Menyibak Makna Historis Perjalanan Spiritual Nabi MUHAMMAD

Oleh: Ubaidullah FKIP UNSA Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana UMS

Muhammad manusia pilihan, Muhammad manusia suci, Muhammad manusia alim, Muhammad manusia terpercaya, Muhammad sang revolusioner. Namanya selalu dikenang sejarah, Dia dijadikan tauladan bagi seluruh alam. Sikap, mental, model dan life skill hidupnya telah diabadikan dalam wahyu Ilahi dan Hadistnya. Sungguh mulia diriMu wahai Nabiku, perjalanan spiritualmu telah disadurkan dan dipatenkan dalam kumpulan kebenaran wahyu yang kontenya adalah perintah Allah yang harus ditunaikan dalam  dunia, dan sebagai bekal menuju kaharibaan-Nya ”. Peristiwa Isra Mi’raj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sangat dramatik dan fantastik. Dalam tempo singkat-kurang dari semalam (minal lail), tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratil Muntaha). Walaupun terjadi dalam sekejap, tetapi memori Rasulullah SAW berhasil menyalin pengalaman spiritual yang amat padat di sana. Kalau dikumpulkan seluruh hadis Isra Mi’raj (baik sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk menceritakannya. Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke Masjid Aqsha) sampai perjalanan vertikalnya (ke Sidratil Muntaha). Pengalaman dan pemandangan dari langit pertama hingga langit ketujuh dan sampai ke puncak Sidratil Muntaha. Ada pertanyaan yang mengusik dalam diri kita. Mengapa Allah SWT memperjalankan hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan)? “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra [17]: 1). Dalam bahasa Arab kata lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; serta ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu’), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah. Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris ketimbang makna literalnya. Seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: “Ya lalila thul, ya shubhi qif” (wahai malam bertambah panjanglah, wahai Subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru yang menyesali pendeknya malam. Sungguh luar biasa, kisah perjalana spiritual yang dilakukan Nabi Muhammad atas perintah Allah SWT. Sebuah perjalanan singkat tapi penuh makna yang secara logika dasar sebagai manusia tidak mungkin dilakukan dalam waktu 1 malam. Ini sebuah bukti sejarah yang tidak memilki nilai manipulatif sedikitpun karena peristiwa ini terjadi atas hak prerogatif Allah terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Historitas sejarah inilah, membuat Nabi Muhammad SAW menerimah perintah shalat sebagai penyanggah utama dari agama Islam. Eksistensi dan urgensi perjalanan spritual yang dilakoni Nabi Muhammad SAW, menjdi bukti riel akan keeseaan Allah SWT yang ditunjukkan lewat RasulNya. Rasulullah SAW pada saat itu mampu bertemu secara langsung dengan Tuhan-Nya. Eksistensi Allah SWT jelas adanya dan tak bisa dipungkuri bahwa secara lahiriah Rasulullah SAW bertemu dengan Tuhan-Nya. Perjalanan Nabi Muhammad SAW, dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang. Dalam konteks ini, kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri mereka dari bimbingan wahyu, bisa saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini. Memang, ada approacehes yang paling tepat untuk memahami peristiwa bersejarah ini  adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AsShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.” Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran. Pendekatan imani-lah yang harus kita jadikan fundamen dalam memahami secara komprehensif peristiwa ini, karena ketika patokan-patokan logika dimainkan pada wilayah ini, maka sulit sekali kita bisa menerima kebanaran yang dibawah oleh Rasulullah saw kepada kita. Dengan demikian kekuatan pedekatan imanih inilah, harus betul-betul terejewantah dalam setiap diri umat Muhammad. Ada dua makna yang kemudian dapat dipetik dari peristiwa perjalanan spiritual Nabi Muhammad saw ini: Pertama, ditemukan dan diterimanya petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Maha Esa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya. Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).

Sebagai kongklusi objektif dari peristiwa ini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia dan di akhirat kelak, merupakan sebuah kehendak dan ketetapan Allah swt. Peristiwa ini mengajarkan untuk lebih memahami keeseaan Allah yang dibawah oleh Rasul-Nya. Semua peristiwa atau kejadian yang terjadi dimasa itu, telah termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan diutunjang oleh Hadist sebgai bukti bahwa kebanaran yang diterimah Rasulullah wajib pelajari, dipahami dan diaktualisasikan dalam setiap kehidupan kita. Perintah shalat yang diterima Rasulullah pada perjalanan spritual ini, menjadi sebuah kekuatan untuk mengenal Allah dan selalu bertaqarrub kepada-Nya. Karena dengan shalat sebagai istrumen penataan jiwa, akal, dan hati sehingga menjadi bersih dan tenang dalam mejalani hidup dan kehidupan. Shalat menjadi perbedaan mutlak antara kita umat muslim dengan umat nasrani. Keyakinan kita akan eksistensi shalatsebagai kebutuhan dasar dalam bergama menjadi jelas adanya, bahwa shalatlah yang akan menjadi penolong utama dan tiang dari agama ini. ***

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment