Oleh : Imron Fhatoni
(Humas FKPPMS Mataram)
Yang menarik dari pilkada kali ini adalah Muhammad Zainul Majid, yang kerap disapa Tuan Guru Bajang (TGB), tak bisa lagi berpartisipasi di ajang lima tahunan tersebut. TGB telah menjadi gubernur berturut-turut selama dua periode. Itu artinya, tak ada lagi ruang dalam konstitusi yang memperkenankan gubernur muda yang juga hafidz qur’an itu untuk kembali mencalonkan diri.
Sejalan dengan itu, telah banyak spekulasi yang bermunculan. Banyak pengamat politik yang menerka-nerka, siapa yang layak menggantikan TGB sebagai gubernur? Siapa pula yang berkemungkinan besar menduduki kursi NTB satu? Entahlah.
Memang sejauh ini, banyak pihak yang memuji-memuji kinerja TGB. Dialah aktor utama dibalik fenomena Islamic Center yang megah itu. Secara perlahan, ia menjadikan NTB sebagai kiblat pariwisata dunia. TGB juga bekerja keras demi Indeks Pembangunan Manusia NTB yang lebih baik. Tak ayal, jika sosok yang satu ini dibanjiri penghargaan. Beberapa kali ia tampil di televisi nasional. Saya menyaksikan penampilannya di Mata Najwa beberapa waktu lalu. Ia digadang sebagai salah satu kepala daerah terbaik se-Indonesia.
Namun sekali lagi, TGB tetaplah sosok politikus. Di mata saya, ia tetaplah seorang politisi yang diusung oleh partai Demokrat dan memimpin NTB selama dua kali berturut-turut. Kepada setiap politikus saya selalu waspada, bukan terpesona.
Suatu ketika, seorang sahabat yang juga aktivis pergerakan di Mataram mengajak saya berdiskusi mengenai Pilkada NTB. Ia mulai memaparkan sejumlah kemungkinan. Argumennya merunut bahwa yang akan memenangkan pertarungan adalah mereka yang berasal dari pulau Lombok, bukan pulau Sumbawa. Ia kemudian mempertegas dengan alasan politik premordial dan mayoritas penduduk.
Sebagai teman diskusi, saya tak mau beradu argumen sehingga berujung perdebatan. Saya memilih lebih banyak mendengarkan analisa politik yang ia paparkan. Padahal sebenarnya, saya tidak setuju dengan tipe pemikiran seperti ini.
Menurut saya, cara berfikir seperti ini sangatlah tidak modern, terkesan pragmatis, dan justru telah menciderai nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Bagaimana tidak? Ia menjabarkan tentang politik identitas. Padahal, kita hidup dalam satu negara yang menganut nilai-nilai demokrasi.
Beberapa waktu lalu, ketika banyak media menyuguhkan pembicaraan tentang pilkada DKI, saya juga sempat bertanya kepada seorang teman yang begitu antusias mendukung calon muslim. Saya waktu itu bertanya,”Selama ini gubernur DKI selalu muslim, bukan? Apa keuntungan signifikan yang didapat oleh umat Islam?” Ia tak bisa menjawab.
Memang tak akan ada jawaban. Sebab, jarang ada politikus yang berkomitmen pada kepentingan ummat dalam skala besar. Mereka hanya berfokus pada kepentingan segelintir golongan. Lebih tegas lagi, jarang ada politikus yang berkomitmen terhadap apapun selain kepentingan mereka sendiri.
Lalu, apa pentingnya menganut politik premordial? Apa pentingnya memilih pemimpin berdasar kesamaan asal-usul, kelompok, ras, suku, kedaerahan? Tidak ada. Ini hanyalah permainan, sihir yang mengaduk-aduk emosi publik. Membuat mereka percaya bahwa jika kita memilih pemimpin berdasar kesamaan asal, kita akan lebih diperhatikan.
Ya, sebagian orang akan berbicara tentang disparitas pembangunan di NTB. Dimana, anggaran pemerintah lebih berfokus pada pulau Lombok dibanding pulau Sumbawa. Mereka lalu melayangkan sejumlah bukti. “Mengapa Islamic Center tidak dibangun di Sumbawa?” atau mengapa infrastruktur di pulau Lombok lebih baik ketimbang pulau Sumbawa?” dan masih banyak lagi. Intinya adalah, ini soal pembodohan dan tunggangan politik.
Di luar soal itu, bagi saya adalah ini soal membangun budaya politik kita kearah yang lebih maju. Masyarakat harus terus menerus disadarkan tentang pemahaman berpolitik secara sehat. Mereka harus memilih berdasar kualitas dan kapasitas calon, bukan berdasar kesamaan daerah asal. Semakin mempertajam isu-isu berbasis politik premordial berarti terus mengkotak-kotakan rakyat.
Tapi bukankah itu bagian dari kebebasan yang didukung oleh demokrasi? Bukan. Salah itu. Itu adalah realitas yang masih tersisa dalam demokrasi. Di Amerika sana, masih ada orang yang memilih berdasar atas sentimen warna kulit. Itulah realitas. Tapi demokrasi terus mendorong agar orang tidak memilih berdasarkan itu. Maka, ketika Obama menjadi presiden, adalah salah satu tonggak terpenting dalam sejarah demokrasi di Amerika. Faktor warna kulit menjadi sesuatu yang tidak lagi penting, meski tetap menjadi realitas dalam demokrasi.
Inilah yang ingin saya kemukakan. Preferensi politik berdasar kesamaan daerah asal, suku, kelompok, dal hal-hal lain yang serupa masih menjadi ralitas dalam politik kita, terutama di NTB.Saya ingin melihat realitas ini meredup. Saya tidak ingin masyarakat kita justru mementingkan ketenaran, apalagi partai pengusung, lalu mengesampingkan visi dan kapasitas calon dalam memilih.
Saya tidak ingin jika etalase politik kita menjadi ruang yang serba dangkal, karena mereka yang bertarung di dalamnya bukanlah mereka yang memiliki naluri dan jiwa pengabdian bagi kepentingan orang banyak. Saya tak ingin politik kita menjadi arena yang mempertontonkan banalitas, di mana kelihaian dan kemampuan meraih simpati publik adalah jantung utama bagi proses menuju kursi kepemimpinan. Ketika politik menjadi arena untuk meneguhkan kepentingan, maka para pemain politik akan menjadi pion-pion pengejar kepentingan itu.
Bagi saya, diskusi tentang siapa yang akan menggantikan posisi TGB tidak begitu penting. Yang terpenting adalah bagaimana cara kita memberikan pemahaman dan edukasi politik yang sehat kepada masyarakat. Mereka harus dibebaskan dari belenggu logika sesat mayoritas-minoritas, politik premordial dan semacamnya. Mereka harus diberi pemahaman agar tak lagi terukukung pada pemikiran praktis politik.
Biarlah bakal calon bersaing secara sehat dan terbuka. Biarkan mereka beradu taktik dan strategi. Sebab pada titik ini, pemenangnya tak akan jauh dari yang dikatakan Sun Tzu yakni “ Dia yang mengenali dirinya, dan dia yang mengenali lawannya.” (***)