Catatan Budaya Didin Maninggara
~~~~~~~
Terkait “Parajak Pasatotang Adat”
Sultan Sumbawa kepada Bupati Sumbawa di Istana Dalam Loka
pada 3 April 2016
~~~~~~~~
Dilirik dari aspek kulturalitas, manusia Sumbawa atau tau Samawa memiliki falsafah hidup yang kental dengan nilai-nilai Islami. Yaitu, “adat barenti ko sara’, sara’ barenti ko kitabullah”. Atau, “adat bersendikan sara’, sara’ bersendikan kitabullah”. Tapi kini, kecenderungan manusia Sumbawa “berlawanan” dengan falsafah hidup tersebut. Banyak yang menganggap adat Samawa sebagai sesuatu yang tidak mesti dilakoni dalam kehidupan kekinian. Itulah yang disebut pembenturan adat, karena dinilai ketinggalan zaman. Padahal, “adat bersendikan sara’, sara’ bersendikan kitabullah” berlaku untuk seluruh aspek kehidupan tau Samawa, justru di tengah arus deras dinamika global yang multi perubahan. Idealnya “adat bersendikan sara’, sara bersendikan kitabullah” tidak saja menjadi falsafah pegangan hidup manusia Sumbawa. Tapi juga, dapat dipraktekkan menjadi penguatan dalam merajut hubungan sosial yang multikulturisme? yang kuat dan kokoh di tengah kemajemukan masyarakat Sumbawa. Aktualisasi “adat bersendikan sara’, sara’ bersendikan kitabullah” harus dapat menjadi faktor determinan di Tana’ Samawa, justru karena kita hidup di tengah dinamika kehidupan majemuk dan perkembangan kehidupan global yang dinamis. Perjalanan kultural tau Samawa memiliki tenggang rasa tinggi. Secara nature, tau Samawa sangat moderat, karena muncul dari budaya yang lunak, yang menjunjung toleransi dalam merajut hubungan sosial kemasyarakatan yang multi etnis dan agama. Budaya lunak tau Samawa dipengaruhi oleh sederet faktor. Antara lain, (1) proses historis, sosiologis dan demografis. (2) corak Islam yang masuk di Tana’ Samawa menekankan spiritualitas. Tau Samawa sebagai etnis utama yang memiliki kebesaran kuantitatif dan kualitatif, sejak dahulu hidup rukun dan damai dengan aneka etnis yang beragaman budaya. Hal ini karena tau Samawa merupakan masyarakat yang egaliter, terbuka, penuh tenggang rasa dan menerima keragaman sebagai kodrat. Namun, ada yang nyaris hilang tergerus zaman, yakni akar khasanah adat kita, seperti di antaranya penggunaan pakaian adat yang tidak proporsional. Kondisi itu, membawa dampak sosiologis sekaligus kultural yang berpotensi hilangnya kelangsungan penegakan adat dari aspek penggunaan pakaian adat, sehingga melahirkan potensi berlawanan secara adat. Di sinilah salah satu unsur pentingnya acara “Parajak Pasatotang Adat” ini. Jangan sampai akulturasi adat berlawanan dengan marwah adat yang mengajarkan kepatuhan total. Jangan sampai nilai-nilai kebaikan adat yang tegak dan kokoh yang masih sesuai dengan zaman, digoyang dan tergoyangkan, lalu luluh, kemudian nyaris sirna hanya oleh sebab terjadi perbedaan paradigma dalam memaknai adat. Jangan sampai pula marwah budaya kita seakan tidak punya ruang lagi di tengah arus deras modernisasi yang dibonceng globalisasi. Jangan biarkan adat kita kehilangan jati diri.
Adat kita toleran terhadap demokrasi, karena manusia Sumbawa moderat dan selalu berpikir rasional dengan logika masuk akal. Rakyatnya sangat patuh. Cuma ketauladanan hampir tidak dilihat. Rakyat mungkin beranggapan, masak kita patuh-patuh terus, sementara pemimpin kita tidak. Masak mereka korupsi terus, kita tidak. Nah, ini pikiran kebudayaan tau Samawa. Rasionalnya terbalik, karena kita belum punya pemimpin panutan yang benar-benar bisa ditauladani. Boleh Jadi karena itulah, kebudayaan Samawa belum menjadi faktor penguat dalam menanamkan integritas dan kepatuhan total antara yang memimpin dan dipimpin. Sepertinya masih sedikit pikiran tentang pentingnya mengaktualisasi?kan kebudayaan kita “adat bersendikan sara’, sara bersendikan kitabullah” dalam kehidupan sehari-hari. Kita seolah hilang kesadaran, bahwa marwah adat Samawa dapat mengatasi kesenjangan dan pertentangan etnik. Kekuatan etnik dapat dieleminir oleh nilai-nilai adat. Adat dan tradisi kita sejatinya tidak memiliki batasan etnis, dan bisa bergaul dengan etnis mana saja. Karena itu, melalui acara “Parajak Pasatotang Ada” ini, mari kita menyatukan pemaknaan adat dan budaya kita untuk menjadi peredam paling substansial mengatasi kesenjangan dan ketegangan. Ekspresi yang ditampilkan adat dan tradisi Samawa penuh muatan moral. Adat sebagai bagian kebudayaan Samawa pada dasarnya memperjuangkan hati nurani. Saya yang pernah sering berada di Istana Bala Kuning ketika usia Sekolah Dasar diajak kakek saya H. Nurdin (Lebe Dalam), menaruh harapan besar kepada Sultan Sumbawa agar dapat menjadi figur panutan, perekat berbagai etnis dengan keragaman budayanya di Tana Samawa. Untuk itu, Sultan sebagai panglima adat, yang paling pertama, ingin Sultan menjadi kekuatan dinamis dalam merajut tradisi kerukunan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumbawa di Tana Samawa. ***