Mata Pena Dinullah Rayes

Oleh : Muhammad Ridwan

Tiada kota kata-kata anggun
Selain pedusunan tempat ibu menuntun
Sebelum pergi
Tiada kembali lagi

(Din Rayes)

Puisi adalah salah satu karya sastra yang disusun untuk mengekpresikan ide, gagasan, perasaan dan emosi penyair dengan menggunakan kata-kata yang indah, melebihi bahasa yang digunakan sehari-hari. Puisi mengandung unsur-unsur seni atau keindahan karena di dalam puisi terdapat kata-kata indah yang dirangkai sedemikian rupa sehingga membuat para pembaca berkeinginan untuk membaca dan menyikapi maksud yang tersirat. Selain itu, puisi mengekpresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan imajinasi dalam susunan yang berirama dan mampu menghaluskan rasa.

Ada banyak sastrawan sepuh nasional yang hilang dan tidak muncul lagi di kancah perpuisian tanah air. Beberapa di antaranya ada yang masih setia dan konsisten, salah satunya adalah Dinullah Rayes yang umurnya terus beranjak senja menginjak pundak undak tangga usia 80-an tahun masih aktif dan produktif menulis. Ia yang menetap di Mojokerto bersama istrinya kerap kali pulang-pergi Jawa-Sumbawa. Musibah kebakaran rumahnya tahun 2007 yang membuat seluruh harta kekayaan paling berharga berupa ribuan buku hangus tidak tersisa menguap bersama abu. Buku-buku yang menjadi bagian hidup dan karya-karyanya yang dikumpulkan sejak 1950-an tidak meninggalkan jejak. Meski harta intelektualnya menguap dan tidak meninggalkan jejak akibat ganasnya si jago merah, Ia tetap berkarya minimal satu karya dalam bentuk buku. Karena karya tulis yang terdokumentasi dengan baik, akan berusia lebih panjang dari penulisnya. Dari itu, sejak tahun 2006 sampai sekarang sudah menghasilkan 15 karya dari total 25 karya tunggal. Jika dijumlahkan dengan antologi, Dinullah sudah menghasilkan 70-an buah buku.

Nampaknya seorang Dinullah Rayes merasa khawatir dan terus gelisah dengan kondisi dunia milenium ketiga ini. Tidak mengenal ruang, dimensi dan waktu di mana pun Ia melahirkan puisi. Sajak-sajaknya yang merepsentatif alam, sepi, sahaja, humanis masih tetap menjadi tema dan masih mengikuti gramatika bahasa Sumbawa. Serta gaya penulisannya tidak sedikit pun berubah ke spketrum modern atau kontemporer.

Dinullah dengan segala kemampuan yang dimiliki selalu memperjuangkan daerah kelahirannya Sumbawa. Maka tak ayal, Ia berada di deretan penyair-penyair kaliber nasional seperti Taufiq Ismail, Rendra, Gus Mus, Emha Ainun Najib, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, Umbu Landu P, Diah Hadaning, Goenawan Muhammad, Korrie Layun Rampan, Sutardji Colzoum Bahcri dan yang lain-lainnya. Hubungannya pun dengan mereka sangan akrab dan intens. Kita bisa temui dalam buku-bukunya nyaris semua puisi Ia persembahkan untuk orang-orang yang pernah bersinggungan dengannya. Nampaknya Ia ingin berterimakasih kepada mereka yang telah membantu perjalanannya sebagai penyair.

Hanya dengan sepilihan kata-kata mampu membawanya melintasi waktu dan batas-batas negara. Hampir seluruh kota besar di tanah air ini telah Ia kunjungi dan bahkan mengetuk pintu gerbang negeri tetangga. Tidak ada tujuan lain dalam pengembaraannya yaitu menghadiri event-event kesusastraan. Misi Dinullah untuk membumikan sastra tidak berhenti disitu, atas dedikasinya tersebut melalui Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1996 Kementerian Agama RI memberikan kesempatan kepada Dinullah untuk menunaikan rukun Islam yang keenam. Beberapa penghargaan juga pernah Ia raih diantaranya tahun 2015 mendapat anugerah Bahasa dan Sastra dari Pusat Bahasa Provinsi NTB, hadiah seni dan lencana karya satya tingkat II dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Selain itu, mantan ketua Lembaga Adat Tana Samawa ini pernah diundang dalan wisuda gelar kehormatan dari American University of Hawai.

Apa yang menarik dari penyair senior asal Sumbawa ini adalah percobaanya untuk mempuisikan cintanya terhadap perempuan bernama ibu. Ia melukis sosok ibu tidak secara ekrpresif tapi terkesan impresif. Impresi batin yang seakan terpenjara karena keterpencilannya yang nun di Pulau kecil sana. Sikap batin Dinullah telah melahirkan nuansa rasa, pikiran serta menumbuhkan pohon randu rindu. Di bawah ini adalah sajak-sajaknyanya tentang betapa pentingnya seorang ibu :

         Ibunda

           Ibunda !
            Matahari menabur sinar
            Bulan purnama menyebar cahaya

            Ibunda !
            Bunga segala bunga
            Harum segala harum

            Ibunda !
            Beranda rumah
            Sarang mimpi

            Ibunda !
            Dermaga rindu
            Muara keluh

            Ibunda !
            Duh ibuuuuuu
            Anakmu pulang
Langit kosong

 

Ibu

Pesan ibu : bacalah langit biru anakku
Biru mata kalbu menghayati ayat-ayat-Mu
Bongkar mata batin, menyebar benih cinta sesama
Membuang jauh duri-duri seteru

            Duh ibu yang mulia sepanjang waktu
            Hutangku bertumpuk-tumpuk bagai bukit batu
            Air susumu yang madu manis surga itu
            Tak akan pernah mampu kutuntas lunaskan, ibu
            Karena kasihmu cahaya bulan purnama
            Yang menerangi lahan batin anak-anak tanpa pilih sukma

            Ibu meski kau telah pergi tiada kembali lagi
            Aku mengenangmu dalam larutan waktu
            Karena kau adalah satu-satunya pahlawan milyaran bintang
            Milik putra-putri dunia fana yang sirna
            Yang hidup di bawah kolong langit anak-anak benua
            Yang hidup dalam bebungaan mengirim harum wangi
            Hingga mata hati siapa pun jelma tangga pelangi
Menuju menara cahaya surgawi

Puisi-puisi di atas menyiratkan bagaimana Ibu adalah seorang yang sangat berjasa di kehidupan  dengan segala hal yang diberikan olehnya dan bagaimana seorang anak yang telah hidup berpisah dari Ibunya harus tetap mengingat dan berbakti kepada orang tuanya sebelum Ibunya tidak ada di dunia ini. Dinullah membuat puisi ini berkembang dari awalnya yang terlihat bahwa tokoh utama di dalam puisi ini sangat merindukan Ibunya, sampai di akhir-akhir bagaimana anak ini ingin sekali membalas budi dan sangat merindukan Ibunya, dengan segala kenangan masa kecilnya yang dilalui bersama Ibunya. Dinullah ingin melampiaskan dan memberitahu kepada orang-orang betapa berjasanya Ibu dalam kehidupan karena Ibu telah melahirkan kita, mengajarkan banyak hal, melindungi dari bahaya, mengurusi anak dengan sabar dan dengan kasih sayang menasehati agar menjadi orang yang sukses di masa depan, dan hanya hal itulah yang diinginkan oleh seorang Ibu: untuk melihat anaknya tumbuh dewasa menjadi orang yang sukses, bahagia, dan berguna bagi dirinya dan orang lain dan tidak melupakan siapa yang membuatnya berada di posisi tersebut, hanya dengan mengunjunginya.

Sajak-sajak Ibu DR sekilas tampak merupakan antitesis terhadap idiom hegemonik dalam kebudayaan Sumbawa yang selalu mendahulukan laki-laki. Akan tetapi sajak tersebut tidak dapat disanjung sebagai salah satu elemen yang hendak membangun konstruksi konseptual tentang perempuan seperti yang diidam-idamkan oleh feminisme dan kritik sastra feminis. Penulis sajak, tidak bisa dipungkiri, adalah laki-laki yang juga membawa kepentingan sudut pandang dalam sajak itu. Maka sajak itu dapat bermakna ganda: pertama, sebagai satu sanjungan tulus, sebagai rasa terima kasih, dari seorang anak kepada ibu yang dicintai dan dikaguminya; kedua, sajak Ibu tetap mengukuhkan domestikasi peran seorang perempuan yang ‘di-ibu-kan’. Jadi, sajak tersebut tetap menghadirkan satu model harapan patriarki terhadap perempuan dalam penyamaran (in disguise): kepahlawanan perempuan terletak dalam tindakan melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak dengan baik.

Di samping itu, permainan diksi Dinullah membawa muatan-muatan kultural masyarakat tempat pengarang menulis karyanya itu. Banyak sumber yang menyatakan bagaimana DR dan karya-karya sulit dilepaskan dari realitas kultur Sumbawa.

Kini kita harus berkontemplasi dan menyadari, bahwa Dinullah telah menciptakan sejarah bahwa dari tanah Sumbawa telah lahir seorang penyair nasional yang tentunya menambah khazanah kesusastraan negeri ini. Karya-karyanya patut kita apresiasi dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa Dinullah Rayes dibidang tersebut. Memang kita tidak bisa menyamakan profesi ini dengan pekerjaan lain seperti menjadi pejabat publik. Secara tidak sadar, Dinullah telah memperkaya referensi keilmuan negeri ini. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment