Oleh : Imron Fhatoni
Polemik pembangunan asrama mahasiswa Sumbawa – Mataram masih terus bergulir. Sejumlah mahasiswa mengeluhkan sikap Pemda Sumbawa yang terkesan acuh tak acuh terhadap permasalahan ini.
Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sumbawa – Mataram, FKPPMS misalnya, mereka beberapa kali mengunjungi DPRD Sumbawa guna menuntut kejelasan prihal permasalahan asrama.
Sejalan dengan itu, FKPPMS telah melayangkan surat kepada DPRD Kabupaten Sumbawa beberapa waktu lalu. Mereka meminta agar DPR memfasilitasi teman-teman mahasiswa untuk melakukan hearing dengan pihak Pemkab Sumbawa.
***
Dalam rangka mencari benang merah dari permasalahan ini, FKPPMS telah mengumpulkan beberapa informasi terkait lambannya respon pemerintah terhadap pembangunan Asrama Mahasiswa Sumbawa – Mataram yang terbakar pada 2011 lalu.
Benar dugaan kami bahwa hingga saat ini, Pemkab Sumbawa masih belum mencapai kesepakatan dalam hal menunaikan kompensasi kepada ahli waris tanah, tempat Asrama ini dibangun sebelumnya.
Menurut sejarah dari beberapa pendahulu, status dari tanah tempat dibangunnya Asrama Mahasiswa Sumbawa – Mataram merupakan tahan yang dihibahkan. Saat itu, Lalu Mala Syarifuddin yang merupakan pemilik asli dari tanah tersebut, mewakafkan asetnya untuk kemudian dikelola oleh Pemda Sumbawa demi kepentingan umum terutama Mahasiswa.
Seiring berjalannya waktu, dibangunalah Asrama sebagai sentra perkumpulan Mahasiswa Sumbawa – Mataram di atas tanah seluas lapangan bola tersebut. Hingga beberapa dekade, Asrama tetap digunakan dengan baik sesuai fungsinya. Namun semenjak kejadian terbakarnya bangunan ini pada 2011 lalu, semua aktifitas mahasiswa seakan lumpuh total.
Asrama tak bisa lagi digunakan dan sisa-sisa bangunannya mangkrak tak lagi dihiraukan. Anehnya lagi, ketika sejumlah mahasiswa dibawah naungan FKPPMS menuntut kembali pembangunannya, Pemkab berdalih belum mendapatkan kesepakatan dengan ahli waris tanah. Mereka mengatakan bahwa ahli waris meminta kompensasi yang memberatkan pihak Pemerintah daerah.
Aneh bukan, mengapa Pemda harus memberikan kompensasi untuk tanah yang statusnya telah dihibahkan? Lalu, bagaimana pula kronologis dari pembangunan asrama ini dulunya? Sungguh kasus ini masih terasa ganjal.
Polemik pembangunan Asrama Mahasiswa Sumbawa – Mataram serupa kasus yang menimpa Bukit Maras, dimana sejumlah aset yang telah dibayar oleh Pemda, kembali digugat oleh beberapa orang demi mendapat keuntungan.
Walhasil, Pemda pun kalah dalam gugatan karena tidak memiliki dasar yang kuat termasuk sertifikat, dan dokumen-dokumen pendukung lain. Tak hanya Bukit Maras, hal serupa juga terjadi pada tanah yang digunakan sebagai tempat berdirinya beberapa sekolah di Sumbawa.
Betapa miris. Pemda telah lalai mengamankan sejumlah aset daerah yang lagi-lagi, imbasnya harus ditanggung oleh masrakayat. Termasuk pula kami, mahasiswa Sumbawa di Mataram. Hingga saat ini, Asrama yang sejatinya adalah sebuah identitas kami, tak bisa lagi digunakan.
Mahasiswa Sumbawa – Mataram kocar kacir. Untuk melakukan berbagai kegiatan kemahasiswaan saja, kita terpaksa berkumpul di tempat-tempat umum yang sama sekali tidak kondusif. Padahal, mahasiswa Sumbawa yang melanjutkan studi di Mataram tergolong mayoritas.
Berbeda halnya dengan mahasiswa Sumbawa lain diseberang sana, kami di Mataram memang tak lagi memiliki Asrama. Namun, kami masih memiliki semangat persatuan demi menjaga marwah dan menjadi cambuk pedas bagi para pemimpin Sumbawa yang lalai dalam menjakankan amanah.
Tercatat juga sekian banyak alumnus Mataram yang menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan Sumbawa saat ini. Bahkan, wakil pemerintah Provinsi NTB juga merupakan putra asli daerah Sumbawa.
Lalu, begitu sulitkah untuk sekedar membangun rumah suci bagi para generasi penerus daerah?
***