Wisata Sumbawa : Pesta Ponan di Desa Poto

ribuan warga berdatangan mengikuti prosesi PonanSebagai wujud rasa syukur kepada Illahi warga Desa Poto Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa ini selalu menggelar pesta Ponan. Prosesi budaya ini juga diikuti oleh warga desa di sekitar Poto seperti warga Desa Malili, Lengas, Senampar dan Songkar. Proses ini diadakan setiap pekan ke 2 atau 3 Februari, dengan cara berkumpul di suatu bukit bernama Ponan yang berada di tengah lahan persawahan yang disebut Orong Rea Desa Poto.Masyarakat di lima Desa tersebut, merayakan pesta Ponan, pada Minggu (10/02/2013) tepatnya pada minggu ketig atau keempat masa tanam padi masyarakat. Tradisi yang turun menurun tersebut merupakan simbolis dari wujud rasa syukur dan ajang memanjatkan doa kepada illahi. Agar hasil panen masyarakat setempat melimpah dan jauh dari kegagalan maupun hama.

warga PotoTradisi ini sejatinya sudah hidup dan mengakar di tengah masyarakat setempat sejak sekitar abad ke 15 masehi. Berawal dari legenda Haji Batu yang memiliki nama Abdul Gafur.

Haji Batu atau Abdul Gafur yang dimakamkan di Bukit Ponan, yang dikisahkan secara turun temurun oleh tetua adat Ponan, diketahui sebagai pemuda asal Bekat yang dikarunia sebuah karomah dari sang khalik Allah Subhanahu Wata’ala.

Haji Batu yang menjadi inspirasi turun temurun oleh masyarakat setempat, ketika hidupnya meminta kepada warga setempat agar jangan dimakamkan di tempat lain. Selain di bawah pohon Mangga Po’ (sebuah jenis mangga). “Kuber ku pang bawa puen pelam Po’ Nan” atau dalam bahasa Indonesia “Kubur saya di bawah pohon mangga Po’ itu”.

Berdoa bersamaKarena pengaruh lafaz Po’ nan kemudian lebih dikenal dan lazim disebut Ponan oleh masyarakat setempat. Kisah Haji Batu pun semakin dikenal oleh hampir semua warga di Kabupaten Sumbawa. Terutama setiap perayaan pesta syukuran Ponan di Orong Rea, Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir.

Tradisi ini memiliki ciri khas terutama jenis kuliner yang sengaja disiapkan oleh kaum wanita. Tidak satupun kue yang dihidangkan berupa gorengan atau kue yang digoreng. Semua jenis kue yang dihidangkan seperti, Petikal, Buras, Range’ maupun Onde-Onde tanpa gula. Semuanya harus dimasak dengan cara direbus dan dibakar untuk Range’.  Sedangkan kue Petikal dan Buras harus dibungkus menggunakan daun kelapa dan daun pisang.

Penggunaan daun kelapa dan pisang ternyata bagi masyarakat setempat dianggap sebagai bentuk kehebatan nenek moyang mereka dalam menyikapi sesuatu. Pasalnya, dengan peringatan tradisi Ponan ini, masyarakat yang awalnya tidak menanam pisang dan kelapa akhirnya menanam kedua jenis tanaman ini. Hal ini dianggap sebagai bentuk pelestarian lingkungan.

warga antusias mengikuti porsesi PonanKenapa harus direbus? Masyarakat setempat meyakini bahwa, dengan direbus akan menghasilkan uap. Uap hasil rebusan inilah disimbolkan sebagai penguapan yang diharapkan akan menurunkan hujan untuk mengairi sawah petani.

Menurut Ketua Lembaga Adat Ponan, Hatta Jamal, tradisi ini sejatinya diperingati sebanyak 2 hingga 3 kali dalam setahun. Namun dalam 6 tahun terakhir, lazimnya diperingati sekali dalam setahun di pekan kedua atau ketiga bulan Februari.

Makna yang terkandung di dalam tradisi Ponan, untuk memupuk tali silaturrahim antar masyarakat diiringi dengan doa bersama untuk memohon kepada yang kuasa. Agar dalam berusaha ke depan selalu diberikan rejeki.

Suatu ketika beberapa tokoh adat setempat tidak merayakan tradisi Ponan. Ide ini ternyata berakibat pada menurunnya produksi tanaman padi petani setempat. Tanaman padi dirusak hama bahkan gagal panen. Boleh percaya atau tidak, tapi inilah keyakinan masyarakat kepada yang maha kuasa. (Ken)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment