Oleh : Imron Fhatoni
* Mahasiswa Teknik Informatika Stmik Bumigora Mataram
Tiba-tiba banyak generasi muda kita suka pamer, memajang foto diri dengan gaya yang tak wajar. Adapula yang mencari perhatian dengan gaya bicara dibuat-buat atau membuat tulisan aneh yang memusingkan pembacanya. Selanjutnya beriringan dengan kemunculan jejaring sosial seperti facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya, budaya ini semakin berkembang di kalangan remaja sampai pada tingkatan mahasiswa.
Dalam jejaring sosial, facebook misalnya, pengguna akan diberi kesempatan untuk mengutarakan dan mengrekspesikan segala hal lewat status, foto, bahkan pengguna bisa memberikan komentar pada postingan teman-temannya. Di sinilah ajang alay biasanya akan muncul.
Setelah saya analisa postingan dari teman-teman facebook saya ternyata fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Sumbawa tapi hampir di seluruh tempat di Indonesia. Mengapa tiba-tiba demikian??
Dari berbagai penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa aktivitas generasi alay lebih fokus pada dirinya sendiri dan kurang memiliki kepekaan sosial. Fenomena ini semakin melengkapi fakta krisis generasi calon pemimpin yang kita miliki. Pemuda adalah miniatur suatu bangsa. Jika ditanya bagaimana wajah indonesia 20-30 tahun kedepan, maka jawabannya adalah bagaimana paradigma yang terjadi di tengah – tengah pemuda sekarang. Para pemuda diharapkan menjadi soko guru peradaban. Di tangan merekalah masa depan ummat dan bangsa dipertaruhkan. Namun yang ada, kini mereka terlena dengan gaya hidup hedonis, hanya memikirkan kesenangan semu. Generasi muda telah menjadi pembebek, terjerat pada ruang pemikiran yang cendrung pragmatis dan apolitis. Apakah mungkin generasi ini yang didambakan untuk mengubah peradaban yang telah karut-marut ini?
Fenomena alay adalah imbas dari sistem pendidikan sekuler. Sistem ini terbukti gagal membentuk kepribadian yang tangguh pada diri generasi mudanya. Bahkan generasi muda saat ini hanya dididik untuk memenuhi permintaan pasar, menjadi generasi pekerja, bukan generasi pemimpin. Tak heran jika orientasi berpikir generasi muda saat ini adalah bagaimana meraih nilai akademis tinggi dan bisa bekerja sedini mungkin dengan gaji tinggi di perusahaan bergengsi.
Celakanya, orientasi pendidikan tersebut telah membentuk pola pikir materialistis. Generasi muda jadi terbiasa menilai segala sesuatu dengan ukuran materi, baik itu berupa harta atau popularitas. Begitulah yang terjadi pada generasi alay. Apapun dilakukan agar bisa tenar, tak peduli bertentangan dengan nilai moral apalagi agama.
Melalui tulisan ini ingin saya pertegas bahwa generasi alay sangat bertolak belakang dengan kepribadian masyarakat Sumbawa yang pedoman hidupnya jelas “Adat berenti ko sara, sara berenti ko kitabullah”. Artinya adalah apapun yang dilakukan masyarakat Sumbawa mereka akan mengedepankan nilai-nilai religius sesuai dengan akidah dan norma yang berlaku. Budaya seperti ini adalah bentuk westernisasi yang mungkin salah diartikan oleh sebagian remaja kita, sebab mereka berusaha menyesuaikan diri dengan gaya hidup barat yang kita tahu bersama tidak mempunyai ruang didalam kehidupan masyarakat timur terutama Sumbawa. (***)