OPINI : POP Diantara Pertaruhan Eksistensi Muhammadiyah – NU

Oleh : FATHUL MUIN, S.P
Kordinator Program Pada Lembaga Analisis dan Kajian Kebudayaan Daerah (LINKKAR) Kabupaten Sumbawa, NTB

Kebangetan kalau ada yang tidak mengenal Muhammadiyah dan NU. Rekam jejak dua Ormas terbesar di Indonesia ini tak diragukan lagi. Kemampuannya berkiprah dalam menggerakkan roda pembangunan negeri mau tidak mau harus diakui. Dua-duanya telah menjadi lokomotif gerakan pembaruan, bukan saja di bidang keagamaan, politik, ekonomi dan sosial, lebih-lebih di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Sejauh yang saya tahu, di bidang pendidikan, kedua ormas telah melahirkan lembaga pendidikan swasta paling yahud di tanah air. Sejak didirikan pada tahun pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912, Muhammadiyah memiliki 30-an ribu lembaga pendidikan. Terdiri dari TK, SD, SMP, SMA, pondok pesantren, dan perguruan tinggi dari Aceh hingga Papua.

Begitu juga dengan NU. Pada tingkat Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah sampai tingkat SMA atau Madrasah Aliyah, satuan pendidikan yang bernaung di bawah Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU sekurang-kurangnya ada 48 ribu. Sedangkan untuk pondok pesantren ada sekitar 23 ribu yang tergabung dalam Asosiasi Pesantren NU atau Rabitha Ma’ahid Islamiyah (RMI NU). NU juga memiliki sejumlah perguruan tinggi.

Kedua lembaga ini telah berkhidmat dalam menciptakan kemaslahatan dan kemajuan bangsa kita. Sekolah-sekolah yang didirikan organisasi bentukan KH Ahmad Dahlan dan organisasi prakrasa K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Hasyim Asy’ari ini sangat membantu kalangan arus bawah yang kurang mampu. Sebab, di beberapa sekolah para siswa dibebaskan dari biaya pendidikan atau setidak-tidaknya membayar biaya pendidikan semampunya.
Beberapa pekan lalu dua Ormas Gajah ini sempat menyita perhatian publik. Ini lantaran keduanya kompak mengundurkan diri dari Program Organisasi Penggerak (POP). POP yang merupakan program pemberdayaan masyarakat melalui dukungan pemerintah merupakan kebijakan Kemendikbud di bawah tema payung merdeka belajar.

Program ini melibatkan sejumlah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan terutama ormas-ormas yang sudah memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru dan kepala sekolah. Lalu apa gerangan yang membuat Muhammadiyah dan NU mengundurkan diri?

Mundurnya Muhammadiyah dan NU dari POP Kemendikbud bisa dimaknai sebagai gejala pertaruhan eksistensi. Sebagai Ormas besar, Muhammadiyah dan NU merasa sudah banyak membantu pemerintah dalam pembangunan Indonesia, khususnya dalam menyelenggarakan pendidikan bahkan sejak sebelum kemerdekaan.

Dengan track record yang dimiliki, kedua lembaga ini merasa tidak etis diperbandingkan dengan Ormas baru muncul dalam kompetisi POP Kemendikbud. Muhammdiyah menyoroti kriteria pemilihan ormas dan lembaga pendidikan yang ditetapkan lolos evaluasi proposal POP sangat tidak jelas dan tidak transparan.

Hal yang sama juga menjadi dasar pengunduruan diri NU. Prosedur seleksi menurut NU juga tidak jelas. Sehingga terkesan menjadikan ormas besar NU dan Muhammadiyah sebagai legitimasi agar program ini terlihat berkualitas.
Jika kemudian Muhammadiyah dan NU mengikuti dan bergabung dalam POP dengan kondisi diperbandingkan dengan lembaga atau Ormas baru maka di sinilah letak pertaruhan eksistensinya sebagai lembaga besar dan ternama.

Mungkin saja Muhammadiyah dan NU merasa tidak selevel dengan Tanoto Foundation yang dinyatakan lolos evaluasi proposal POP. Rentang umur lembaga ini terpaut jauh dengan Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 yang berarti usianya saat ini masuk 108 tahun dan NU 94 tahun (lahir 31 Januari 1926 ).
Sedangkan Tanoto Foundation yang merupakan lembaga filantropi, bentukan keluarga Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto baru berdiri pada tahun 1981.

Tentu saja jika mengacu pada usia tidak etis diperbandingkan, apalagi usia juga menentukan pengalaman dan rekam jejak.

Ruang Diskusi Masih Terbuka

Sebagai bagian dari bangsa ini saya dan mungkin juga banyak pihak lain menyanyangkan mundurnya Muhammadiyah dan NU dan berharap ada ruang diskusi yang masih terbuka untuk mengurai dan mendudukkan kembali diskursus ini pada proporsi yang benar.

Pertama, inisiasi Program Organisasi Penggerak (POP) harus dilihat dalam kerangka pembangunan demokrasi pendidikan sebagai gerakan bersama pemenuhan hak esensial (azasi) manusia Indonesia, khususnya hak atas pendidikan yang layak (berkualitas).

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah berkewajiban memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara dan wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan.

Sedangkan masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (pasal 8 dan pasal 9). Tanpa penjelasan lebih terperinci kita segera memahami bahwa POP adalah implementasi kewajiban konstitusi negara pada rakyatnya yang sekaligus menjadi wadah partisipasi publik dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kedua, memaknai POP sebagai bentuk keterbatasan pemerintah baik anggaran maupun SDM. Dari aspek dana pemerintah memiliki keterbatasan sehingga POP harus menggunakan tiga skema pembiayaan. Selain murni APBN, terdapat skema pembiayaan mandiri dan dana pendamping (matching fund).

Program Organisasi Penggerak yang merupakan terobosan Kemendikbud ini pada hakikatnya bertujuan mentransformasikan sekolah menjadi sekolah penggerak yang mampu mendemonstrasikan kepemimpinan pembelajaran terutama kepala sekolah dan guru, untuk meningkakan kualitas hasil belajar siswa. Pada tahun 2020-2022 POP ditargetkan dapat meningkatkan kompetensi 50.000 guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan pada 5000 PAUD, SD dan SMP.

Program ini penting dan mendesak jika merujuk pada survey kemampuan pelajar yang dirilis Programme for International Student Assessment (PISA) 2019. Dalam survey tersebut kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke-72 dari 77 negara jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

Beberapa survei lain seperti penelitian Right to Education Index (RTEI) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Global Talent Competitiveness Index (GTCI), Human Development Report hingga Bank Dunia juga masih menunjukkan keadaan yang buruk pada dunia pendidikan kita.

Kondisi kita hari ini mestinya telah menutup ruang debat pada hal-hal yang tidak substansial. Diskusi kita saat ini adalah mempersiapkan diri untuk secara bersama fokus pada upaya pemajuan pendidikan.

Kita semua mestinya melihat pendidikan Indonesia saat ini dalam keadaan ‘terpuruk’ sehingga terbangun energi besar yang secara masif kita gerakkan untuk melampaui ketertinggalan kita.

Karena itu, mempertentangkan kelas atau klan, usia dan sebagainya bukan saat yang tepat untuk saat ini. Diskusi kita hari ini fokus pada bagaimana upaya bersama memerangi ketertinggalan. Dan semua kita harus berada di depan. Jika kebijakan POP masih terdapat kekurangan, adalah kewajiban kita bersama memperbaikinya. Maka diskusi menjadi menjadi rumah besar bagi kita untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment