OPINI
Oleh : Heri Kurniawansyah HS (FISIP UNSA)
Saat ini kuping kita sering diperdengarkan dengan isu-isu global terutama tentang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Mungkin masyarakat yang berada di ruang lingkup pemerintahan, dunia akademik, NGO dan kelompok-kelompok kajian kebijakan, sangat memahami akan eksistensi MEA itu sendiri. Namun dalam hal ini berbeda dengan masyarakat awam yang tidak memahami tentang MEA. Padahal MEA merupakan konsensus negara-negara ASEAN yang menuntut masyarakat untuk bersaing dalam segala bidang dan merupakan isu yang paling global saat ini, sebab implikasi MEA akan bersentuhan langsung dengan kondisi masyarakat, baik dalam perspektif arus budaya, politik, dan terutama ekonomi. Sehingga kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi eksistensi kehidupan masyarakat dalam bingkai kebangsaan.
Perlu kiranya kita memahami secara substantif tentang MEA itu sendiri atau dalam bahasa inggris disebutkan ASEAN Economic Community (AEC). MEA dirancang untuk mewujudkan wawasan ASEAN 2020. Ini dilakukan agar daya saing ASEAN meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Hal tersebut nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat. Bukan hanya itu, MEA juga membuka arus pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya. Jelas sekali bahwa dengan diberlakukan MEA tersebut persaingan usaha semakin sengit. Sehingga muncul pertanyaan yang paling mendasar adalah sudah siapkah kita menghadapi persaingan tersebut sementara faktor konsumtif serta kurangnya masyarakat kita mencintai produk lokal itu sendiri masih mendera masyarakat kita secara umum.
Secara teoritis MEA diklaim akan mendatangkan keuntungan besar bagi Negara-negara Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Selain dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta orang yang hidup di Asia Tenggara. Organisasi Perburuhan Dunia atau ILO merinci bahwa permintaan tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta. Sementara permintaan akan tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, sementara tenaga kerja level rendah meningkat 24% atau 12 juta. Secara teoritis mungkin kalimat-kalimat diatas sangat pas dan menguntungkan masyarakat dalam mengurangi pengangguran. Sekali lagi penulis mengklaim bahwa hal tersebut masih dalam tataran teoritis yang akan menguntungkan Negara-negara ASEAN, namun belum tentu secara empirik akan menguntungkan bangsa kita walaupun Negara kita adalah salah satu dari Negara ASEAN. Banyak para ahli termasuk akademisi mengkaji masalah ini dari berbagai sudut pandang, namun penulis tertarik mengkaji masalah ini dari perspektif sosial dan budaya bangsa (kompleksitas masalah bangsa).
MEA di Tengah Masalah Tenaga Kerja
. Kajian sederhana adalah mengacu kepada kondisi bangsa kekinian yang dalam segala perspektif masih rawan alias belum stabil. Kita bisa melihat kondisi politik dan hukum yang masih menggalau, banyak investor besar menarik diri dari Negara kita yang akibatnya adalah banyaknya buruh/karyawan/tenaga kerja yang di PHK, dan patologi-patologi lainnya yang menggerogoti bangsa tua ini. lantas apa yang sudah kita persiapkan menghadapi konsensus Negara-negara Asia Tenggara ini dengan kondisi Negara yang menggalau. Mengacu kepada data atau informasi dari berbagai media bahwa saat ini tenaga asing semakin marak di tanah air, bahkan sampai pengemudi Taxi pun berdatangan dari luar Indonesia (Sumber : Metro TV). Perusahaan rakrasa sudah banyak yang hengkang, bahkan info terbaru bahwa perusahaan Astra Honda Motor akan siap hengkang (Sumber : Duniahealth.com). berapa banyak manusia yang akan menganggur dengan kondisi seperti itu. Ada juga info terbaru dari Postmetro.info, ada 54 perusahaan besar di Batam telah tutup sehingga 7 ribu pekerja kehilangan pekerjaan.
Dengan kondisi bangsa seperti itu, ditambah dengan ketidaksiapan masyarakat bersaing dengan Negara lain, serta budaya masyarakat yang cendrung konsumtif, sementara MEA dituntut untuk kita bersaing dan mengandalkan produk karya sendiri (Produk dalam negeri), lantas bagaimana bangsa kita akan mampu menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Pernyataan tersebut bukanlah sebuah rasa pesimis dari penulis, namun penulis melihat secara obyektif dan empirik kondisi bangsa saat ini. semakin banyaknya pekerja yang kehilangan pekerjaan, semakin banyaknya perilaku anak negeri yang hedon dan konsumtif, semakinnya banyak orang luar yang akan bekerja di Negara kita, lantas bagaimana kita akan menghadapi hal tersebut dan dimana posisi masyarakat kita akan berlabu. Jika kita tidak siap maka konsekuensinya adalah kita siap-siap menjadi penonton dirumah sendiri dan itu pasti.
MEA Dalam Arus Budaya Bangsa
Berkaca kepada kondisi bangsa saat ini terutama masyarakat yang seakan berkiblat ke bangsa-bangsa barat yang tentunya tidak sejalur dengan budaya bangsa kita. Jika tidak kebarat-baratan, maka anggapannya tidak modern dan tidak gaul, akibatnya pemuda pemudi, atau generasi bangsa lebih cinta kepada hal-hal yang berbau barat. Doktrinisasi barat menjalar ke seluruh organ-organ kehidupan masyarakat bangsa kita, baik dari sisi pergaulannya, budayanya, cara berpakaian, gaya bahasanya, modernisasi informasi, komunikasi, dan lain-lain. Ingin menjadi modern namun harus memaksakan diri untuk meninggalkan budaya lokal bangsa. Kondisi tersebut menjadikan bangsa tidak tentu arah, sebab bangsa barat saat ini sudah mencapai Post Modern, sementara kita masih berdiri ditengah-tengah antara primitif dan modern. Kondisi demikian pun terjadi pada saat belum diberlakukan MEA, lantas bagaimana asumsinya ketika MEA sedang gencar-gencarnya menggerogoti bangsa kita.
Kita bisa membayangkan ketika orang-orang dari Negara Asia Tenggara lainnya berafiliasi di bangsa kita. mereka akan bekerja, tinggal dan menetap di bangsa kita, maka konsekuensinya arus budaya akan semakin sensitif, yang menyebabkan terjadi asimilasi yang begitu dahsyat. Asimilasi akan membunuh budaya lokal yang mengakibatkan bangsa kita kehilangan jati diri. Kondisi tersebut akan membuat bangsa ini dimilki oleh masyarakat bangsa lain. Lalu apa kekuatan kita menghadapi ancaman ini?, apakah pemerintah sudah memikirkan akibat terburuk ini?.
Tidak ada jalan lain selain kita memaksimalkan diri dengan berdiri kokoh diatas budaya kita sendiri walaupun harus menghadapi tantangan MEA, termasuk dengan cara memaksimalkan produk dalam negeri dan kecintaan kita terhadap kearifan lokal serta tenaga kerja yang handal di masing-masing bidang. Dengan persiapan tersebut maka bangsa kita mempunyai kekuatan dalam persaingan tersebut serta kita bisa berdiri dan menjadi tuan rumah di rumah sendiri. Manfaat lain adalah kita tetap kokoh dengan budaya bangsa kita dan akan terjadi akulturasi budaya. Dengan akulturasi budaya, maka budaya bangsa semakin kaya dan stabil, sehingga kita akan menjadi bangsa yang besar di tengah persaingan MEA ini.