Nur Aziza Ilmi.
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Media sosial merupakan sebuah platform yang berfungsi untuk mempermudah manusia dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Kehadirannya telah merevolusi cara manusia berkomunikasi, membangun relasi, dan mengekspresikan diri. Tanpa disadari, media sosial perlahan mengambil alih sebagian identitas dan harga diri setiap yang menggunakannya. Sebagian besar individu menganggap media sosial sebagai “penenang digital”. Artinya manusia menganggap media sosial sebagai tempat pelarian dari kesepian dan wadah untuk mencari penerimaan sosial. Banyak orang meyakini bahwa media sosial adalah teman, padahal di balik kemudahan dan keindahannya, ternyata tanpa disadari banyak jebakan psikologis didalamnya.
Fakta Jebakan Psikologis Media Sosial.
Media sosial secara halus membentuk perilaku manusia melalui notifikasinya serta fitur-fitur yang menarik perhatian. Setiap notifikasinya sering kali dianggap penting. Secara tidak sadar media sosial telah membetuk prilaku kita dengan notifikasinya, apapun yang mencul sering kali dianggap penting. Semua itu akibat dari cara kerja algoritma yang terus memunculkan konten yang memicu rasa penasaran, sehingga pengguna terdorong untuk membuka aplikasi berulang kali. Akibatnya, muncullah perilaku sosial baru di masyarakat seperti scrolling tanpa henti, kebutuhan untuk mengunggah foto, dan kebiasaan update story di berbagai platform yang dimiliki seperti Instagram, TikTok, atau Facebook.
Kecanduan media sosial secara berlebihan ini diibaratkan seperti kecanduan zat adiktif. Pengguna media sosial terus menerus mencari sensasi untuk kesenangannya tanpa mampu mengendalikannya. Kecanduan media sosial ini ini berbeda dengan pengguna narkoba yang telah kita ketahui bahwa terdapat “peringatan bahaya” bagi pengguna, namun media sosial yang semakin candu ini hadir tanpa larangan yang jelas dan bahkan sudah menjadi bagian dari gaya hidupnya. Fitur-fitur yang menyenangkan dan interaktif itu membuat pengguna ingin terus menjelajahi lebih banyak sehingga menimbulkan rasa penasaran yang tiada akhir. Fenomena ini menjadikan manusia seperti “kelinci percobaan digital” yang memanfaatkan perhatian dan waktu pengguna. Salah satu contoh media sosial menjadi candu bagi pengguna yaitu pada seseorang yang awalnya hanya berniat membuka TikTok selama 30 menit tanpa disadari dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk scroll.
Mengapa Media Sosial Begitu Sulit Ditinggalkan ?
Media sosial begitu sulit ditinggalkan dapat dikupas dari kacamata psikologi. Menurut Cherry (2019), perilaku kecanduan media sosial ini berkaitan dengan aktivasi hormon dopamine. Hormon ini berfungsi memberikan sensasi menyenangkan ketika seseorang menerima rangsangan positif seperti like, komentar, atau pesan baru. Hal ini menjelaskan mengapa bermain media sosial terasa begitu menyenangkan sehingga sulit ditinggalkan. Setiap notifikasi memberikan “hadiah kecil” bagi otak yang memperkuat perilaku membuka media sosial secara berulang.
Kecanduan media sosial ini juga dapat dijelaskan melalui teori operant conditioning dari B.F. Skinner, di mana perilaku diperkuat oleh adanya reinforcement, jadi setiap kali pengguna menerima respons positif, seperti like atau komentar, perilaku tersebut diperkuat dan kemungkinan untuk mengulanginya meningkat. Artinya, media sosial secara sistematis menciptakan siklus penguatan perilaku adiktif.
Sosial Media Toxic Tapi Bikin Candu.
Generasi Z merupakan generasi pertama yang mengenal media sosial. Fenomena kecanduan media sosial ini tampak kuat pada masa mereka. Media sosial ini menjadi teman generasi Z dan saksi bisu proses pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga tidak heran media sosial mejadi teman sejati. Apabila mereka merasa sendiri atau tidak diterima di dunia nyata, media sosial menjadi tempat pelarian yang memberikan rasa diterima, berharga, dan diakui. Dibalik itu semua media sosial juga menyediakan ruang yang luas untuk membagikan setiap moment dan aktivitas yang telah dilakukan. Hal ini dapat memunculkan perbandingan sosial yang tidak realistis di mana kehidupan orang lain terlihat lebih bahagia, sukses, dan ideal, sehingga dapat menimbulkan rendahnya kepercayaan diri dan perasaan tidak berharga.
Selain fenomena kecanduan dan perbandingan sosial, salah satu bentuk toxicitas media sosial adalah munculnya perilaku cyberbullying. Dunia maya memberikan ilusi kebebasan dan anonimitas, sehingga seseorang dapat menyampaikan komentar negatif atau menghina orang lain secara bebas tanpa takut dikenali. Menurut Lapidot-Lefler et al., (2015) Anonimitas ini memunculkan efek yang disebut disinhibition effect yaitu kecenderungan individu untuk bertindak lebih berani, agresif, atau tidak sopan karena tidak berhadapan langsung dengan korban. Perilaku ini menunjukkan menurunnya empati dan kontrol diri saat seseorang berinteraksi di ruang digital. Banyak individu merasa bebas mengkritik, mengolok, bahkan membully orang lain, karena tidak melihat ekspresi emosional dari korban. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana media sosial dapat menjadi ruang yang toxic, memicu perilaku destruktif, dan mengikis nilai-nilai moral serta empati sosial.
Kecanduan media sosial dapat mengganggu kemampuan regulasi emosi individu. Mereka yang terbiasa mencari kenyamanan emosional melalui media sosial cenderung menggunakan mekanisme coping maladaptif untuk menghindari emosi negatif seperti kesepian atau ketidakpastian diri. Ketika perasaan tidak nyaman muncul, mereka kembali ke media sosial untuk mencari validasi, menciptakan siklus yang memperkuat ketergantungan emosional (Andreassen et al., 2017). Dalam jangka Panjang kondisi ini dapat mengganggu keseimbangan psikologis dan menurunkan kepercayaan diri, karena kebahagiaan yang dirasakan bersifat semu dan bergantung pada penilaian eksternal.
Media Sosial Sebagai Sumber Social Support.
Pada kenyataannya media sosial tidak sepenuhnya membawa dampak negatif. Dari sudut psikologi positif, platform digital juga dapat menjadi sarana yang memperkuat Kepercayaan diri bila digunakan secara sehat. Media sosial memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri, memperluas jaringan sosial, serta memperoleh dukungan emosional dari komunitas daring. Dalam situasi tertentu, seperti masa krisis atau isolasi sosial, media sosial dapat menjadi sumber social support yang penting dan membantu individu mempertahankan kesejahteraan mental. Selain itu, media sosial juga berperan besar dalam penyebaran edukasi, kesadaran kesehatan mental, dan gerakan sosial yang memperjuangkan empati, keberagaman, serta solidaritas.
Pentingnya Menjadi Pengguna Media Sosial yang Cerdas.
Dengan demikian, permasalahannya bukan terletak pada keberadaan media sosial itu sendiri, melainkan pada bagaimana individu menggunakannya. Ketika digunakan secara sadar, dengan pengendalian diri dan kesadaran akan batasan psikologis, media sosial dapat menjadi ruang yang konstruktif. Namun, jika digunakan tanpa refleksi diri, media sosial ini dapat menjadi candu yang bisa merusak keseimbangan emosi dan identitas. Oleh karena itu, kita perlu sadar akan batas penggunaan media sosial dan tahu kapan harus berhenti. Punya kontrol diri di dunia digital bukan cuma soal waktu tapi juga soal menjaga pikiran dan perasaan supaya tetap sehat di tengah derasnya arus media sosial.. Edukasi tentang digital literacy dan keseimbangan antara dunia maya dan nyata perlu diperkuat, terutama bagi generasi muda yang tumbuh di tengah arus informasi yang masif.
Penting bagi individu untuk mengembangkan kesadaran diri dan kemampuan mengatur diri agar dapat menggunakan media sosial secara bijak dan sehat secara psikologis. Kesadaran diri akan motif penggunaan, durasi, dan dampaknya terhadap emosi menjadi langkah awal untuk mencegah kecanduan digital. Pendekatan psikologi positif dapat membantu agar menumbuhkan makna dan tujuan hidup yang tidak bergantung pada validasi sosial. Selain itu, digital literacy perlu ditanamkan sejak dini agar generasi muda mampu memahami bahwa media sosial hanyalah alat, bukan sumber identitas diri. Pada akhirnya media sosial dapat menjadi ruang yang konstruktif bila digunakan secara sadar dan proporsional. Tanpa kontrol diri media sosial dapat berubah menjadi candu yang mengikis keseimbangan psikologis. Dengan memahami fenomena ini melalui perspektif psikologi, kita dapat menempatkan media sosial pada posisi yang tepat sebagai sarana konektivitas, bukan sebagai cermin nilai diri.
Referensi
Andreassen, C. S., Pallesen, S., & Griffiths, M. D. (2017). The relationship between addictive use of social media, narcissism, and self-esteem: Findings from a large national survey. Addictive behaviors, 64, 287-293.
Cherry, K. (2019). The role of dopamine in pleasure, motivation, and addiction. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/the-role-of-dopamine-in-addiction-4584885
Lapidot-Lefler, N., & Barak, A. (2015). The benign online disinhibition effect: Could situational factors induce self-disclosure and prosocial behaviors?. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 9(2).