SP Sumbawa Desak Pemerintah Cabut Kebijakan yang Mendiskreditkan PRT

Sumbawa, PSnews – Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa memperingati Hari Buruh Migran Internasional dengan melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sumbawa (18/12/2017). Mereka diterima langsung oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi ~ Syafruddin Nur .

Dalam pernyataan sikap yang disampaikan oleh Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Sumbawa, Nuraidah memaparkan, bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar dan memiliki jumlah remitance yang tinggi. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Kabupaten Sumbawa terkenal dengan jumlah pengiriman tenaga kerja keluar negeri yang cukup besar, terutama buruh migrant perempuan (BMP) yang mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Minimnya perlindungan perempuan buruh migran (PBM) merupakan implikasi dari paradigma pemerintah yang lebih mementingkan aspek penempatan dan tata niaga dari pada aspek perlindungan. PBM lebih dipandang sebagai komoditas untuk diperdagangkan, dan  tidak dianggap haknya sebagai manusia, sebagai perempuan maupun sebagai pekerja. Situasi Perempuan Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga  asal Sumbawa masih terus mengalami kekerasan dan pelanggaran hak.

Kebijakan Buruh Migran di Indonesia, nyatanya masih mengdiskriminasikan pekerja  rumah tangga migran, dimana kebijakan tersebut membuat  perempuan rentan mengalami trafficking. Dalam Keputusan Menteri Tenaga kerja Indonesia Nomor 260 tahun 2015 (Kepmen 260) tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Perseorangan (PRT) ke Negara-Negara KawasanTimur Tengah, justru memperbesar  peluang terjadinya trafficking. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juga masih memuat pengaturan yang diskriminatif.  Khususnya untuk PBM-PRT diwajibkan berangkat melalui swasta/PPTKIS. Pengaturan tersebut tidak hanya diskriminatif, tetapi juga memperlihatkan Negara masih mengalihkan tanggung jawabnya untuk melindungi perempuan buruh migrant yang paling rentan khususnya pekerja disektor Domestick. Tak hanya itu, pasal-pasal diskriminatif yang ada dalam UU No. 39 Tahun 2004 (UU PPTKILN) diantaranya pelarangan terhadap perempuan hamil, dan kewajiban surat izin suami/pasangan, tetap  dipertahankan di dalam UU PPMI.

Di Kabupaten Sumbawa sendiri telah ada Perda No. 8 Tahun 2015 tentang Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja ke Luar Negeri, yang diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi perempuan buruh migran asal Sumbawa, namun hingga saat ini belum diimplementasikan dengan baik. Hal ini disebabkan karena pemerintah baru dalam tataran melakukan sosialisasi saja, ini saja belum dilakukan secara komprehensif. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak tahu ada perda baru hasil revisi perda sebelumnya. Bahkan beberapa pemerintah desa belum mengetahui ada perda baru. Belum lagi dalam tataran implementasi masih banyak yang belum direalisasikan misalnya membentuk LTSP dan KPTKI. Padahal kedua lembaga ini sangat dibutuhkan masyarakat sebagai tempat untuk pengurusan pemberangkatan TKI biar lebih efektif dan efesien serta mengadukan persoalan yang dihadapi PBM.

Berdasarkan situasi diatas, Solidaritas Perempuan Sumbawa menyatakan :

  1. Mendesak pemerintah khusunya Disnakertrans Kabupaten Sumbawa untuk segera membentuk LTSP dan KPTKI
  2. Mendesak dilakukan revisi Perda No.8 Tahun 2015 agar dapat menyesuaikan dengan UU No.18 Tahun 2017.
  3. Segera cabut KEPMENAKER nomor 260 tahun 2015 tentang penghentian dan pelarangan penempatan ke negara – negara di Timur Tengah
  4. Mendesak Pemerintah Sumbawa untuk segera menyelesaikan persoalan Trafficking yang dialami oleh Perempuan Buruh Migran asal Sumbawa atas nama Nora Komalasari, Lia Santia dan Lilis Sidarsyah.
  5. Mendesak pemerintah untuk segera Tindak semua pelaku trafficking perempun buruh migran. (

Komentar

comments

Shares

Related posts

Leave a Comment