OPINI : Benarkah Indonesia Darurat Radikalisme ?

Oleh :
Yuyun Wira Sasmita
( Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Keguruan dan Pendidikan UNIVERSITAS SAMAWA )  

Menurut para ahli, Pengertian Radikalisme adalah suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan / ekstrim.
Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku.

Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan Agama tertentu, pada dasarnya radikalisme adalah masalah politik dan bukan ajaran agama.

Radikalisme dan ekstremisme telah berkembang menjadi isu global. Isu ini juga dikaitkan secara stigmatik dengan Islam. Disadari ataupun tidak, isu radikalisme, sesungguhnya bermula dari ekplorasi ekstrem atas ‘maskulinitas’ agama. Maskulinitas tersebut diekspresikan dalam wujud keberagamaan yang kolot, keras, memaksa, dan intoleran.

Tidak hanya itu, aksi-aksi radikalisme yang selama ini meledak-ledak, mayoritas pelakunya adalah laki-laki. Bisa dilihat dalam aksi-aksi radikalisme dan terorisme yang semakin menciptakan arus baru dalam keberagamaan. Radikalisme merupakan cara beragama dari nalar laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki.

Lalu di mana posisi perempuan?

Dunia radikalisme begitu kejam dan tidak ramah terhadap perempuan. Perempuan seakan-akan menjadi makhluk yang tidak berdaya, dianggap rendah dan perannya dalam kehidupan sosial semakin termarginalkan. Arus radikalisme telah menciptakan manusia radikal dan menempatkan perempuan semata-mata sebagai obyek.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang dialami oleh Haideh Moghissi, perempuan tertindas yang hidup di negara Islam (Iran) dan disingkirkan menjadi cermin benderang bagaimana agama (Islam) diperlakukan kaum laki-laki agar tetap dapat mengontrol, mengawasi, dan menguasai kaum perempuan.
Sebagaimana gugatan yang telah ia pahat kuat dalam karyanya  “Feminisme dan Fundamentalisme Islam”, “Selama berabad-abad lamanya, seksualitas dan tingkah laku perempuan menarik perhatian laki-laki (Muslim); Kepentingan-kepentingan dan tulisan-tulisan dari laki-laki telah membatasi kehidupan perempuan dan partisipasi penuh mereka dari urusan-urusan publik…” (Haideh Moghissi, 2005: V).

Musdah Mulia, seorang feminis dan pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, juga memandang bahwa radikalisme telah membawa kriminalisasi dan viktimisasi terhadap perempuan. Contoh yang nyata adalah tindakan pencucian otak terhadap perempuan untuk bersedia bergabung dalam gerakan radikalisme.

Ada iming-iming surga dan neraka yang ditawarkan kepada perempuan untuk menjadi bagian dari radikalisme. Bahkan, rayuan diberi kemewahan berlimpah-ruah pun diberikan sebagai bujuk rayu. Celakanya bila perempuan dibujuk untuk dipinang oleh laki-laki yang memiliki gelar tertentu, seperti ustazd, gus, kyai atau syekh, maka hal itu dianggap sebagai penghormatan.

Seorang sejarawan, Bonnie Triyana, mengatakan bahwa bila adanya terorisme di Indonesia awalnya terjadi karena upaya perebutan kekuasaan antara laki-laki, namun harus diakui pada akhirnya perempuanlah yang menjadi korban.

Kurangnya posisi tawar yang dimiliki perempuan, telah menjadi fakor yang menempatkan perempuan dalam posisi rentan dan menjadi korban gerakan radikalisme. Dampak nyata terlihat dari kasus kekerasan yang dialami perempuan telah memburuk selama konflik dan krisis kemanusiaan.

Konsekuensi dramatisnya berimbas pada kesehatan fisik dan mental para perempuan yang menjadi korban. Dan ini membuktikan bahwa gerakan ini benar-benar menjadi malapetaka bagi perempuan. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment