Yusril : Pemerintah Tidak Bisa Gunakan UU Lama untuk Pemilu 2019

Jakarta, PSnews – Pakar hukum Tata Negara, Prof DR Yusril Ihza Mahendra menegaskan pemerintah tidak bisa menggunakan UU Pemilu No 8 tahun 2012 bila terjadi deadlock dalam pembahasan RUU Pemilu 2017 yang saat ini tengah finalisasi di Komisi II DPR RI.“Kita tidak mungkin menggunakan UU Pemilu yang lama untuk pemilu 2019 karena sifat dari pemilu 2019 adalah serentak. Pemilu sebelumnya dilakukan terpisah antara Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden,” tandas Yusril yang dihubungi Pulau Sumbawa News via WA, Rabu (14/6/2017).

Ia menambahkan, bila menggunakan UU Pemilu yang lama, maka bertentangan dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat serta akan timbul legitimasi bagi presiden terpilih dan lambat laun negara ini akan mengalami kiris konstitusional. “Karena pemilu serentak, konsekwensinya, pemerintah dan DPR harus membuat UU Pemilu yang baru. Kalau pada pemilu 2019 tetap menggunakan UU Pemilu yang lama, maka akan timbul legitimasi bagi presiden terpilih dan lambat laun kita akan alami krisis konstitusional dan itu terjadi karena tidak ada pemecahannya dan terjadi konstitusionalitas bagi legislatif dan bagi presiden terpilih. Kalau terjadi  seperti itu, maka akan terjadi krisis kewibawaan dan akibatnya bisa menimbulkan chaos,” tandas Yusril.

Mantan Menkumham dan Mensekneg itu meminta agar ancaman menggunakan UU Pemilu yang lama tidak sepatutnya dikemukan oleh pemerintah. Seharusnya pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU Pemilu yang baru, yang penuh dengan kebijakan politik dan kompromi-kompromi. “Jadi saya sarankan kepada pemerintah agar menyelesaikan RUU Pemilu ini. Jangan sampai tidak datang. Apapun bentuk komprominya dan kalau sudah disesuaikan jika ada pihak-pihak yang tidak puas lalu mengajukan uji materi ke MK. Itu hak konstitusional dan itu tidak bisa dihalang-halangi oleh siapapun,” tegas Yusril yang kembali terpilih sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut.

Sebelumnya beredar kabar di Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, bila terjadi deadlock dalam pembahasan RUU Pemilu yang tengah dibahas di DPR, maka pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) dan secara otomatis akan kembali ke UU Pemilu lama. “Sungguh aneh Pemerintah sudah dua kali tidak datang ke rapat Pansus pembahasan RUU Pemilu. Sebabnya konon Pemerintah ngotot agar dalam pemilihan Presiden nanti ada ambang batas parlemen, yakni sekurang-kurangnya partai atau gabungan partai yang punya 20% kursi di DPR atau 25% suara sah dalam Pemilu DPR yang berhak mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2019 nanti. Sementara sikap fraksi-fraksi DPR masih beragam baik tentang perlu tidaknya ambang batas parlemen untuk partai atau gabungan partai dalam pencalonan Presiden, maupun angka prosentase jika mereka menerima ambang batas yang diusulkan Pemerintah.

Yusril menegaskan, kalau Pemilu dilaksakanakan serentak, Pileg dan Pilpres dilaksanakan pada hari yang sama, maka perolehan kursi partai di DPR juga belum ada. “Kalau belum ada, bagaimana caranya menentukan ambang batas 20 persen yang diinginkan Pemerintah itu? Jelaslah bahwa dalam Pemilu serentak, membicarakan ambang batas itu tidak relevan samasekali,” ucap Yusril.

Informasi yang diperolehnya, Mendagri Tjahjo mencoba mencari jalan keluar dengan mengusulkan ambang batas yang digunakan untuk Pilpres 2019 adalah hasil Pileg 2014. Menurut Yusril, usul tersebut tentu tidak beralasan. Pertama ambang batas itu sudah digunakan dalam Pilpres yang lalu. Kedua, dalam lima tahun, peta kekuatan politik sudah berubah, karena itulah ada pemilu yang baru untuk menampung peta yang berubah itu. “Andaikata ambang batas tetap digunakan dan fraksi-fraksi di DPR mengalah serta menerima keinginan Pemerintah seperti keinginan Mendagri, inipun tetap rawan. Dalam perkiraan saya, kalau ada yang mengajukan uji materil ke MK tentang ambang batas pencalonan Presiden, maka kemungkinan besar MK akan membatalkan ambang batas itu. Sebab, MK sendirilah yang memutuskan Pemilu serentak itu. Sementara logika Pemilu serentak adalah tidak adanya ambang batas sebagaimana substansi Pasal 22 E UUD 45 yang mengatur Pemilu,” terangnya.

Keinginan Pemerintah yang didukung oleh fraksi PDIP, Golkar dan Nasdem agar ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres dengan angka 20%  – 25% kursi DPR nantinya bisa melahirkan pasangan capres tunggal atau “koalisi tunggal” terdiri atas trio partai tersebut sebagai intinya, ditambah partai-partai lain yang ada dalam “koalisi” kabinet sekarang. Kalaupun akan ada pasangan lain, maka kemungkinan hanya akan ada 1 pasangan lagi. Jadi calon dalam Pilpres 2019 kemungkinan akan sama dengan calon Pilpres 2014. Perbedaan, paling-paling hanya pada calon Wapres saja. Keadaan ini tentu tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi di NKRI. “Pada hemat saya, biarkanlah kita melaksanakan ketentuan Pasal 22E UUD 45 dengan konsisten sebagaimana telah ditafsirkan dalam Putusan MK berkaitan dengan Pemilu serentak yang wajib dilaksanakan dalam Pemilu 2019 nanti. Pasal 22E itu telah dengan tegas menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum Pemilu dilaksanakan. Pemilu yang pesertanya partai politik itu hanyalah Pemilu Legislatif (DPR dan DPRD). Jadi partai atau gabungan partai itu mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden sebelm Pileg itu sendiri. Putusan MK bunyinya juga begitu. Jelas dan terang,” paparnya.

Ia menambahkan, kalau Pasal 22E UUD 45 dan Putusan MK sudah terang benderang maksudnya, janganlah Pemerintah, PDIP, Golkar dan Nasdem serta partai lain masih sibuk mencari dalil-dalil untuk membenarkan adanya ambang batas parlemen bagi parpol atau gabungan parpol dalam mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. “Demokrasi itu memerlukan jiwa besar. Jiwa besar hanya akan ada pada orang-orang besar. Sebaliknya jiwa kerdil hanya akan ada pada orang-orang kerdil, meski secara fisik mereka besar dan secara politis mereka berkuasa. Namun hakikatnya, mereka berjiwa kerdil dan ingin mengerdilkan demokrasi itu sendiri,” pungkas Yusril. Yusril

Komentar

comments

Facebooktwitterlinkedinrssyoutube

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *