oleh : Galan Rezki Waskita (Kader HMI Malang)
Jika hujan turun maka halaman basah. Jika belajar maka pintar. Begitulah kira-kira contoh hukum silogisme. Pada ranah pendidikan, maka bentuknya adalah; jika guru ada, maka masa depan bangsa akan cerah. Bentuk penarikan kesimpulan itu adalah pernyataan paling akurat dan teruji. Bukan hanya sebatas teori, namun juga berdasarkan pengalaman.
Sampai dengan hari ini, dampak keberadaan guru telah menjadi pondasi kokoh bagi setiap orang menjalani hari-harinya. Sebut saja yang paling sederhana yakni baca tulis, dan berhitung. Tidak akan ada ibu-ibu warung, pedagang asongan, atau atau pengusaha sekelas Chairul Tanjung jika guru tidak ada.
Sebagian pembaca juga mungkin mengingat bahwa Imam Bukhari rela berjalan jauh untuk mendapatkan hadits. Sabda-sabda rasul yang dikumpulkannya mendapatkan predikat shahih dengan tolak ukur kevalidan sumbernya. Artinya ia mendapatkan pengetahuan dari seseorang yang memiliki kredibilitas. Ia memilih sosok yang betul-betul bisa didengarkan dan saling bertukar pikir.
Dari sudut pandang yang berbeda, artinya sosok yang ditemui oleh Imam Bukhari adalah manusia yang mampu menegakkan ilmu. Dalam bahasa lain, mereka adalah guru yang mewariskan syariat Nabi Allah. Keberadaannya telah menjadi bagian dari tatanan spiritual yang akan terus digunakan sampai akhir zaman.
Adapun mereka yang berikutnya menjadi Imam, disebutkan dalam berbagai kisah bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar adab dibandingkan hadits. Cara tersebut serupa dengan pendidikan karakter yang diwajibkan Pemerintah. Pendidikan macam ini menekankan fungsi etik dan norma dalam memandang serta merealisasikan pikiran.
Kita tidak pernah tahu dari mana Pemerintah mengambil referensi dalam menentukan jalan pendidikan. Yang jelas, persentase adab memiliki porsi yang besar dalam proses belajar saat ini.Cara-cara ini adalah peluang yang digunakan untuk mengembalikan karakter ketimuran yang berbudaya dan sarat akan tata krama.
Siapapun memahami bahwa mengajarkan toto dan kromo memiliki kewajiban menyertakan hati. Hal ini karena adab bukan hanya tentang aturan, namun membentuk sikap dalam berperasaan. Sikap rasa ini adalah instrumen paling penting yang menyatukan semua rakyat layaknya jiwa korsa.
Persatuan ini telah termaktubkan dalam bahasa Bhinneka Tunggal Ika. Istilah tersebut telah membawa nilai resistensi bangsa dari perpecahan, termasuk yang berbentuk separatis. Dalam hal ini pula, hanya guru lah yang mampu membangun madzhab nasionalis berkeadaban dalam diri setiap pribadi. Intensitas pertemuan dengan materi yang terstruktur adalah indikatornya.
Tidak heran banyak yang menaruh perhatian lebih terhadap sosok yang biasa disebut pahlawan tanpa tanda jasa ini. Hampir semua elemen masyarakat meletakkan kepala anak-naka mereka dipangkuan guru. Kita sama-sama memahami bahwa pola pikir adalah sisi rentan yang pada akhirnya menentukan identitas seseorang.
Identitas bukan hanya perihal nama. Identitas dapat berupa ideologi, gerakan, atau sekedar penafsiran pada sesuatu. Identitas adalah tanggung jawab sekaligus risiko yang dipilih setiap orang untuk melekat pada dirinya. Semuanya selalu berangkat dari cara-cara seseorang bernalar dan mempersepsikan dunia.
Pembentukan karakter menuju nasionalisme dan guyub rukun hanya mampu dilakukan oleh orang yang menyadari bahawa, setiap anak adalah aset bagi negara. Maka dalam bahasa yang paling sederhana, barang siapa yang mencintai guru, maka ia telah mencintai bangsa ini.
Nyatanya, investasi terbesar tidak terletak pada kilang minyak, tambang batu bara, atau gunung emas. Investasi terbesar selalu tumbuh dari siswa-siswa dengan otak yang gemilang. Pengetahuan mereka adalah aset yang tidak dapat dirumuskan dalam sifat nominal. Mereka adalah penentu bagaimana negara ini akan memperjalankan rumah tangganya di masa yang akan datang.
Setidaknya, dengan memahami sisi penting ini, kita sebagai masyarakat yang berada di luar lembaga pendidikan dapat turut membangun lingkungan yang edukatif. Cara-cara sederhana ini dapat dilakukan dengan menjaga ketertiban, dan membangun keharmonisan dalam masyarakat. Lebih teknis, hendaklah setiap orang membuka ruang diskusi sesederhana apapun dalam setiap kumpul keluarga.
Ini akan sangat efektif jika semua orang bersepakat untuk mengembalikan marwah pendidikan yang sempat gamang selama pandemi. Langakah-langkah ini sangat mudah dan ringan untuk diterapkan, jika semua orang memahami kebutuhannya sendiri terhadap pendidikan. Bagi guru, tindakan tersebut akan menjadi semangat untuk tetap berinovasi.
Tindakan tersebut juga sekaligus bentuk penghargaan yang nyata bagi guru, meski sesederhana orang tua menanyakan pelajaran anaknya.
Terlepas dari kepentingan menjadikan diri atau anak sebagai seorang intelektual, penghargaan pada guru tidak boleh dipandang sebagai situasi momentual. Penghargaan seharusnya tetap ada sepanjang ambisi kita tetap menyala terhadap pendidikan.
Dua tahun terakhir telah menjadi momentum paling baik dalam dunia pendidikan. Peningkatan kesejahteraan melalui perekrutan PNS, PPPK, serta Program Guru Penggerak telah menjadi penghargaan yang luar biasa bagi bangsa ini. Maka tuntutan terbesar yang harus ditagih saat ini adalah, kemauan masyarakat dalam merawat dan memupuk benih ilmu yang ditanam guru pada kepala setiap anak. (***)