OPINI : Katakan “TIDAK” pada Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan !

Oleh : Ulva Hiliyatur Rosida
(Dosen & Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STAI NW Samawa)

Baru saja Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (02 Mei 2025), namun peringatan tersebut justru dinodai oleh berita-berita yang berseliweran di jagat maya yaitu tindakan tidak senonoh dan menyeleweng dari norma-norma kebaikan, diantaranya norma agama, norma hukum, norma kesopanan, dan norma kesusilaan yang tak lain dan tak bukan adalah aksi kekerasan seksual! Miris!

Kekerasan seksual telah diatur dalam undang-undang. Kekerasan seksual dalam undang-undang nomor 12 tahun 2022 dinyatakan bahwa segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. Berbagai macam jenis dari tindakan kekerasan seksual ini diantaranya pelecehan seksual fisik, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, dan lainnya yang dirangkum dalam kekerasan seksual baik itu verbal maupun non verbal. Mirisnya lagi, tindakan tak bermoral ini justru terjadi di Lingkungan Pendidikan, sebuah lingkungan yang dimana dijadikan sebagai tempat untuk mentransformasikan keilmuan, memperbaiki moral, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.

Lembaga Pendidikan yang seharusnya dijadikan sebagai tempat dan wadah bersih nan suci dari perbuatan-perbuatan tercela dapat berubah menjadi wadah dan tempat hitam legam yang mengerikan akibat dari perilaku buruk ini, Na’udzubillah. Beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Nusa Tenggara Barat menjadi ibroh (pembelajaran) untuk dapat kita cerna dan hindari. Antara seorang santri dengan gurunya (kyai) pada sebuah Ponpes (Pondok Pesantren) seakan tak mau kalah dengan adegan kisah serial dari negeri Jiran yang kerap kali disebut film “Walid.” Kata dari bahasa Arab yang maknanya “Bapak” ini seakan berubah fungsi menjadi bagian dari keburukan dan ketidaknyamanan akibat tindakan ini.

Disusul dengan kasus pada perguruan tinggi antara pegawainya dengan mahasiswi serta pada salah satu perguruan tinggi yang dibalut dengan atmosfer religius, dimana seorang oknum dosen melakukan tindakan asusila terhadap mahasiswinya. Hal ini merupakan tindakan-tindakan yang pada awalnya tidak masuk dalam logika dan pandangan manusia. Namun, faktanya ruang aman dan nyaman ini (Lembaga Pendidikan) dijadikan sebagai ladang birahi yang merusak integritas moral dan ruh spiritual. Mau dibawa kemana pendidikan kita? Mau menjadi apa generasi kita?

Dampak Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Pertama, munculnya rasa ketidakpercayaan masyarakat pada Lembaga Pendidikan itu sendiri, walaupun tidak seluruh Lembaga Pendidikan itu melakukan hal keji yang serupa, namun mereka akan dapat imbasnya. Terlebih Lembaga Pendidikan yang notabenenya merupakan Lembaga Pendidikan berbasis keislaman atau keagamaan, dimana para orang tua dan masyarakat selama ini menilai bahwa Lembaga ini merupakan Lembaga suci yang tidak hanya mendidik dalam hal transformasi keilmuan namun juga menata jiwa dari sisi akhlak.

Kedua, adanya rasa ketidakpercayaan publik pada seorang pengajar yang ada, baik itu kepada seorang guru, dosen, kyai, ustadz, pembina, tenaga kependidikan dan lainnya. Dengan demikian, marwah dan citra mereka sebagai garda terdepan Pendidikan yang amanah dapat tergerus oleh arus kasus yang tidak bertanggungjawab ini.

Ketiga, tentu dampak yang ketiga ini adalah bentuk trauma atau adanya ketakutan bagi para korban kekerasan seksual yang dapat berakibat fatal pada masa depan generasi penerus Bangsa dan Agama. Karena telah kita ketahui bersama bahwa kemajuan Negara dan Agama juga terletak pada generasi emas yang maju dan bukan pada generasi cemas yang pasif.

Solusi Pencegahan Kekerasan Seksual

Pertama, memegang teguh prinsip agama dan akhlak terutama dalam menjaga pandangan serta menjaga diri baik dalam penampilan maupun tingkah laku oleh seorang perempuan maupun laki-laki dalam bergaul baik dalam lingkungan Pendidikan maupun di luarnya. Sebagaimana dalam syari’at Islam telah diatur dalam firman Allah tentang hal ini yang artinya:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui atas apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30).

Ayat selanjutnya (QS. An-Nur: 31) juga menyatakan hal yang sama, namun ditujukan kepada perempuan agar mereka juga menjaga diri dan pergaulannya dengan sebaik mungkin. Karena bisa jadi permulaan dari tindakan asusila ini bukan langsung dari seorang laki-laki, tapi dari perempuan yang tidak menjaga pakaian yang dikenakan maupun dari diri dan akhlak yang tidak dijaga dengan baik, terlebih ia sudah menginjak fase baligh atau dewasa.

Kedua, setiap kita berhak dan wajib berani untuk mengatakan “tidak” pada perilaku buruk oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan Agama dan pemegang kewenangan. Adanya relasi kuasa atau kewenangan memang membuat tunduk dan rela, namun kita harus sadar bahwa relasi tersebut ada batasan-batasannya.

Ketiga, peran orang tua dalam mengingatkan dan mengedukasi anak-anaknya menjadi bagian penting dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Orang tua dalam hal ini dapat memberikan edukasi atau sosialisasi di rumah terkait misalnya anggota badan yang tidak boleh dilihat dan disentuh oleh siapapun termasuk itu pendidik maupun salah satu orang tua yang berbeda jenis dengannya.

Keempat, Lembaga Pendidikan seyogyanya tidak menutupi hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual ini. Lembaga Pendidikan haruslah menjadi pelindung atas pergerakan yang terjadi dalam lembaganya serta tidak perlu takut dan merasa marwah atau citra dari lembaganya akan buruk di mata publik, justru dengan segera menangani secara lugas dan mengawasi aktivitas di dalam naungannya adalah bentuk terwujudnya fungsi dari Lembaga Pendidikan.

Kelima, adanya pengawasan kelembagaan yang lebih efektif dan ketat serta kebijakan hukum yang pasti sehingga para pelaku akan takut dan tidak ada lagi kasus yang serupa. Sebagaimana tertuang di dalam UU No. 12 tahun 2022 bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

Keenam, seluruh elemen masyarakat termasuk unit terkecilnya yaitu keluarga, Lembaga Pendidikan, dan pemerintah harus saling bersinergi dalam mencegah tindakan asusila baik dalam lingkungan Pendidikan maupun di seluruh lini kehidupan. Semoga Allah, Tuhan yang Maha Kuasa senantiasa menjaga diri dan lingkungan kita dari hal buruk dan keji. Aamiin. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment