OPINI : Mendeteksi Calon Pemimpin yang Paling Dibutuhkan Sumbawa

Oleh : Heri Kurniawansyah HS
(Dosen Fisipol Universitas Samawa)

Latar Belakang

            Take off Pilkada Kabupaten Sumbawa sudah mulai dihembuskan ke permukaan meskipun masih hanya sebatas mempromosilan orang-orang tertentu melalui gambar demi gambar yang dianggap pantas untuk bertarung dalam pesta demokrasi lokal tahun 2020 mendatang. Foto-foto tersebut  lebih kepada mereka yang dianggap populer di bidangnya masing-masing, bahkan yang tidak populer sekalipun sengaja dipopulerkan agar publik mengenalnya lebih jauh. Tidak ada yang salah dengan fenomena tersebut, namun penulis menyayangkan tidak ada satupun disematkan keyword mengapa orang tersebut pantas untuk dicalonkan.  Semuanya hanya berkutat pada narasi klasik dan standar yang cenderung dibuat-buat, seperti : “kombinasi politisi-birokrat, refresentasi wilayah barat dan timur, dan lain lain”.

Heri Kurniawansyah HS

Jika indikator “pengalaman” sebagai seorang politisi dan birokrat dijadikan komponen utama dalam menentukan calon pemimpin Sumbawa kedepan, maka mari kita membidik pengalaman tiga periode kepemimpinan Sumbawa sebelumnya pasca reformasi, kurang pengalaman apalagi para pemimpin-pemimpin Sumbawa yang sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang paripurna di bidangnya masing-masing dan mereka telah menduduki jabatan paling puncak sebagai seorang politisi dan birokrat di level lokal sebelum ikut dalam kontestasi Pilkada.

Tanpa menegasikan beberapa pencapaian selama kepemimpinan mereka, namun harus diakui bahwa pencapaian tersebut belum mampu memberikan ukiran sejarah yang monumental bagi Sumbawa. Pembangunan yang terjadi cenderung stagnan dan biasa-biasa saja meskipun sosok-sosok tersebut berasal dari kombinasi politisi-birokrat yang berpengalaman. Untuk mengukur kinerja pemerintah itu tidak sulit, meskipun kita tidak memiliki kalkulator secara kuantitatif, cukup dengan melakukan evaluasi kinerja pemerintah dengan menggunakan pendekatan Before vs after comparison, yaitu dengan meletakkan manajemen strategis atau RPJMD yang telah disepakati, lalu sandingkan dengan pencapaian dan outcome-nya selama ini, dari proses itu kita akan bisa melihat secara terang bagaimana kinerja pemerintah saat ini (Trochim, 2009).

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini kita menganggap kombinasi tersebut seolah-olah kombinasi terbaik sebagai calon pemimpin, padahal tidak ada teori satupun yang menyatakan demikian. Penulis memandang bahwa standar tersebut justru menjadi lebih rendah dari indikator-indikator pemimpin dalam Pilkada sebelumnya, sebab calon pemimpin-pemimpin sebelumnya jauh lebih berpengalaman sebagai seorang politisi dan birokrat, sehingga secara rasional penulis menyatakan bahwa ini adalah bentuk kemunduran kita dalam berpikir.  

Situasi ini semakin mengklaim bahwa Sumbawa kedepan tidak akan berbedah jauh dengan kondisi-kondisi sebelumnya. Yang berbeda hanya pemimpin dan narasi yang diucapkan ketika kampanye saja, namun pola dan cara kerja dalam pemerintahan sama saja. Situasi ini yang akan terus mengalir dari pemilu ke pemilu. Jika hal demikian terus kita jadikan wacana, maka pada akhirnya kita akan memilih seorang pemimpin berdasarkan popularitas semata ketimbang berdasarkan kebutuhan Sumbawa saat ini.

            Selain itu, salah satu indikator yang paling ramai disematkan kepada beberapa tokoh juga tentang “refresentasi Timur-Barat, Utara-Selatan, Barat-Tengah, dan lain lain”. Penulis tidak menemukan faedah dari indikator seperti ini. Seolah-olah geo-politik Sumbawa begitu luas dan seolah-olah daerah ini memiliki beragam suku. Justru hal tersebut semakin menguatkan politik identitas dan konflik satu rumpun suku yang terjalin kuat di daerah ini. Yang terpenting adalah kita melakukan pemetaan masalah yang mendera Sumbawa saat ini. Dari pemetaan masalah tersebut kita akan bisa menentukan siapa sosok calon pemimpin Sumbawa yang paling dibutuhkan kedepan.

Pemetaan Masalah

            Berbagai masalah yang paling sering diucapkan dan memiliki pengaruh besar terhadap sisi kehidupan lainnya adalah masalah infrastruktur, khususnya akses jalan dan transportasi. Kecamatan Batulanteh, Orong Telu, Ropang, dan sebagian desa di Kecamatan Alas adalah daerah utama yang selalu menjadi obyek kampanye para elit politik dari masa ke masa. Namun empirisnya tidak terakomodir dalam kebijakan strategisnya. Penulis berpendapat bahwa dengan membaca rumusan anggaran yang ada, sangat mustahil tuntutan masyarakat akan terakomodir, meskipun mulut masyarakat sampai berbusa menyuarakan aspirasinya.

            Masalah infrastruktur juga sama halnya dengan masalah tuntutan tenaga sukarela di bidang kesehatan yang selama ini mengeluhkan reward yang mereka terima, lagi-lagi semuanya bermuara pada anggaran yang memang sangat minim, pun dengan berbagai masalah-masalah klasik lainnya seperti masalah sosial-ekonomi (kesejahteraan, kemiskinan dan pengangguran), kesehatan, pendidikan, pertanian, tata kelola pemerintahan (governance), khususya pelayanan publik (public service), dan pemberdayaan masyarakat

Dilema anggaran selama ini terjadi jika anggaran yang ada diprioritaskan khusus kepada infrastruktur, gaji tenaga sukarela, dan lain lain, maka sudah barang tentu prioritas lainnya akan terabaikan, sehingga anggaran yang ada selalu dibagi dengan skala prioritas dan porsi masing-masing SKPD. Fenomena demikian pasti akan mengabaikan infrastruktur dan masalah klasik yang sudah karatan di daerah ini.

Misalnya kita bisa membaca postur APBD kita tahun 2018 dengan total 1,6 Trilyun, dengan rumusan penggabungan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Transer Pusat atau yang lebih dikenal dengan dana perimbangan (Dana Bagi Hasil Pajak, DAK, dan DAU). Dari total tersebut, penyumbang APBD terbanyak justru datang dari dana perimbangan pusat yaitu sekitar 78,3 %. Hal tersebut menunjukan bahwa PAD kita jauh  dibawah 50%  (sekitar 9,2 %). Indikator tersebut menandakan bahwa ketergantungan akan pemberian dari pusat masih sangat tinggi dibandingkan dengan PAD itu sendiri.

            Dalam penjabaran anggarannya sendiri  bahwa  belanja pegawai yang terintegrasi dalam “Belanja Tidak Langsung” berkisar 64,- %, sementara  belanja pembangunan yang terintegrasi dalam “Belanja Langsung” berkisar hanya 35,2 %. Artinya bahwa belanja pembangunan jauh lebih sedikit dari belanja tidak langsung, sementara  APBD dikatakan sehat apabila belanja  pegawai baik dari belanja langsung maupun tidak langsung kurang dari 50% (Duggan,  2014).

Pada posisi ini seluruh unit pemerintah (SKPD) mendapatkan jatah anggaran sesuai dengan proposal masing-masing. Misalnya dari pembagian tersebut, SKPD revelan yang menangani masalah infrastruktur tidak akan berani berbicara banyak mengenai penguatan dan perbaikan infrastruktur di daerah-daerah zona merah untuk dianggarkan, mengingat postur anggaran secara keseluruhan terbilang minim. Tidak heran, ketika ditanya mengapa berbagai program kerja pemerintah gagal, alasan yang paling sering kita dengar adalah pasti masalah anggaran.

Situasi ini adalah gambaran dan siklus pembangunan dari tahun ke tahun. Pada posisi ini, siapun pemimpinnya jika APBD kita terbilang minim, maka sedikit kemungkinan kita bisa berbuat banyak untuk daerah ini, akibatnya kue pembangunan itu sulit dirasakan oleh mereka yang sering menuntut keadilan kepada pemerintah (disparitas pembangunan).

Tentu pemerintah tidak mau dianggap tidak berhasil atas kinerjanya. Sebagai alternatifnya , pemerintah jor-joran membuat berbagai laporan rutinitas dengan sebaik-baiknya demi mengejar gelar predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK yang seolah-olah dijadikan indikator paling utama atas keberhasilan kinerjanya, padahal WTP itu sendiri hanya sajian laporan keuangan secara administratif yang dianggap wajar, namun WTP tidak masuk pada ranah implikasi strategis atau outcome dan inpact dari penggunaan anggaran tersebut terutama pada program-program soft side of change, temasuk pemberdayaan masyarakat (community development) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Setelah kita menyelami beberpa masalah utama di daerah ini, terlihat sangat jelas bahwa sumber utama problem pembangunan kita saat ini adalah tentang kondisi anggaran (APBD) yang terbilang minim sehingga membuat prioritas lainnya terabaikan, pada akhirnya pembangunan itu bersiat parsial. Meksipun faktor anggaran bukan satu-satunya yang menjadi determinan masalah yang ada di Sumbawa, namun faktor anggaran adalah basis dari segala faktor lainnya. Maka dari pemetaan masalah ini, kita bisa menentukan siapa sosok yang paling dibututhkan oleh Sumbawa kedepannya.

Sosok Pemimpin Seperti Apa Yang Paling Dibutuhkan oleh Sumbawa Kedepan?

            Mengacu pada mapping masalah yang telah dideskripsikan sebelumnya, maka pemimpin yang paling dibutuhkan oleh Sumbawa kedepan adalah pemimpin yang mampu menambah jumlah APBD secara signifikan. Inilah dasar dan sumber dari pembangunan itu sendiri.

Keterangan :           Penguatan civil society dan Penguatan politik.

            Sebagai runutannya, maka kita mulai menentukan kriteria strategis sebagai penunjang kepemimpinan tersebut, yaitu sosok pemimpin yang kreatif. Secara alamiah pemimpin seperti itu akan melahirkan kebijakan inovatif dan selanjutnya akan melahirkan program yang radikal untuk perubahan Sumbawa secara radikal. Program yang radikal adalah sebuah program yang tidak biasa dengan mengedepankan program yang inovatif dan memberi kemanfaatan yang masif bagi khalayak.

Kita bisa membayangkan bahwa jika terjadi penguatan APBD yang kemudian dikelola oleh orang kreatif, maka dipastikan Sumbawa akan jauh lebih terdongkrak dari pola lama yang biasa-biasa saja selama ini, yang celaka adalah ketika APBD yang minim dan dikelola oleh orang yang kurang kreatif, maka dipastikan Sumbawa akan biasa-biasa saja sepanjang pola klasik tersebut dipelihara.

            Mendapatkan sosok seperti itu memang sangat sulit, tapi setidaknya wacana seperti ini sejatinya mulai disuarakan agar perdebatan publik lebih berisi, bisa jadi dengan esensi perdebatan tersebut menjadi sugesti publik untuk mendapatkan pemimpin seperti itu, sehingga terjadi paksaan terhadap siapapun yang ingin berkontestasi kedepan bahwa inilah yang paling dibutuhkan oleh masyarakat Sumbawa saat ini.

Lalu bagaiaman caranya agar APBD bisa lebih meningkat dari yang biasanya?, ada dua sumber penguatan APBD yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Adapaun sumber internal itu sendiri yaitu bersumber dari berbagai pendapatan daerah yang sah dan penguatan BUMD, sementara sumber eksternal bisa berupa jaringan investasi yang kuat dan kekuatan lobi-lobi politik. Situasi ini juga akan kembali bertumpuh kepada pemimpin yang kreatif itu sendiri.

Sebagai salah satu contoh sederhana adalah terkait dengan eksistensi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM ) yang merupakan salah satu sumber PAD yang selama ini tidak mampu mengembangkan dirinya sebagai sumber PAD yang lebih besar dari biasanya. Namanya Perusahaan Daerah Air Minum, namun anehnya airnya tidak diminum. Narasi sederhana itu memberikan makna bahwa seandainya pemimpin itu kreatif, maka seharusya PDAM itu bisa dikembangkan untuk membuat produk kemasan air mineral sebagai bagian dari elaborasi PDAM, dimana kebijakan nantinya bahwa seluruh instansi pemerintah diwajibkan menggunakan kemasan air minum tersebut dalam setaip kegiatan kepemerintahan. Situasi ini akan menambah nilai PAD meskipun sifatnya sederhana.

Sebenarnya tidak susah bagi pemerintah untuk membangun itu semua jika pemerintah memiliki daya kreatifnya. Akibatnya uang masyarakat akan berputar di Sumbawa itu sendiri, anehnya yang terjadi saat ini adalah bahwa air minum saja kita impor dari Perancis melalui perusahaan air kemasannya, akibatnya uang masyarakat sebagian besarnya berpindah ke luar. Bayangkan, daerah yang memiliki air bersih yang melimpah namun air minum saja masih kita impor, sebegitu rendahnya daya kreatif kita sehingga air minum pun harus kita impor, padahal PDAM itu adalah perusahaan air minum, bukan perusahaan air mandi. Contoh ini menjadi salah satu analogi sederhana mengapa pemimpin kreatif itu sangat penting dalam membangun Sumbawa kedepan. Oleh karena itu, agar Sumbawa benar-benar mampu merubah wajah menjadi wajah yang lebih bersinar, maka pada posisi ini kita tidak lagi berbicara siapa yang paling popular atau tidak, siapa yang gambarnya paling sering muncul di media atau tidak, atau siapa yang memiliki garis keluarga dengan pejabat yang lebih tinggi atau tidak, melainkan siapa yang mampu menyelesaikan berbagai masalah Sumbawa saat ini. Siapapun dia, apakah dia seorang politisi, birokrat, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, pengusaha, akademisi, dan bahkan mantan preman sekalipun, jika dia mampu meningkatkan APBD secara signifikan, maka itulah calon pemimpin yang paling dibutuhkan oleh Sumbawa kedepannya .Jika kita mau naik kelas, maka tinggalkanlah pola konservatif dan mulailah mengedepankan pikiran progresif. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment