OPINI : Catatan PTM di Buku Baru Siswa Baru

Oleh : Galan Rezki Waskita (Kader HMI Malang Raya)

Suatu hari di Senin pagi, akan didapati seragam merah-putih, putih-biru atau putih abu-abu di gang-gang rumah atau simpangan jalan. Mereka adalah para pelajar yang selama bertahun atau berbulan-bulan merasa asing dengan bangunan sekolah atau wajah gurunya. Sebagian dari mereka mungkin juga baru mengenal baca tulis. Namun satu hal yang pasti, mereka adalah orang dengan semangat yang baru.

Tidak bisa dipungkiri, mayoritas orang pernah berada pada semangat yang sama. Namun mungkin juga, sebagian kita disaat itu asing dengan sistem Belajar Dari Rumah (BDR). Kita Akrab dengan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang notabene lebih eksklusif sebagai bentuk transfer ilmu pengetahuan. Untuk itulah penanaman nilai juga menjadi cukup efektif.

Kita tahu bahwa perbedaan tersebut tidak terlepas dari faktor pandemi dan rekayasa metode belajar yang coba diupayakan Pemerintah. Kita juga tahu bahwa tidak semuanya dapat berjalan mulus. Tapi konsekuensi dari setiap upaya adalah sesuatu yang mutlak diterima. BDR telah menjadi solusi buruk yang terbaik ditengah keterbatasan.

Saat ini Pemerintah telah melonggarkan pembatasan sosial masyarakat termasuk mengenai pendidikan. PTM mulai digerakkan di berbagai tempat di tiap-tiap daerah. Euvoria baru kemudian muncul disetiap instrumen pendidikan. Sekolah kembali menjejaki marwah yang sesungguhnya.

Keputusan ini juga tidak lepas dari pertibangan akan keeresahan para guru dan wali murid akan cara-cara belajar. Meski kita juga memahami bahwa sebelumnya, Pemerintah juga tetap memberikan support metode maupun anggaran.  Tapi pelayanan dalam distribusi ilmu pengetahuan tetaplah menjadi prioritas.

Sayangnya tidak semua pihak mampu mengedepankan rasionalitas dalam menyikapi segala keputusan. Beberapa sekolah kembali dibuka sebagaimana masa-masa normal. Sementara yang diinginkan adalah pembukaan dengan kapasitas terbatas. Padahal, hal ini juga termasuk harapan besar dari Presiden Jokowi.

Pembelajaran diminta untuk dibatasi dalam jumlah durasi dan kapasitas ruangan yang hanya 25% per kelas. Sekolah PTM hanya dilakukan dua kali pertemuan dalam satu minggu. Tentu saja ini berkenaan dengan protokol kesehatan demi kelancaran segala sesuatunya. Ketentuan ini telah tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemendikbud Ristek dan kementerian lainnya.

Sebut saja di Kabupaten Bandung, Ciamis, Samarinda, Sragen, Jakarta, dan beberapa tempat lainnya. Ditemukan sekolah-sekolah yang membuka PTM tidak sesuai dengan ketentuan Pemerintah. Di Solo, Pemkot sampai memberikan ancaman penutupan bagi instansi pendidikan yang melanggar. Sementara jika bertolak pada akar kebijakan, ketentuan Kemendikbud Ristek telah berlandas pada kepentingan umum.

Mari kita cermati pola-pola yang telah berlangsung. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah dilakukan secara berulang-ulang. Keputusan ini terbentuk atas fluktuasi angka sebaran virus, terdampak, dan kematian akibat Covid-19. Sedangkan setiap kebijakan yang dikeluarkan membutuhkan anggaran.

Jika PTM dibuka tanpa memperhatikan protokol yang telah ditetapkan, maka pendidikan telah kehilangan esensinya. Sekolah hanya akan menjadi tempat beternak manusia-manusia yang keracunan dengan euvoria. Sekolah hanya akan membentuk klaster yang membuat masyarakat kian tercecer. Situasi seharusnya tetap aman demi adanya kestabilan.

Bayangkan jika seorang siswa baru sampai ke sekolah dan saling bertegur sapa dengan rekan sebaya. Mereka tidak akan berpikir tentang covid atau perihal rasa sakit. Mereka hanya tahu kebebasan yang diberikan adalah bentuk kata aman. Mulai dengan saat itu, di lembar pertama bukunya akan tertulis sebuah kata yaitu “menyenangkan”.

Namun jika realitas telah ditemukan, mereka akan mengubah judul catatan tersebut dengan kata “keributan”. Mereka akan menyadari bahwa kebebasan adalah jalan menuju kesengsaraan berikutnya. Mereka telah terfasilitasi oleh para pelanggar. Lalu akan muncul pertanyaan; Bagaimana bisa pelanggar disebut pendidik?

Demikian tulisan-tulisan itu akan tertuang dengan penuh keresahan. Buku pelajaran beralih menjadi buku diary yang begitu menyentuh. Merah -putih, putih-biru, atau putih abu-abu berubah menjadi warna baju pasien. Di lembar-lembar berikutnya tidak akan ada lagi teori di sekolah melainkan bahasa-bahasa pelajaran hidup.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut sangat bisa terjadi pada kondisi yang tengah berlangsung ini. Pembaca sekalian tentu familiar dengan pemberitaan potensi virus gelombang berikutnya. Atau pula, anda tentu ingat ketentuan memasuki pusat perbelanjaan yang sempat dibatasi untuk masyarakat usia dibawah 12 tahun. Semua itu terkabarkan di muka publik karena memahami adanya kerentanan-kerentanan.

Catatan demi catatan tidak lagi hanya dilakukan dengan oleh para siswa. Para penyelenggara pendidikan yang melanggar juga akan mulai menuliskan keresahan dengan judul “Penyesalan”. Lebih jauh, siapapun harus memikirkan juga cost yang harus dikeluarkan negara jika potensi ini benar-benar terealisasi. Kita hanya akan mengulang keadaan yang sama untuk tahun-tahun berikutnya.

Hari ini, mungkin kita masih dapat berbicara tentang catatan-catatan apa yang sekiranya akan tertulis di buku baru siswa baru. Akan tetapi, siapa yang mampu memprediksi sampai kapan mereka akan mampu menuang catatan jika pelanggaran ini terus dibiarkan. ***

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment