Pemecatan Amin dan Umar : “ARB Menebar Badai di NTB”

Oleh : Didin Maninggara

SK DPP Partai Golkar Nomor Kep 98/DPP/Golkar/III/2016 tanggal 31 Maret 2016 yang ditanda tangani Aburizal Bakrie dan Idrus Marham tentang pemberhentian H. Umar Said, S.Ag dan H.M. Amin, SH, M.Si dari keanggotaan Partai Golkar, saya terima copynya melalui fb saya, Senin (11 April 2016). Dalam tulisan ini, saya yang terdaftar sebagai anggota Golkar Kabupaten Bogor pada 1997 yang sebelumnya keanggotaan Golkar Kabupaten Tangerang sejak 1982, tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak pemberhentian dua kader senior partai Beringin itu. Sebab, bagi saya, hal itu merupakan persoalan internal Golkar sebagai imbas pertarungan kepentingan politik antar elitnya, baik secara personal maupun institusional. Yang mengusik naluri saya terkait alasan pemberhentian, yaitu alasan-alasan yang tertuang dalam SK tersebut, dijelaskan; (1). Berdasarkan laporan DPD Partai Golkar NTB bahwa Umar dan Amin melakukan tindakan pelanggaran organisasi. (2). Tindakan penentangan keputusan DPP Partai Golkar dan tidak mengakui hasil-hasil keputusan-keputusan Musda DPD Partai Golkar NTB yang dengan nyata-nyata Umar Said dan Amin diundang dan hadir sebagai peserta, serta mengikuti kegiatan musda yang diselenggarakan pada 17-18 Januari 2016 di Praya dan Amin menghadiri pelantikan pengurus hasil Musda IX Partai Golkar NTB yang sesuai aturan organisasi yang berlaku. (3). Melakukan pelanggaran penyalahgunaan jabatan /wewenang yang cenderung dapat dipidanakan yaitu mengatas namakan Ketua dan Sekretaris DPD Partai Golkar NTB, mengadakan kegiatan rapat koordinasi dan kordinasi serta membuat dan mengirim surat di atas kop surat dan stempel DPD Partai Golkar NTVb yang sesuai aturan organisasi, bukan hak dan kewenangannya. (4). Merusak citra dan solidalitas Partai Golkar NTB yang merugikan Partai Golkar secara permanen. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, ada kekhawatiran yang berpotensi menimbulkan konflik Golkar jilid baru, karena boleh jadi artikulasi pemecatan mempersepsikan Aburizal Bakrie (ARB) menebar badai di NTB. ARB terkesan begitu mudah bertindak, hanya oleh sebab laporan sepihak dari pihak yang tidak suka Amin dan Umar. Pemihakan ARB atas pengaduan kubu Suhaili sebagai Ketua DPD Partai Golkar yang menggantikan Zaini Arony yang berhalangan tetap akibat terjerat kasus hukum, saya pandang sangat tergesa dan emosional, sehingga dipertanyakan prosudur yang sesuai aturan main organisasi. Terhadap pemecatan itu, Amin dan Umar bersikap tegas. “Saya sedang menyiapkan dua jalur hukum, yaitu gugatan pidana dan perdata,” tandas Amin melalui telepon selularnya kepada saya, siang ini. Kader senior Golkar kelahiran Sumbawa Besar ini, merasa dirinya dirugikan secara moril akibat terbitnya keputusan itu. Maka dirinya meminta ganti rugi, dengan harapan ingin memberikan edukasi kepada para kader Golkar seluruh Indonesia, khususnya di NTB. Wakil Gubernur NTB ini melakukan gugatan perdata dan pidana disertai harapan agar tidak boleh ada kesewenang-wenangan di dalam Golkar. Kepemimpinan di Golkar adalah kepemimpinan yang dilandasi semangat kolektif dan kolegial, bukan kesewenangan yang hanya oleh sebab tidak suka secara personal. ARB lupa, atau pura-pura lupa bahwa dirinya menjadi Ketua Umum karena juga dukungan Amin dan Umar pada Munas Golkar di Riau pada 2009 untuk masa jabatan 2009-2014 kemudian diperpanjang sampai 2015. Jangan-jangan ARB pun lagi-lagi lupa bahwa Golkar NTB saat dinahodai Zaini Arrony dan sekretarisnya Amin, memberi banyak keuntungan bagi penguatan kepemimpinan ARB di NTB, baik secara politis maupun dunia usaha. Tetapi kita mau bilang apa, habitat politik kepartaian berlaku adigium: “Dalam politik tak ada kejujuran. Dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi, karena yang ada hanyalah kepentingan”. Hanya saja saya menyayangkan, dalam merebut kepentingan, terkesan kesewenangan meminggirkan semangat kolektif kolegal. Dan, ternyata kesewenangan mampu menumbalkan kawan, apalagi yang memang benar-benar lawan. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment