OPINI : Kami Abadikan Namamu Ibu di Sekolah RA Ash – Solekha

Oleh : Rosidah Resyad
(Guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Sumbawa)

Ibuku tercinta lahir di Bima Tente 30 Oktober 1945. Wanita perantauan hidup dengan semangat dan prinsip yang kuat. Tulisan itu kubaca di buku harian kakakku, saat aku baru tahu membaca.

Ibuku yang kupanggil inak adalah wanita yang kuat dengan filosofi hidup masa lalu tentang adat ketimuran yang kuat, dipadu pemikiran masa kini yang cerdas yang menggambarkan segala kemungkinan dalam perspektik baik dan buruk. Beliau datang ke Kabupaten Sumbawa dengan status pegawai di Penmas ( Pendidikan Masyarakat) dengan bekal mengetik 10 jari yang diperolehnya di Surabaya. Pandangan ibuku tentang pendidikan sungguh luar biasa. Sebelum pindah ke Kabupaten Sumbawa beliau bekerja di Kantor Dinas PU Kabupaten Dompu. Untuk mencari pengalaman lain, ibuku pindah ke Kabupaten Sumbawa karena sulitnya menyandang status pegawai tetap di Dinas PU Dompu.
Di Sumbawa Besar ibuku berjumpa dengan bapakku dan menjadi pasangan hidup selamanya. Pernikahan sederhana dan melahirkan 6 putri dan satu putra. Kami diberi nama yang indah, Kata sahabatku English name ROSE yakni bunga mawar. Ya perpaduan dari bapak yang tinggi besar berkulit kuning langsat serta ibu ku berhidung mancung, Beliau campuran Aceh Makassar. Sebagai istri pegawai negeri sipil yakni guru SD, ibu kerap berpindah tempat dari satu desa ke desa yang lain mengikuti bapak. Dan di desa tempat bertugas yaitu Desa Malili Kecamatan Moyohilir Kabupaten Sumbawa itulah ibuku melahirkan 4 anaknya, yang masing-masing diberi nama Rosmini, Rosita, Rosmiati, Rosiana putri yang cantik kata bapakku dengan bangga. Karena ibu sangat repot dengan ke 4 anaknya, ibu kemudian minta berhenti untuk sementara waktu dari pekerjaan dan masih sulitnya transportasi saat itu. Ke 4 putrinya disekolahkan di SPG Negeri Sumbawa.
Dengan sikap tegas dan prinsip yang kuat dalam mendidik anak-anaknya, ibuku melewati banyak gelombang hidup bersama bapak, baik saat ada maupun tak ada, saat  sakit semua luruh menjadi satu dalam kehidupan rumah tangganya. Tapi sekolah tetap no 1. Kami memang memiliki beberapa tanah, tapi tidak potensial. Kami juga memiliki ternak tapi untuk sekolah bapak tidak mau menjual harta. Saat itupun sulit uang jadilah hidup prihatin.
Setelah pindah dari Desa Malili keluarga kami menempati rumah lama di Ai Awak Kecamatan Seketeng Kecamatan Sumbawa. Rumah batu di depannya dan panggung di belakangnya cukup besar dengan halaman luas. Di rumah kamilah orang kerap berinteraksi karena di depan rumah ada pompa umum tempat mengambil air.
Sebagai anak yang lahir tahun 1973, aku tidak merasakan hal-hal yang prihatin, Saat berkumpul aku amat senang mendengar cerita-cerita masa lampau. Bagiku cerita lampau amat menarik. Saat kakakku ada tugas untuk foto copy, apa yang dilakukan ibu ? Ibu mengambil sepeda lalu mengayuhnya menuju rumah dinas paman Yusuf Ali di komplek CPM. Ibu mulai mengetik tugas anaknya hingga selesai. Apalagi saat kakakku yang no 3 mendapat juara kelas ibu berpidato di depan wali murid yang lain. Itulah hal-hal sederhana yang membuat beliau bahagia. ”Nak ketika kalian tidak punya uang belanja di sekolah, itu hal yang amat menyedihkan bagiku, Saaat kalian keluar lewat pintu depan untuk ke sekolah, aku keluar lewat pintu belakang untuk menjual telur ayam seadanya. Lalu kutitipkan lewat temanmu. walau acara sarapan pagi dengan melingkar dekat tangga semen selalu kita lakukan, tapi saya tak tega jika membayangkan anak saya menonton temannya yang sedang belanja,” ungkapnya oooh ibuku. Kasihmu tak terhitung dengan jenis hitungan yang ada di bumi ini.
Segala kemarau yang merambah juangmu akan sejuk hanya dengan kami menamatkan sekolah.
Yaaah kisah lain yang tak terlupakan saat kakakku tamat sekolah, bapak dan ibuku selalu mengundang guru-guru SPG untuk acara syukuran di rumah. Tidak heran aku sangat mengenal guru – guru SPG tersebut.setelah ke 4 putri bapak dan ibuku lahir, Kakakku satu-satunya laki-laki yang diberi nama Rosmin Junaidi. Saya Rosidah dan adikku Rosikka, kami hidup tentram. Kata tetangga kami anak patuh, tentu karena selalu dibaluti doa suci oleh seorang ibu yang soleha. Aku melihat ibuku sosok yang taat sebagai hamba Allah. Tatkala beliau sakitpun aku melihat beliau Tayammum. Begitu rasa takut yang luar biasa kepada Sang Khalik dan tak berani meninggalkan kewajibannya. Alhamdulillah pasti ibu-ibu yang lain juga demikian. Dan yang berkesan bagiku, ibu selalu membaca buku dan mengoleksi beberapa buku agama seperti: hidup sesudah mati, alam barzak hidup sebelum mati, keikhlasan dan masih banyak yang lain. Diantaranya beliau bercerita, bahwa kehidupan itu ibarat mencelupkan tangan ke  dalam laut. Lalu kita angkat tangan kita, maka yang tersisa di tangan itulah kehidupan di dunia dan laut luas itulah kehidupan akhirat, kekal selamanya. Kalimat itu dikutipnya di buku hidup sesudah mati yang dibelinya pada orang Arab yang sering jalan di depan kios. Ibuku wanita yang hebat. Dalam hati kami anak-anaknya, kerelaannya berkorban untuk kami membuat bapak amat menghormatinya. Walau bapak keras, tapi ibu amat keras dengan prinsip kebaikan yang tertanam dalam dirinya. Yaah kami anak blasteran Bima-Sumbawa (Birma) begitu kami digoda teman-teman. Kami memiliki perpaduan karakter Bima – Sumbawa yang semangat dan pantang menyerah. Kami bahu membahu mengisi lembaran hidup dengan kebaikan, mencoba mengais pahala dalam kehidupan ini sedikit demi sedikit. Terima kasih Ya Rabbi. Kau titipkan kami di rahim wanita hebat bernama Salehka. Yaah nama ibuku persis seperti sosoknya Saleha. Aku kembali mengingat saat ingin kuliah mengikuti jejak kakak laki-lakiku Bapak melarangku, tetapi ibu berbisik pelan di telingaku. Dan menembus segala ruang di tubuhku, menjadi hembusan semangat yang membuatku mampu melewati masa-masa itu. “Nak kamu harus kuliah. Apa yang akan kau raih untuk masa depanmu? Apakah waktumu akan kau habiskan hanya untuk mengantar nasi ke kios? Tidak nak, kamu harus kuliah. Walaupun aku akan jual bawang di pasar,” pintanya mantab.
Wow bagai embun di pagi hari yang menghamparkan kesejukan di setiap jiwa. Saat itulah ibuku menantang laki-laki keras bernama H.M Resyad. Jika hari-hari biasa ibu sangat patuh terhadap bapak, misalnya di ruang manapun bapak ingin makan di situlah ibu mengantarnya. Sekeras apapun kalimat bapak, tak pernah membuat ibu melawannya. Tak pernah hanya airmata bergulir menguatkan ketegarannya, Saat itulah kami berkumpul di ruang belakang tak secuil suara keluar dari mulut kami. Rasa takut kepada bapak membuat kami melingkar di ruang belakang. Hemmm masa itu, tapi ibuku lagi-lagi mengambil hikmah. ”Nak sekeras apapun rumah tangga yang kita jalani, jangan pernah kamu meninggalkan rumah, karena suatu saat kita akan kembali,” ujarnya.
Oooh ibuku, ingin kudekap kau saat ini ibu. Allah terima kasih menitipku di rahimnya menaungi kasih dan sayang yang tiada batas untuk kami. Dalam segala cuaca ibuku selalu memberikan warnanya pada tiap cuaca. Tapi masalah pendidikan ibu tak ingin kompromi. Jika bapak tak setuju, ibu selalu memberikan pengertian kepada bapak. Sepanjang perjalananku menjadi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Mataram, ibu selalu bersamaku di moment penting. Ibu selalu bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Beliau bagun sebelum adzan Subuh. Tatkala kami membukakan mata telah tersedia sarapan pagi serta segelas susu yang menurut ibu makanan sehat dan sarapan akan membuat kita berprestasi. Oh ya, aku tinggal di Mataram bersama kakak laki-laki di sebuah kos-kosan yang pemiliknya amat baik pada kami. Mungkin itu buah dari kebaikan ibu dan bapak terhadap anak-anak rantau yang berdomisili di samping rumah.

Kujalani statusku sebagai mahasiswa dengan semangat tinggi.seperti ibuku. Ibu kerap datang ke Mataram membawa berbagai macam keperluan ku dan kakak. Cumi kering, jangan tebok, terong kelatik, madu, susu, mie instan, sirup dan banyak lagi yang diambil di kios. Tapi favoritku adalah krepek pisang asin kiriman kakakku. Kripik itu yang membuatku tak rela bagi-bagi pada orang lain…hahahaha.

Ketika mengunjungi kami, ibu juga mencoba peruntungan dengan membeli barang lipat yang akan dijualnya di Sumbawa. Kata ibu, untuk menggantikan ongkos kapal. Begitulah rutinitas ibu yang dijalani selama aku dan kakak menjadi mahasiswa. Tak terasa hingga 5 tahun berjalan semangat ibu tak pernah surut. Saat aku ujian skripsi pun ibu bersamaku meramu doa dan membuatkan gizi yang sempurna untukku. Saat aku berhadapan dengan dosen untuk di uji, salam sholatnya ibu tak henti-henti memanjatkan doa hingga aku pulang dan mengucapkan Assalamualaikum di kamar kosku. Betapa megah kasih ibuku.
Tapi kini, ibuku HJ. Siti Saleha telah tiada. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari Jumat 5 November 2004, tepatnya pada 20 hari puasa. Ibu wafat karena sakit perut yang melilit hingga mengakhiri hidupnya di RSUD Sumbawa.

“Jun buka puasamu,” kata bapak pada ibuku. Jun merupakan panggilan mesra bapak pada ibuku.

“Biarkan aku meninggal dunia karena puasa,” ujar ibuku. Dan ternyata benar, ibu yang sempat dirawat 3 malam di RSUD Sumbawa menghembuskan nafas terakhir dalam dekapan anak menantunya. Ibu pergi dalam kelembutannya di hari Jumat saat puasa berjalan di hari ke 20. Putuslah segala urusannya di dunia kecuali anak yang Soleha, amal jariah dan harta yang bermanfaat.

Oleh karena itu semoga kita menyadari bahwa ibu telah bersusah payah mengandung, melahirkan, menyusui, mendidik dan menjaga dari bahaya dan sesuatu yang menyakitkan. Ibu tidak tidur karena menjaga anak. Ibu bersusah payah untuk kebahagiaan anak karena menyadari bahwa senyuman anaknya lebih membahagiakannya daripada mendapatkan dunia dan isinya. Kesehatan dan kegembiraan anak, lebih mahal dari nilai dunia yang diinginkan. Seorang ibu selalu berkorban menjaga dari keburukan yang membahayakan. Yaah kasih sayangnya sepanjang hayat. Maka atas perjuangan kedua orang tuaku khususnya ibu kami, anak-anakmu mengabadikan namamu di R A AS SHOLEKHA, agar kami tetap merasakan semangat mu dalam pendidikan, mengenang geloramu dalam ilmu dan meneladani pandangan hidupmu dalam susah senang. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment