Dea Malela, SANG ULAMA PEJUANG

~~~~~~~~~~~~~~~ Catatan : Didin Maninggara Sekum Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Dea Malela ~~~~~~~~~~~~~~~

Ismail yang bergelar Dea Malela, bersama ayahnya Abdul Qodir Jaelani yang bergelar Dea Koasa, berhijrah dari Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan untuk berdakwah ke Tana Samawa (Sumbawa). Kala itu, Ismail masih berumur 18 tahun pada 1746. Mereka mendarat dengan sampan kayu di Labuan Punti, Sumbawa Besar, ibukota Kesultanan Sumbawa.  Mereka memilih untuk bermukim di Dusun Pamangong, sekitar 40 km ke arah selatan dari Sumbawa Besar (sekarang ibukota Kabupaten Sumbawa). Selain untuk bergabung bersama pamannya, Lalu Angga yang bergelar Dea Tuan. Dea Tuan adalah dai/ulama terkemuka yang berjasa dalam menyiarkan agama Islam di Tana Samawa, makamnya berada di tengah komplek Pesantren Modern Internasional Dea Malela di Pamangong, juga karena Pamangong merupakan dusun yang nyaman, sepi, sunyi, dan strategis sebagai tempat persembunyian dari kejaran penjajahan Belanda. Dusun Pamangong berada di sekitar kawasan Olat Utuk, sebuah pegunungan berciri khas. Sebagai dai, dakwah Dea Malela melintasi batas pulau menyeberang dari Tana Samawa ke tanah Jawa, bahkan Batavia (DKI Jakarta). Selain menyebarkan agama Islam, ia juga termasuk dalam barisan para pejuang yang membebaskan tanah air dari penjajahan Belanda. Para pejuang itu, acapkali berkumpul di Dusun Pamangong untuk membahas strategi dakwah dan perjuangan membebaskan negeri yang saat itu sudah seabad lebih di bawah kekuasaan bangsa asing. Ismail Dea Malela tidaklah sendiri. Saudara kandungnya, yang bernama Lalu Sanafiah dan bergelar Dea Marlia, juga seorang pejuang. Pemuda kekar perkasa (bahasa Sumbawa: Tau Karong) ini sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Karenanya, Sultan Sumbawa saat itu, menyerahkan kepada Dea Marlia penguasaan Sumbawa bagian selatan, dan Pamangong sebagai titik pengaruh. Pengaruh Dea Malela sangat kuat dan luas, dengan pengikut yang banyak. Tak ayal, Belanda pun menyimpan rasa takut padanya. Kelompok Dea Malela tidak memiliki senjata, namun memiliki semangat perlawanan terhadap penjajahan yang tinggi dan kuat. Bagi mereka, perlawanan terhadap penjajah adalah Jihad Fi Sabilillah. Belanda merasa kewalahan. Mereka merasa perlu mencari strategi khusus untuk menghadang kelompok Dea Malela. Belanda merencanakan penangkapan Dea Malela dan para pendukungnya. Kompeni memerlukan waktu yang panjang untuk melaksanakannya. Dea Malela dan segenap pejuang di Tana Samawa sangat kokoh dalam keyakinan, persatuan, dan kebersamaan. Pihak Belanda sangat sulit untuk menerapkan politik devide et impera (politik adu domba).

Ebrahiem Manuel (Salah seorang keturunan Dea Malela di Afrika Selatan)
Ebrahiem Manuel (Keturunan Dea Malela di Afrika Selatan)

Baru pada 1752, ketika Dea Malela dan ayahnya, Dea Koasa berada di Batavia, tentara Kompeni berhasil menangkap keduanya. Tangan dan kaki keduanya berhasil dibelenggu/dirantai. Bersama ratusan pejuang yang sebagian besar ulama dari berbagai kesultanan di Nusantara, Dea Malela dan Dea Koasa dibuang ke Simon’s Bay, Afrika Selatan. Mereka dikurung di penjara bawah tanah khusus budak. Setelah tiga tahun menghabiskan waktu dalam tahanan yang dingin dan gelap, Dea Koasa memimpin pelarian dengan cara melubangi tembok penjara. Mereka mengambil sekoci yang diikat di sisi penjara, kemudian mengarungi lautan dan mendarat di dekat Bordjiesdrif, sebelah utara Buffels Bay pada 1755 dan bersembunyi selama beberapa tahun, menghabiskan waktu di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan Antonie’s Gat, dekat pantai Buffels Bay. Menurut catatan harian Dea Koasa, Cape Point Mountain, yang dari sana terhampar pemandangan Samudera Atlanytik di sebelah kiri dan Samudera Hindia di sebelah kanan, menjadi tempat yang pas untuk bersembunyi. Asri dan nyaman, seperti Pulau Sumbawa, membuat mereka mudah melupakan memori pahit selama dalam kurungan. Menurut catatan lain, Dea Koasa berhasil melarikan diri dan kembali ke kampung halaman dan dimakamkan di Pemakaman Sampar, kini Kelurahan Seketeng, Sumbawa Besar. (Makam Dea Koasa yang berdekatan dengan makam Sultan Sumbawa ke 1, Sultan Jalaluddin, sempat saya ziarahi beberapa bulan lalu, dalam keadaan tidak terawat). Sementara Dea Malela terus melanjutkan dakwah dan perjuangannya, para budak di Cape Town rela datang ke Antonie’s Gat untuk mencari kedamaian dan perlindungan, sekaligus belajar Islam pada Dea Malela. Sejak itu, Dea Malela menjadi tokoh panutan dan pelindung kaum teraniaya. Ia menjadi salah seorang Imam Utama dan Pertama di Afrika Selatan. Di sana, Dea Malela menikah dengan Siti Zulaekha dan telah melahirkan tujuh generasi hingga saat ini jumlahnya mencapai 3000 orang (pada 2005). Makamnya menjadi salah satu keramat bagi umat Islam di Afrika Selatan.

Ebrahiem Manuel dan keluarga di Afrika Selatan
Ebrahiem Manuel dan keluarga di Afrika Selatan

Menurut berita, Nelson Mandela (yang berasal dari tempat yang sama dengan Dea Malela, Simon’s Town), sesaat setelah dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan, mengunjungi Makam Keramat Dea Malela. Sambil memegang bagian makam, Mandela berkata, “perjuangan kita menegakkan keadilan dan melawan kezaliman belum seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan tokoh yang bersemayam di dalam makam ini.” Sedangkan jauh di seberang sana, di Tana Samawa, saudara Dea Malela, yaitu Dea Marlia tetap meneruskan perjuangannya di Pamangong. Darinya, lahir keturunan yang banyak. Salah seorangnya, yaitu Muhammad Sirajuddin Syamsuddin (M. Din Syamsuddin) sebagai generasi ketujuh, yang memprakarsai berdirinya Pesantren Modern Internasional Dea Malela di Pamangong, Sumbawa. Selain untuk mengenang peran para leluhur, Pesantren Modern Internasional Dea Malela juga dicita-citakan sebagai Pusat Kajian Islam Dunia yang dapat melahirkan kader-kader ulama, zuama, dan cendekiawan muslim mancanegara.@

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment