Sejak tahun 2000 PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) telah melakukan penambangan terbuka di Batu Hijau Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) hingga saat ini. Perusahaan tambang emas dan tembaga ini juga telah berkontribusi cukup signifikan untuk membantu pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan Kabupaten Sumbawa. Bagaimana proses penambangan dan pengelolaan air tambang di lubang tambang yang selama ini menjadi kebanggan masyarakat di Sumbawa Barat dan Sumbawa tersebut? Berikut ini laporannya.

Menelisik lubang tambang PTNNT di Batu Hijau adalah pengalaman yang memberikan pengetahuan tambahan khususnya dalam proses penambangan terbuka secara umum dan pengelolaan air asam tambang hingga proses reklamasi lahan bukaan tambang. Dua orang karyawan yang memberi pemaparan tentang proses tersebut juga sangat memahami masing-masing job di bidangnya. Mereka adalah Senior Specialist Mine Compliance – Budianto dan Senior Specialist Environmental Reclamation – Muhammad Fitrah Jayadi K.
Dengan pemandangan sebuah sumur terbuka dengan diameter sekitar 2,5 km dan kedalaman minus 240 meter di bawah permukaan air laut di hadapan mata, Budianto memaparkan kepada wartawan pulausumbawanews.net, bahwa penambangan diawali dengan melakukan pembukaan lahan dan penyelamatan pepohonan. Begitu pula dengan tanah penutup yang akan digunakan untuk kebutuhan reklamasi. Setelah itu barulah melakukan pengeboran dan peledakan batuan, dilanjutkan dengan pengangkutan batuan yang telah dipisahkan berdasarkan kandungan material bernilai ekonomis dan tidak bernilai ekonomis.

Setelah lahan dibuka dan pohon-pohon diselamatkan dan soil atau tanah penutup yang harus diselamatkan untuk kebutuhan reklamasi di akhir tambang maupun dalam proses penambangan. Kalau ada daerah yang sudah final maka segera harus direklamasi tidak menunggu sampai tambang habis atau tutup baru direklamasi.
“Setelah tanah diselamatkan, kemudian dilakukan pengeboran dan peledakan karena batuan keras tidak bisa langsung digali dengan alat gali jadi harus dilakukan pengeboran dan pelekadan. Dari hasil pengeboran digabungkan dengan data-data eksplorasi awal maka akan muncul pemodelan, dari itu bisa diketahui jenis material yang akan digali,” terang Budianto.
Dari situlah sambungnya, akan didefinisikan apakah material tersebut memiliki kadar mineral yang tinggi atau dengan kadar yang rendah, atau material yang tidak memiliki nilai ekonomis.
Kemudian material tersebut akan diangkut oleh alat pengangkut di sini. Setelah dimuat di atas haul truk akan diangkut berdasarkan jenis material tersebut. Kalau material high grid akan ditempatkan langsung di crusher, kalau material tidak high grid akan ditempatkan sementara di stock pile untuk nantinya akan diolah jika tidak ada pasokan material high grid. Untuk material yang tidak memiliki nilai ekonomis akan ditempatkan di daerah Tongo Loka sebagai batuan buangan.
Untuk batuan high grid semuanya ditempatkan di crusher dengan tingkat produksi batuan keseluruhan saat ini sekitar 380.000 ton per hari, 300.000 ton per hari untuk biji. Dari 300.000 ton tersebut yang dikirim ke crusher sekitar 150.000an ton. Sisanya akan ditempatkan di stock pile untuk nantinya diolah ketika nanti tidak ada suplai bijih dari penambang.

Sejauh ini, papar Budianto, tahapan penambangan sudah mencapai tahap 7 atau fase 7 seluas 602 hektar. Untuk produksi utama di bagian bawah adalah tahap pengembangan ke 6 atau fase 6.
“Fase 7 belum sampai ke fase high grid masih dalam tahap pengupasan batuan penutup rMungkin sampai 2021. Untuk high grird dan ada gap dengan fase 6 karena dan persoalan ijin yang belum selesai sehingga agak jauh rentangnya, untuk umur tambang akan selesai sekitar 2024. Lubang tambang akan dibiarkan seperti ini dan menjadi tampungan air yang besar, kecuali batuan penutup akan direklamasi semuanya,” imbuhnya.
Lalu bagaimana dengan sistem pengelolaan air tambang yang diterapkan oleh PTNNT? Budianto menceritakan, bahwa PTNNT dalam hal ini menerapkan sistem pengelolaan air tertutup. Semua air yang ada digunakan, tidak ada air yang diperbolehkan keluar dari lingkungan penambangan. Semua air yang ada, ditempatkan di kolam penampungan sementara yang terletak di bagian sumur tambang, beberapa di Tongo Loka dan Katala. Lalu air di kolam-kolam penampungan sementara tersebut akan dipompakan ke Santong 1 dan secara gravitasi akan turun ke Santong 2, dan Santong 3. Kemudian di Santong 3 akan dipakai untuk pemprosesan, nantinya akan dinetralisir tingkat keasamannya.
Setelah mendapatkan penjelasan mengenai proses penambangan dan pengelolaan air tambang. Kemudian Senior Specialist Environmental Reclamation, Muhammad Fitrah Jaya Kurniawan, menjelaskan proses reklamasi di tambang Batu Hijau.

Di mana dalam hal ini, batuan yang tergolong yang tidak ekonomis ditempatkan di Tongo Loka dan Sejorong. Batuan itu nantinya digunakan untuk reklamasi, karena kalau dibiarkan terbuka, nanti batuan tersebut akan menghasilkan air asam tambang yang tingkat keasamannya cukup tinggi dan tidak bisa dilepaskan ke sungai. Oleh karena itu, upaya mengurangi air asam tambang yaitu dengan melakukan reklamasi.
Prosesnya, dari timbunan awal dengan elevasi kemiringan lereng terlalu miring 36 derajat diubah sedemikian rupa sampai kemiringan 26,6 derajat atau perbandingan horizontal-vertikal 2:1 (2 Horizontal dan 1 Vertikal). Sehingga kemiringannya ketemu.
Setelah kemiringannya ketemu, maka dilakukan pelapisan tanah setiap 50 cm dan dipadatkan sampai dengan ketebalan 2,75 cm. Terdiri dari 2,25 base soil dan 0,5 top soil. Setelah itu selesai tanah tersebut masih terbuka, untuk mengurangi erosi dan sedimentasi dilakukan energy break atau penanggulangan erosi dengan memasang tanaman pohon banten dan damar juga jug net atau ijuk. “Semuanya berfungsi untuk mengurangi potensi erosi karena di tahap awal belum ada pengendali erosi,” jelasnya.
Setelah tahap itu maka selanjutnya melakukan cover crop atau tumbuhan penutup untuk jangka panjang. Semua permukaan tanah ditutup dengan tanaman yang dilakukan pada musim hujan Desember-Januari.

“Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan kondisi hutan sesuai dengan peruntukan atau fungsinya. Karena dari pinjam pakai awalnya kawasan hutan, Kementerian Kehutanan meminta agar dikembalikan dalam bentuk hutan. Pohon-pohon yang ditanam diperoleh dari hutan sekitar diperoleh dari bentuk biji dan dikembangkan. Setelah 3 sampai 6 bulan siap tanam dan kembalikan ke daerah reklamasi,” ulas Joy sapaannya.
Untuk hutan yang dibuka tambahnya, juga diselamatkan dengan cara menanam tanaman dalam ukuran pancang atau sekitar di atas 1,5 m tinggi dan diameternya 10 cm. Ketimbang ditimbun begitu saja, maka dilakukan penyelamatan dulu pada daerah yang dibuka kembali. Setelah dipelihara dan dikembalikan ke daerah reklamasi.
Rata-rata reklamasi yang dilakukan setiap tahun tidak terlalu banyak karena terbentur dengan proses yang cukup rumit dan biayanya cukup mahal mencapai 1,3 Miliar rupiah per hektar. Sehingga melakukannya setiap 30 sampai 40 hektar setiap tahunnnya. Dari total area yang dibuka seluas 2.743 hektar, 770 hektar sudah direklamasi, dengan kata lain PTNNT masih punya hutang banyak untuk melakukan reklamasi untuk ke depannya. (Ken Kaniti)