Bahkan memastikan keberlanjutan pendidikan dan pelayanan kesehatan karena semua ini adalah hak warga yang menjadi korban. (pengabaian hak-hak ini adalah pelanggaran HAM).

PMI Kota Bima membuka posko bantuan korban banjir

Dengan sejumlah argumentasi, dasar dan indikator kota tangguh yang dimiliki Kota Bima sejak empat tahun lalu, saya kemudian memberanikan diri memuji Kota Bima sebagai masyarakat yang tangguh, sebab sesungguhnya masyarakat yang tangguh tidak akan pernah merasa ‘panik’ dan menganggap semua kejadian biasa-biasa saja, karena mereka mempunyai kapasitas yang tinggi dalam menghadapi bencana dan didukung oleh perangkat dan sistem yang ada di Kota Bima sebagai kota Model Nasional. Masyarakat yang tangguh adalah masyarakat yang memiliki kesiapsiagaan, bertindak pada waktu yang tepat, memiliki kemampuan menyelamatkan diri dan keluarga serta memiliki kemampuan untuk pulih dengan segera.

Persoalan fakta di lapangan berbeda dengan konsep pengurangan risiko bencana, silahkan tanyakan pada rumput yang bergoyang. Saya hanya ingin menginformasikan bahwa untuk mendukung Kota Bima menjadi model kota tangguh bencana nasional, setidaknya ada beberapa lembaga internasional yang ada di sana : OXFAM, Badan Bantuan Pemerintah Australia (AusAID), Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi Ekonomi Rakyat yang didukung oleh Australia Indonesia Facility for Disaster Risk Reduction (AIFDR). Tapi kalau penanganan darurat juga semrawut, banyak warga yang tidak mendapat pelayanan dan menjadi semakin panik, apa bedanya dengan penanganan di Kota/Kabupaten lain yang tidak menjadi model kota tangguh nasional ?
Bagi yang merasa tidak sependapat dengan tulisan ini saya mohon maaf. Demi Allah tidak bermaksud sama sekali mengabaikan kondisi warga/saudara kita di sana. Saya sangat berempati, semoga mereka diberikan kekuatan menghadapi semua ini. Harapan saya, Pemkot Bima segera berinstrospeksi dengan ‘gelarnya’ sebagai Model KOTA TANGGUH BENCANA. Wassalam. (***)

Berita Terkait : 

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment