OPINI : Pemuda Sumbawa Akui Pemikiran Prof Din Syamsuddin Radikal

Oleh : Poetra Adi Soerjo (Direktur Eksekutif Open Parliament Institute )

Adalah Poetra Adi Soerjo seorang anak muda sekampung dengan Prof Din Syamsuddin mengakui bahwa Prof Din memang memiliki pikiran yang ‘radikal”. Soerjo yang juga ikut membantu Prof Din dalam mengembangkan Pesantren Modern Internasional Dea Malela mengaku sangat intens berjibaku dengan berbagai pemikiran Prof Din. Dalam berbagai interaksinya tersebut, Soerjo berkesimpulan bahwa memang pemahaman agama dan kebangsaan Prof Din sangat “radikal”.

Radikal berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Orang yang berpikir radikal artinya memahami konteks sebuah pemikiran secara utuh -tidak hanya sebatas epistemoligi dan axiologi– tapi hingga ke akar (ontologis) dari pemikiran tersebut. Dalam artian inilah Soerjo memandang pemahaman keagamaan dan kebangsaan Prof Din memang sangat kuat dan mengakar (radikal). Prof Din diakui suryo tidak setengah tengah dalam memahami tiap disiplin keilmuan, beliau memiliki pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang dalam, utuh dan holistik.

Sebagai seorang Profesor, Prof Din memiliki seluruh tools dan metodologi dalam memahami akar dari berbagai subjek dan disiplin ilmu, apalagi terkait agama dan kebangsaan. Pengalaman menempa Prof Din dengan sangat sempurna untuk memiliki pemahaman yang utuh dalam memahami relasi agama dan negara serta peradaban barat dan timur. Menyelesaikan studi di Pondok Modern Darusalam Gontor, Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah serta Master dan Phd di California University menjadikan pikiran pikiran beliau selama ini telah menjadi jembatan pengertian yang mendamaikan peradaban pengetahuan timur dan barat, dengan berbagai ragam konflik di dalamnya. Untuk itulah Prof Din memiliki pergaulan internasional yang luas dan telah menjadi tokoh dan duta perdamaian dunia.

Sudah terlalu lama kita sebagai negara bangsa disibukkan dengan definisi yang salah dalam penggunaan kata radikal, kesalahan membangun definisi inilah yang membuat riuh. Seperti tuduhan radikal yang dialamatkan ke Prof Din. Mereka menyamakan kata radikal dan radikalisme dengan ekstrim dan ekstrimisme. Ekstrimisme adalah sikap melampaui batas moderasi dan cendrung menggunakan kekerasan, maka disebut violent extremism.

Radikal dalam beragama sebagaimana asal katanya haruslah dimaknai sebagai sebuah sikap bertumpu dan berorientasi pada dasar atau akar (usuluddin). Sementara radikal dalam bernegara adalah konsisten dalam menegakkan dasar negara dan konstitusi. Dalam pengertian inilah Suryo mengakui Prof Din sebagai seorang yang beragama dan bernegara secara radikal. Akan tetapi jika diajukan pemahaman yang keliru atas kata radikal seperti segelintir alumni ITB yang bergabung dalam GAR, maka itu salah kaprah dan sesat menyesatkan. Sikap kelompok ini justru sebuah sikap ekstrim, karena melampaui batas.

Itulah penyakit intlektual hari ini yang kurang radikal dalam memahami disiplin ilmu. Kurang radikal dapat disebut sebagai dangkal atau tanggung dan atau tidak utuh memahami akar dari berbagai pemahaman dan peta pemikiran. Pemahaman yang tidak radix atau dangkal inilah yang membuat seseorang menjadi ngambang dan mudah digoyang. Dari sinilah justru ekstrimisme itu lahir, ekstrimisme dalam sejarahnya selalu lahir dari orang orang yang tidak memiliki tradisi berpikir yang baik dan dangkal dalam berpikir sehingga mudah distir dan atau dibelokkan menjadi melakukan tindakan ekstrim. Jika orang memiliki dasar pikiran yang kuat dengan tradisi berpikir yang baik dan mengakar (radix), maka dia tak akan mudah terjebak menjadi ekstrimis. Dan ingat, radikal dan ekstrim ini adalah dua terma yang jauh berbeda, radikal sama sekali bukanlah ekstrimisme. Sudah terlalu lama negara ini dikacaukan dengan pengertian yang keliru dalam memahami kata radikal. Radikalisme berpikir tentu melahirkan sikap kritis karena keutuhan dalam memahami konsepsi, dan adalah kemunduran ke era jahiliyah jika tradisi berpikir kritis dipandnag sebagai ekstrimisme.

Para intelektual yang tidak radix atau dangkal dalam berpikir inilah yang suka genit menggunakan terma radikal tidak pada tempatnya. Orang-orang yang dangkal dalam berpikir terlalu banyak berbicara terkait sesuatu yang dia sendiri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan. Dan lebih jauh lagi, tradisi berpikir yang tidak radix telah dalam jangka waktu yang lama menciptakan peradaban masyarakat dengan pribadi yang lemah dan hipokrit. Pagi bicara tahu, sore bicara tempe. Apa yang menjadi keyakinan hatinya berbeda dengan yang terucap dan berbeda lagi dengan apa yang menjadi tindakannya. Pikiran, perkataan dan perbuatan tidak lahir dari keyakinan hati yang mantap yang lahir dari utuhnya pemahaman dan konsepsi. Untuk itulah Islam mengajarkan kita kaffah atau menyeluruh atau radix dalam pikiran dan pemahaman, tidak boleh dangkal dan separuh. Seperti dalam puisi seorang jomblo yang kesepian “aku lelah menjadi separuh“. Orang yang separuh memang nelangsa.

Di Pondok Modern Internasional Dea Malela, Prof Din telah dan sedang membangun generasi yang kuat dalam berpikir, kokoh dalam berpendirian, berkarakter dalam bersikap, dan terbuka dengan berbagai perbedaan. Prof Din adalah orang yang sudah dan sedang serta terus berbuat untuk membangun generasi bangsa yang berkarakter dengan tradisi berpikir yang terbuka dan komplek, agar tidak rapuh menghadapi problematika kebangsaan dan keagamaan di era post truth. Era dimana kita menyaksikan orang orang tak lagi memahami apa yang sedang dibicarakan, jangankan untuk memahami orang lain.

Prof Din telah menjadi figur dan tokoh dunia dalam isu perdamaian dan kemanusiaan yang universal. With or with out state, Prof Din sebagai pribadi telah menjadi rujukan bagi terbangunnya jembatan pengertian antar peradaban. Betapa ruginya Indonesia, jika seorang tokoh yang dikenal dunia sebagai simbol perdamaian dan telah berkonstribusi besar dalam berbagai konflik dunia justru diblackmail di negara nya sendiri. Negara harusnya mengambil untung dari keberadaan dan pergaulan internasional Prof Din yang telah menjadi duta dunia. Dan memang faktanya Indonesia selama ini telah diuntungkan dari berbagai aktivitas Prof Din di dunia Internasional. Penjurubicaraan beliau atas isu-isu perdamaian telah membawa harum dan atau setidaknya menutup banyak bopeng wajah demokrasi Indonesia selama ini, karena dalam kapasitasnya berbicara sebagai penyeru perdamaian, solidaritas, toleransi dan HAM, Prof Din tetaplah direkognisi dunia sebagai orang Indonesia dan sedang sekaligus menjurubicarai Indonesia. Sehingga lucu jika emas yang telah menjadi duta Indonesia di berbagai forum dunia justru dirusak dengan labeling radikal dalam pengertian yang sempit di negerinya sendiri. Dilabeling dengan pengertian radikal dengan basis definisi yang contradictio in terminis yang sebenarnya sedang menpertontonkan kedunguan kita sebagai bangsa dalam peradaban pengetahuan.

Dalam hal ini, pelapor Prof. Din Syamsuddin yang mengatasnamakan GAR Alumni ITB ke KASN agar Prof Din dipecat dari PNS jelas tidak memahami makna radikal dan radikalisme. Dan terkesan buta berita, kurang baca koran dan ikuti perkembangan dunia. Di banyak berita Prof. Din Syamsuddin justeru merupakan tokoh Islam moderat.

Prof Din adalah penggagas konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Negara Kesaksian) yg kemudian disepakati oleh Muktamar Muhammadiyah 2015 sebagai pedoman umat Islam untuk mengisi Negara Pancasila. Gagasan ini dipidatokan kembali oleh Prof. Din Syamsuddin di Gedung MPR pada 1 Juni 2012 atas undangan Ketua MPR Taufik Kiemas.

Pandangan yang sama dipidatokan lagi di Universitas Al-Azhar Mesir pada konferensi internasional tentang pembaharuan pemikiran Islam. Prof. Din Syamsuddin juga dikenal sering menghimpun para tokoh lintas agama dan berbagai elemen kemajemukan bangsa untuk kerukunan dan kebersamaan. Dalam kaitan ini ia juga memprakarsai pembentukan Inter Religious Council/IRC Indonesia, dan menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa yang melahirkan kesepakatan-kesepakatan penting bagi kerukunan hidup di Indonesia.

Din Syamsuddin juga dikenal sebagai tokoh perdamaian dunia, hal tersebut dibuktikan prakarsa beliau dalam menyelenggarakan Pertemuan Puncak Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia tentang Wasatiyat Islam (Islam Jalan Tengah). Pertemuan yg menghasilkan Pesan Bogor ini sangat penting untuk mengarus utamakan Jalan Tengah dalam beragama.

Prof Din Syamsuddin lewat lembaga yang dipimpinnya yaitu Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations, menyelenggarakan World Peace Forum sebanyak tujuh kali sejak 2006-2018 yang menghadirkan para tokoh dari berbagai negara. Temanm terakhir forum ini adalah The Middle Path for The World Civilization, yang antara lain mempromosikan Pancasila untuk menjadi ideologi dunia.

Prof Din Syamsuddin juga aktif dalam dialog antar agama dan peradaban, bahkan sampai sekarang menjadi President of Asian Conference on Religions for Peace/ACRP yang berpusat di Tokyo, dan Co-President of Religions for Peace International yang berpusat di New York. Dalam kapasitas ini, Din Syamsuddin diundang berpidato di PBB mewakili Islam dalam rangka World Interfaith Harmony Week, dan pada konpererensi Organisasi Katholik Dunia di Assisi di hadapan Paus Fransiscus; Prof Din berpidato pada General Assembly World Jewish Congress di Buddapest; dan baru minggu lalu menjadi pembicara pada Perayaan Hari Persaudaraan Sedunia yg diadakan oleh The Higher Committee for Humanity Fraternity. Ada banyak lagi forum internasional yang dihadirinya sehingga ia banyak menerima penghargaan dari beberapa negara.

Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode berturut-turut (2005-2015), Ketua Umum MUI (2014-2015), dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI (2015-2020), Prof. Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh Muslim moderat seperti wawasan keagamaan Muhammadiyah.

Jika hanya karena sikap kritisnya terhadap kekuasaan prof Din diblackmail maka memang sedari dahulu Prof Din aktif dan concern dalam membela kebenaran dan keadilan. Ia tidak segan-segan mengeritik penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang diyakininya sebagai amar ma’ruf nahyi munkar. Dia terkenal konsisten dengan sikap demikian. Beliau tidak mentolelir penyimpangan terhadao kesepakatan dalam konstitusi, ada banyak sekali UU yang beliau gugat ke Mahkamah Konstitusi seperti UU SDA yang akhirnya dibatalkan untuk keseluruhan.

Maka bagi yg memahami dunia akademik dan pergerakan Islam, serta memahamai radikalisme secara benar, tentu tidak akan ceroboh menuduh Din Syamsuddin radikal. Jangan-jangan sikap menuduh orang lain sebagai radikal adalah sikap radikal itu sendiri.

Kiranya, bagi Prof. Din Syamsuddin, yang sering mengatakan sudah selesai dengan dunia, dipecat dari ASN dan berhenti mengajar di FISIP UIN Jakarta tidak akan menjadi masalah. Banyak universitas swasta di dalam dan luar negeri yg akan menawarkan posisi sebagai dosen. Yang jelas FISIP UIN Jakarta akan rugi karena Prof. Din Syamsuddin adalah satu-satunya Guru Besar di Prodi Hubungan Internasional saat ini.

Lebih dari itu adalah tidak etis jika ada sekelompok alumni sebuah Perguruan Tinggi yang mengadukan dosen/Guru Besar Perguruan Tinggi lain atas alasan yg mengada-ada, absurd, misled and misleading. Tentu tidak elok, tidak bermutu, dan tidak bersifat akademik jika mengaitkan diri dari almamaternya yang justeru menjunjung tinggi kebebasan akademik dan nalar kritis.

Namun, orang luar tidak perlu berspekulasi dan berasumsi apakah ulah kelompok ini merupakan bagian dari operasi intelijen atau kerja dari buzzer bayaran, atau disponsori oleh pihak yg diketahui tidak menyukai Prof. Din Syamsuddin berada di MWA ITB sebagai penjelmaan pertarungan aliran keagamaan dan politik di lingkungan kampus. Yang jelas, perlakuan tidak adil terhadap Din Syamsuddin tidak akan berhenti jika mereka berhasil mendongkelnya dari ASN. Atau malahan justru itu lebih baik bagi Din Syamsuddin untuk lebih bebas menggerakkan gerakan oposisi terhadap kezaliman. ***

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment