Teror dan Hororisme Kesadaran Massa Pasca Aksi 411

Oleh: Poetra Adi Soerjo
(Pengamat Politik Pemerintahan)

Situasi nasional pasca aksi 411 yang sukses dilakukan secara damai oleh Umat Islam telah berubah menjadi hororisme. Hororisme adalah satu level situasi di atas teror sebagai bentuk pengkondisian kesadaran massa yang biasa dilakukan oleh rezim otoriter. Isu makar, penangkapan demonstran, penetapan tersangka kepada pimpinan massa mulai dikembangkan sebagai intimidasi kesadaran.

Fahri Hamzah dan Fadli Zon menuju lokasi Aksi Damai 411
Fahri Hamzah dan Fadli Zon menuju lokasi Aksi Damai 411

Angin perubahan selama 18 tahun reformasi di mana masyarakat telah hidup di alam demokrasi seakan tersapu begitu saja seperti debu dengan cipta kondisi horor. Demokrasi yang menciptakan panggung bebas bagi munculnya kesadaran berfikir, menyatakan pendapat dan berekspresi, kembali di definisikan sebagai sebuah dosa dengan gencarnya tuduhan makar dan penangkapan para aktivis pasca aksi. Kita telah berjarak meninggalkan situasi pasca 65 dan orde baru begitu jauh, namun cipta kondisi mengungkung kesadaran berekspresi masyarakat dengan horor dan teror penangkapan telah membuat kita mundur jauh sekali ke belakang. Demonstrasi sebagai salah satu instrumen legal kanalisasi untuk memecah kebuntuan komunikasi dalam sistem demokrasi mulai diblackmail sebagai tindakan makar. Dan parahnya turun jalan mulai dituduh sebagai tindakan anti demokrasi, anti keragaman, dan identitik sebagai perusuh justru oleh banyak aktivis yang dahulunya adalah para pejuang yang telah melahirkan demokrasi melalui gerakan 98.

Kita bisa mentolelir kedangkalan pemahaman demokrasi generasi millenial, namun begitu sukar diterima nalar jika para aktivis demokrasi penakluk rezim orba mulai mengalami degradasi kesadaran tentang demokrasi. Perbedaan basis massa dan isu, gagap menyadari momentum, berbedanya haluan ideologi serta politik kepentingan jangka pendek adalah penyakit kronis kaum aktivis yang membuatnya rela melakukan tindakan tindakan yang di luar nalar nilai nilai dasar demokrasi. Menempatkan Presiden pada posisi yang tak tersentuh dengan mengamini pelabelan makar dan tindakan penangkapan demonstran -yang di era orde baru merupakan isu yang paling keras ditentang oleh para aktivis, adalah indikasi mulai menjalarnya virus fasisme. Inilah bahayanya jika aktivis gagap bersentuhan dengan kekuasaan, tindakannya bisa lebih kejam dari pada rezim militerisme. Padahal capaian paling minimal dari perjuangan reformasi adalah suksesnya membawa masyarakat hidup dalam kesadaran yang merdeka tanpa ketakutan, tanpa teror kesadaran dan lepas dari hororisme kekuasaan.

Saya kira ini penting menjadi refleksi sadar kita atas situasi, bahwa kekuasaan tak boleh dikembalikan lagi ke menara gading yang tak bisa disentuh. Kebebasan dan kemerdekaan yang sudah kita nikmati selama 18 tahun ini tak boleh dibunuh dengan hororisme. Freedom of speech and ekspression adalah pengakuan kita pada humanisme.

Kata kata makar tiba tiba muncul kembali akibat Orasi Saudara Fahri Hamzah. Kosa kata makar yang sesungguhnya telah dikubur lama oleh para aktivis namun kini bergentayangan kembali mencipta apa yang disebut dengan hororisme. Terkait bergabungnya Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang juga dahulunya adalah eksponen gerakan 98 dalam aksi 411 haruslah dilihat dalam kaca mata yang bersih dari anasir sinisme. Untuk itu penting kiranya kita menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini.

Poetro Adi Suryo (kiri) bersama Gubernur NTB M Zainul Majdi di sela-sela Aksi Damai 411
Poetra Adi Soerjo (kiri) bersama Gubernur NTB M Zainul Majdi di sela-sela Aksi Damai 411

Pertama: Apakah salah seorang Anggota DPR RI yang telah memiliki saluran komunikasi formil ikut turun aksi di jalan?. Faktanya anggota DPR berasal dari Partai Politik yang memiliki basis konstituensi. Partai politik memiliki akar secara struktural dan kultural di basis basis sektoral masyarakat. Suara nyata dari basis masyarakat inilah yang membawa mereka menjadi wakil rakyat di Parlemen. Dalam berbagai isu tertentu yang terkait dengan basis konstituensinya, telah menjadi keumuman Anggota DPR baik di daerah maupun di pusat ikut bergabung dengan basis massa turun ke jalan. Hal tersebut tidak saja terjadi di Indonesia, bahkan di berbagai belahan dunia dan negara negara demokrasi maju, anggota parlemen menunjukkan keberpihakannya atas sebuah isu dengan ikut bergabung dengan basis massa rakyat yang tumpah ruah di jalanan. Kita bisa melihat hal tersebut sebagai sebuah peristiwa hari hari yang terjadi di berbagai belahan dunia seperti Inggris, Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur dan negara negara Amerika Latin. Untuk itu, tidak ada dikotomi antara parlemen ruangan dan parlemen jalanan sebagai stratak perjuangan. Di Indonesia tak ada satu hukum pun yang melarang anggota Parlemen ikut turun jalan. Dalam aksi 411, anggota DPR RI yang ikut bergabung bersama basis Umat tidak hanya dilakukan oleh dua orang wakil ketuanya yaitu Fahri Hamzah dan Fadli Zon, namun juga banyak anggota DPR RI lainnya yang juga ikut bergabung. Tidak hanya dari pihak legislatif, pun dari pihak eksekutif ada yang ikut turun ke Jakarta seperti Gubernur NTB. bahkan di berbagai daerah pada hari yang sama, anggota DPRD tumpah ruah di jalanan ikut bergabung bersama Umat. Tak ada yang salah baik secara hukum atau bahkan secara etika dari sikap turun jalannya pejabat publik, karena itu merupakan hak asasinya dalam berfikir dan mengemukakan pendapat, di samping juga mewakili ekspresi basis konstituensinya.

Kedua: apakah benar demonstrasi tidak boleh ditunggangi oleh aktor politik? Sebelum Saya membahas hal tersebut, penting untuk menjelaskan standing position Saya tentang aksi 411 sebagai sebuah kemurnian sikap Umat Islam yang merasa agamanya dinodai. Tak ada satu aktorpun yang bisa menunggangi aksi yang lahir dari sebuah perasaan terdalam umat terkait keyakinan agamanya. Sikap saudara Basuki Cahaya Purnama yang saat itu berposisi sebagai seorang pejabat publik namun mengomentari hal yang bersifat privat terkait agama adalah kesalahan besar yang memancing kemarahan umat. Seorang pejabat publik harusnya hanya mengurus hal hal yang bersifat respublika seperti program pembangunan, kesejahteraan rakyat dan lain lain, tanpa harus masuk ke ranah privat terkait keyakinan masyarakat. Jadi jangan pernah menodai kemurnian sikap hati umat Islam dalam menuntut penegakan hukum yang dianggap lamban dengan pengalihan adanya aktor politik.

Lalu jika kita masuk ke ranah teoritik tentang demokrasi, maka apa yang salah jika ada aktor politik seperti yang dituduhkan Presiden. Kata kata aktor politik tiba tiba menjelma sebagai sebuah dosa dan pelanggaran hukum berat setelah Presiden melemparkan isu tersebut ke publik. Hororisme tercipta karena masyarakat saling menuduh atas sesuatu yang tidak ada. Demikianlah kenapa Syaitan ditakuti karena horoisme di bangun di dalam kesadaran atas sesuatu yang tidak nyata. Demonstrasi adalah tindakan yang legal dalam demokrasi, dan aktor penggerak adalah kemestian. Tak mungkin ada mobilisasi massa tanpa adanya aktor penggerak, sementara politik adalah cara untuk mencapai tujuan agar tuntutan dapat dicapai. Jadi jika yang dimaksudkan Presiden bahwa aktor politik adalah mereka yang memiliki kepentingan di balik aksi, jawabannya Iya, bahkan semua massa aksi memiliki kepentingan demi tercapainya tujuan aksi yaitu pengekan hukum. Lalu delik apa yang bisa digunakan untuk menghukum aktor penggerak atas sebuah aksi yang dilakukan secara legal dan dijamin konstitusi?. Bukankah Presiden, Anggota DPR dan DPRD, para kepala daerah kesemuanya adalah aktor politik dalam term demokrasi. Jangan nodai kata aktor politik dengan hororisme karena dinamika demokrasi dan pemerintahan memang sehari-hari diperankan oleh aktor politik.

Ratusan ribu ummat muslim memadati Bundaran HI
Ratusan ribu ummat muslim memadati Bundaran HI

Untuk itu, mari kita nikmati proses transisi menuju demokrasi, kita tidak boleh mundur selangkahpun ke belakang. Kebebasan yang telah kita raih hari ini bukanlah durian runtuh namun diperjuangkan dengan mahal. Jokowi sendiri adalah berkah dari demokrasi. Demokrasi membuat siapapun bisa bermimpi menjadi Presiden. Di era totalitarianisme, mimpi tertinggi anak petani adalah menjadi anak petani, anak tukang kayu menjadi tukang kayu, sementara birokrasi dan kekuasaan diwariskan secara turun temurun. PR tertinggal dari pengawalan kita atas transisi demokrasi ini adalah menciptakan demokrasi ekonomi. Perubahan struktur penguasa kapital harus menjadi sukses bersama kita di era kepemimpinan Jokowi yang merupakan simbol dari kepemimpinan sipil. Kepemimpian ini tidak boleh menjadi preseden gagal nya kepemimpian sipil. Masyarakat tak boleh kembali hidup dalam hororisme. (***)

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment