Sumbawa, pulausumbawanews.net – Kasus dugaan tindak pidana korupsi suap (gratifikasi) atas sejumlah proyek fiktif pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan pada RSUD Sumbawa tahun 2022 lalu, kian menjadi perhatian publik. Pasca ditetapkannya dr DHB – mantan Direktur RSUD Sumbawa sebagai tersangka, dinilai banyak terdapat kejanggalan oleh kuasa hukumnya Advokat Surahman MD, SH.,MH. Melalui pengacaranya, tersangka menyatakan tidak dapat menerima tindakan hukum yang dilakukan Kejari Sumbawa. Sehingga pihaknya melakukan upaya hukum praperadilan terhadap Kajari Sumbawa.
Advokat Surahman MD SH MH didampingi
Advokat Hasanuddin Nasution SH MH Wakil Ketua Peradi Pusat dari Jakarta dan Advokat Muhammad Yusuf Pribadi SH dari Mataram yang tergabung dari Kantor Hukum SS dan Partner dalam konferensi Persnya kepada sejumlah wartawan di kantornya Jalan Bungur Sumbawa Besar Rabu (09/08) menyatakan bahwa penetapan dr.DHB mantan Direktur RSUD Sumbawa (Kliennya) sebagai tersangka dalam kasus RSUD Sumbawa itu maupun dilakukan penahanan terhadap tersangka dinilai terlalu dini dan tidak sesuai dengan prosedur dan tahapan hukum yang berlaku, khususnya ketentuan Pasal 112 ayat (1) KUHAP, sehingga masalah ini kami bawah ke ranah Pengadilan. “Dari hasil tela’ah dan kajian hukum, dalam kasus klien kami ini ditemukan ada kejanggalan, karena terlalu dini dr. DHB ditetapkan sebagai tersangka dengan beberapa alasan yang telah kami kemukakan dalam dalil atau permohonan dari pada peradilan, yakni pertama tanpa adanya surat panggilan sebagai tersangka itu sudah melanggar, dan kedua penetapan klien kami jadi tersangka dan yang ketiga tersangka dilakukan penahanan sesuai dengan surat penetapan sebagai tersangka maupun surat perintah penahanan terhadap tersangka oleh termohon Kajari Sumbawa pada hari yang sama Kamis 20 Juli 2023. Padahal hari itu klien kami dipanggil dan diperiksa dalam status sebagai saksi,” bebernya.
Dalam hal ini, lanjut Surahman, berdasarkan rujukan daripada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21 tahun 2015, itu sudah sangat jelas bahwa apabila dalam tahapan penerapan hukum itu ada yang tidak dilalui, baik oleh penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan ataupun penyidik dari KPK itu murni hak daripada seorang warga negara Indonesia. Dimana notabenenya dr DHB ditetapkan sebagai tersangka punya hak hukum untuk melakukan perlawanan. “Dalam konteks dimana klien kami dr.DHB, tadinya dipanggil sebagai saksi dan tidak dipanggil sebagai tersangka. Dalam hal ini justru terjadi perbuatan hukum yang luar biasa, karena klien kami langsung ditetapkan sebagai tersangka sekaligus ditahan Jaksa, dan empat, proses hukum ini dilakukan dalam hari yang sama,” papar Surahman.
Perlu dipahami bersama, sambung Surahman, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah dipertegas bahwa perbedaan pemanggilan saksi dengan tersangka ini. “Lalu kenapa kami disini mencetuskan tidak hanya penetapan tersangka mulai dari tidak adanya panggilan sebagai tersangka itu sudah melanggar pasal 112 ayat 1 KUHAP yang menjelaskan bahwa yang disangkakan atau saksi yang disangkakan sebagai calon tersangka wajib hukumnya untuk dipanggil berdasarkan surat panggilan tersangka. Karena itu harus dan itu isi dari pada Pasal (1) dimaksud atau membuat panggilan secara sah dengan status hukum sebagai apa itu dijabarkan di dalam pasal itu, karena dijelaskan di situ, apabila seorang saksi dipanggil hanya untuk meminta keterangan terkait dengan kesaksiannya, dan kalau orang yang dipanggil sebagai tersangka otomatis dia diperiksa sebagai tersangka dan tentu akan membawa sejumlah alat bukti dokumen terkait dengan pidana yang disangkakan. Sementara apa yang terjadi pada klien kami tidak demikian, karena saat itu dipanggil dalam status sebagai saksi,” jelasnya.
Menurut Surahman, jadi disinilah kekeliruan teman-teman penyidik Kejari Sumbawa. “Itu sangat kami sayangkan dan dengan pemaparan serta kajian hukum yang kami sampaikan kepada klien kami demi menjaga nama baik dan demi mengedepankan azas praduga tak bersalah serta melindungi hak klien kami itu berdasarkan undang-undang hak asasi manusia, dimana penerapan hukum seperti ini dinilai sangat keliru. Sebab unsur kesengajaan itu murni kelihatan disini dengan secara sengaja menetapkan seseorang sebagai tersangka itu terlalu dini tanpa melakukan kajian-kajian hukum sesuai dengan tahapan yang sudah diatur dalam KUHAP,” cetusnya.
Apalagi setelah orang ditetapkan sebagai tersangka dan setelah ditahan, lanjut Surahman, pihak Kejari tidak melakukan pemberitahuan ke pihak keluarga. Menurut pengacara kondang asal Sumbawa ini, hal itu sudah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014. “Itu sudah pelanggaran berat, dan tindakan hukum yang dilakukan penyidik Kejaksaan dengan menetapkan dr.DHB sebagai tersangka sekaligus dilakukan penahanan itu sama sekali tidak sah,” tegasnya. (PSp)