Sumbawa, PSnews – Penguasaan tanah oleh PT Alam Hijau melalui sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas hamparan lahan tambak di Desa Labuhan Bontong Kecamatan Tarano dan Desa Gapit Kecamatan Empang seluas 650 hektar lebih sejak tahun 1986, dinilai sangat merugikan daerah terutama masyarakat setempat sebagai pengelola lahan.
Meski masa berlakunya HGU sudah habis, tetapi status lahan tersebut tetap terkatung-katung alias tidak jelas. Seperti diketahui dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa HGU diberikan dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Sementara HGU PT Alam Raya atas lahan tersebut sudah melebihi 25 tahun.
“Mestinya HGU PT Alam Hijau atas lahan tersebut habis masanya pada tahun 2012 yang lalu,” ungkap Direktur Riset Institut Sumbawa Strategi (ISU) – Dedi Syafikri saat hearing dengan Komisi I DPRD Kabupaten Sumbawa Kamis (2/6/2016)
Dedi Syafikri yang dimandatkan untuk mendampingi warga dua desa itu, memaparkan, selama rentang waktu 25 tahun HGU tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya sesuai perjanjian sebelumnya saat HGU diterbitkan atau dengan kata lain dibiarkan mangkrak oleh PT Alam Raya. Berdasarkan UUPA dan Peraturan Pemerintah (PP) No 40 tahun 1996, hak pengelolaan atas lahan itu seharusnya secara otomatis kembali pada negara, untuk selanjutnya digunakan demi keperluan yang lebih bermanfaat, termasuk memberikan hak pengelolaan pada masyarakat sekitar.
Kondisi ini mengakibatkan munculnya berbagai persoalan, diantaranya Pemerintah Desa (Pemdes) dan Pemerintah Kecamatan setempat tidak dapat memfasiltasi masyarakat dalam hal kepemilikan, sewa-menyewa dan jual beli lahan.
Demikian pula rentan dengan konflik sosial akibat kepemilikan lahan ganda dan proses jual beli yang berulang-ulang.
Gagalnya beberapa rencana investasi.
Sulitnya lahan tersebut dikembangkan melalui program pemerintah seperti sertifikasi tanah nelayan, pembangunan infrastruktur dan intensifikasi lahan tambak, pengembangan usaha garam dan sebagainya.
“Mengingat besarnya potensi lahan tersebut, maka kami memandang perlu dan penting baik bagi masyarakat dan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) untuk segera menindaklanjuti permasalahan status lahan HGU PT Alam Hijau ini. Masyarakat khususnya petambak berharap agar status dan ijin HGU PT Alam Hijau segera dituntaskan. Jika selama ini secara de facto telah turun temurun memiliki, mengelola dan memanfaatkan lahan pertambakan tersebut melalui penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan atau Sertifikat Hak Milik (SHM) sehingga masyarakat dapat memiliki bukti secara yuridis atas klaim kepemilikan lahan yang mereka lakukan,” papar Dedi Syafikri.
Menurut Dedi Syafikri, percepatan pemutihan status lahan untuk selanjutnya diserahkan pada masyarakat melalui penerbitan SPPT atau SHM akan memberikan dampak positif setidaknya bagi masyarakat, pemerintah maupun investor.
Status Lahan Terindikasi Terlantar
Sementara itu Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Sumbawa yang diwakili oleh Suhardi menjelaskan, bahwa terkait HGU PT Alam Hijau, dulunya tercatat berada di Desa Boal Kecamatan Empang. Namun menjadi dua kecamatan karena adanya pemekaran wilayah, yakni Desa Gapit Kecamatan Empang dan Desa Labuhan Bontong Kecamatan Tarano. Luas keseuruhan tanah HGU PT Alam Hijau sekitar 650 hektar.
Ia membenarkan, HGU PT Alam Hijau berakhir pada tahun 2012. Setiap tahun pihkanya diminta membuat laporan atas kondisi semua HGU di Kabupaten Sumbawa termasuk HGU PT Alam Hijau terkait perkembangan atau perluasannya. Ternyata lahan HGU PT Alam Hijau tersebut tidak ada perkembangan lagi atau tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sehingga BPN Sumbawa melaporkan kepada Panitia C di Provinsi NTB bahwa tanah yang berada di Desa Gapit dan Labuhan Bontong seluas 650 hektar tersebut dimasukkan dalam status terindikasi terlantar.
Status terindikasi terlantar ini akan dilanjutkan oleh pihak Kanwail BPN Provinsi NTB untuk ditetapkan. Namun hingga kini BPN Provinsi NTB belum melakukan inventarisasi dan identifikasi. “Inventarisasi dan identifikasi dilakujkan oleh Panitia C, terdiri dari unsur pejabat Gubernur, BPN, Pemda Sumbawa juga intansi terkait lainnya. Tugasnya melakukan pemetaraan lahan, antara lain mengidentifikasi berapa masyarkat yang menguasi lahan tersebut,” terangnya.
Informasi yang diperoleh pihak BPN, menurut data tahun 2008 sekitar 400 orang yang berada di lahan HGU. “Setelah mendapatkan hasil Paniitia C, mereka memberikan peringatan kepada perusahaan. Tahap pertama, dan seterusnya. Apabila hingga tahap ketiga tidak ada tanggapan, baru ditetapkan menjadi tanah terlantar. Setelah ditetapkan sebagai tanah terlantar, maka lahan itu akan dilakukan reformasi agraria atau pembagian lahan baik untuk kepentingan umum maupun untuk masyarakat pribadi,” tandasnya.
Ditegaskan, bahwa perusahan lain, tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan di atas lahan HGU tersebut. Demikian pula kepada masyarakat tidak dibenarkan untuk melakukan transkasi jual beli sebelum ada kejelasan tentang status lahan tersebut.
“Di Kabupaten Sumbawa seluruh HGU yang ada belum ada yang ditetapkan sebagai tanah terlantar, yang ada baru sebatas terindikasi terlantar,” pungkasnya.
Pemerintah Didorong Percepatan Penyelesaian Status Lahan
Anggota Komisi I DPRD Sumbawa A Rahman Atta menyambut baik keinginan masyarakat Desa Gapit dan Labuhan Bontong yang berisiatif mendorong pemerintah untuk mempertegas status 650 hektar lahan tersebut. “Sebagai bagian dari pemerintah, kita harus malu pada masyarakat. Jangan sampai rakyat justru lebih sigap dari pemerintah dalam menangani masalah ini,” tandas Adong sapaan akrabnya.
Menurut Adong, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan terhadap lahan yang masuk dalam HGU PT Alam Hijau tersebut. Tugas Panitia C menentukan lahan tersebut sebagai lahan terlantar. “Selanjutnya kita kembalikan hak kepada masyarakat melalui pemerintah desa setempat untuk mengatur tatatan sesuai porsi menurut masyarakat yang ada di daerah itu. Kita bersama-sama merekomendasikan. Khusus kepada instansi terkait, jangan sampai diketuk kepalanya baru mau bekerja. Kami siap mendampingi masyarakat,” tegas Adong.
Hal senada juga disampaikan anggota Komisi I lainnya Adizul Sahabuddin, dan Ketua Komisi IV Ida Rahayu.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Sumbawa Syamsul Fikri menegaskan, pada prinsipnya pihaknya duduk di DPRD mengatasnamakan masyarakat. Ia bertekad akan menindaklanjuti masalah ini secepat mungkin. Hanya saja Syamsul Fikri menghimbau masyarakat agar berhati-hati dalam menuntaskan masalah status tanah. “Kepada Kades Gapit dan Kades Labuhan Bontong kami minta supaya berhati-hati memediasi masyarakat atas lahan-lahan tersebut. Jangan sampai dikemudian hari menimbulkan konflik,” tandas Syamsul Fikri.
Demikian pula yang disampaikan oleh Sekretaris Komisi I DPRD Sumbawa – Ardi Juliansyah bahwa perlu kehati-hatian dalam mennangani masalah ini. “Jangan khawatir kami berdiri di samping masyarakat. Cuma harus hati-hati mengingat masalah tanah sangat rentan dengan konflik,” ingatnya.
Adapun rekomendasi yang dihasilkan pada hearing atau dengar pendapat ini, yakni mendorong Pemerintah Daerah bersama BPN Sumbawa dan Komisi I untuk mempercepat proses penuntasan status 650 hektar lahan di Desa Gapit dan Labuhan Bontong menjadi status tanah terlantar yang selanjutnya dapat dimanfaatkan dengan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. (PSa)