Oleh : DR. A. RACHMAN ALAMUDY, SH, MSi
( Pimpinan DPRD Kabupaten Sumbawa – NTB )
Pergeseran nilai yang terjadi dalam konstelasi politik nasional maupun lokal semakin tidak menentu, bahkan kepercayaan publik terhadap partai politik menunjukkan ke arah yang tidak mengembirakan dan bahkan hampir berada di titik nadir. Sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya konflik internal, beberapa partai politik yang ada, hingga tidak ada lagi prosedur serta mekanisme organisasi yang menjadi tolak ukur bagi para kadernya. Dalam menyikapi sepak terjang kadernya sendiri dalam menjalani roda organisasi, bukankah setiap kader partai politik diharapkan untuk tetap menjunjung tinggi aspek kepribadian atau moral yang merupakan unsur penting bagi seorang kader, karena sepintar apapun ilmu yang dimiliki dan sehebat apapun performance, bila tidak didukung kualitas moral yang baik, maka kader dimaksud tidak akan bermanfaat bagi sebuah organisasi. Terebih lagi dalam partai politik dituntut para kadernya untuk selalu diberi kebebasan untuk berkreasi serta diberikan tempat yang terhormat dalam koridor kecerdasan dan kesantunan politik, mengedepankan panggilan politik bagi seorang kader akan jauh lebih baik dan bukan politisi panggilan, karena sejatinya kerja politisi adalah menjalankan keyakinan cita-cita dan ideologi politik, kemudian memperjuangkan keutamaan publik dan kebaikan bersama.
Karena itu, kerja politik sesungguhnya memanggul kemuliaan dan kehormatan ketika semuanya berjalan sesuai dengan AD/ART, peraturan organisasi serta berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi partai politik, politisi sejati bekerja atas dasar panggilan hidup, sehingga basisnya adalah keyakinan terhadap nilai-nilai ideologi yang dianutnya.
Ketika politik tidak menjadi panggilan hidup, maka politisi bekerja tidak lebih dari sekedar profesi. Jika politisi dianggap sekedar profesi maka logika pasar yang akan berbicara, bahwa kerja politik hanya dipertukarkan dengan nilai-nilai materi. Begitu pula dengan jabatan politik hanya sekedar jembatan untuk memburu materi, popularitas juga hanya dimaknai sebagai sarana untuk menghimpun materi, namun ketika politisi bekerja sebagai panggilan hidup, apa yang dilakukan adalah perjuangan untuk membumikan keyakinan politik.
Politisi tidak dimaknai sebagai sekedar profesi, melainkan sebagai aktivis dan pejuang yang benar-benar dapat menghayati pekerjaan tersebut. jika kemudian kerja politiknya menghasilkan jabatan, kedudukan, kekuasaan, popularitas dan bahkan materi, didayagunakan untuk melanjutkan kekuatan politiknya menjadi lebih bertenaga dan efektif. Maknanya politisi bekerja untuk memenuhi sebuah komitmen etisnya. Sebagai khalifah yang mesti mendatangkan faedah sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang lain. Politisi akan selalu memandu kerjanya dengan sebuah komitmen pada keutamaan publik, kebaikan bersama dan kemaslahatan orang banyak. Politisi sejati memang harus bersedia dan rela mengambil peran seperti itu, jika tidak maka politisi tidak lebih dari tukang yang pencapaiannya kerja politiknya akan dipertukarkan dengan jabatan, kekuasaan, popularitas dan materi semata. Politisi model ini hidup sebagai tukang politik, siapa dan apa saja yang mendatangkan kursi, popularitas dan materi akan akan selalu dikejar. Namun ketika dihadapkan pada kenyataan yang obyektif atas kehadiran politisi yang lahir dengan dasar panggilan politik menjadi nyaris tak bermakna, jika dikaitkan dengan dominasi Jakarta terhadap daerah melaui regulasi yang menjadi proses yang menentukan ruang gerak kehidupan masyarakat daerah.
Seperti yang dikatakan oleh FATHUR RAHMAN S.IP, MA, dosen ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Brawijaya – Malang, Penaklukan, Penyeragaman, dan Kontrol Jakarta terhadap Daerah mula-mula dibangun di atas pondasi UU 5/1974 tentang Pemerintah Daerah. Melalui UU ini Jakarta menentukan menggerakkan masyarakat daerah, dalam konteks ini daerah tidak mempunyai otonomi sebagaimana dibayangkan dan dituliskan UU 5/1974 serta peraturan turunannya. Mengapa demikian.? Karena, Negara yang memberikan otonomi, pemberian otonomi dari negara kepada daerah dalam bahasa AFAN GAFFAR (2002) bisa dimaknai dalam dua hal. Pertama, sebagai wujud penafikan hal-hal politik pemerintah daerah dan masyarakat daerah.
Kedua, merupakaan sebuah refleksi dari sikap pemerintah yang menempatkan dirinya sebagai intitusi yang seolah-olah “Benevolen” yakni sebagai intitusi yang bersifat melindungi, pemurah dan baik hati.
Pandangan AFAN merupakan cermin tentang bagaimana negara masuk ke dalam daerah. Daerah tidak dilihat sebagai entitas politik yg berjarak dan berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari pusat itu sendiri. Kemampuan negara masuk dan mengintervensi daerah cukup berhasil. Daerah hanyut dalam mengikuti ritme penguasa Jakarta. Artinya daerah sangat ditentukan oleh Jakarta dan ketika kekuasaan Jakarta rontok pada tahun 1998 berimplikasi pada berantakannya bangunan kuasa antara pemerintah Jakarta dan daerah.
Untuk membuktikan argumen ini tidaklah sulit dengan bersandar pada UU 22/1994 tentang Pemerintah Daerah. Secara subtansi UU ini membawa perubahan mendasar pada : pengelolaan pemerintahan sentralistik, otoritarian menjadi desentralisasi – demokratik, dari model Hirarkis menjadi sejajar. Perubahan terminologi “Urusan” menjadi “Kewenangan”. Pergantian ini tentu saja dipicu oleh semangat desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar pada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan Pemerintahan dan Pembangunannya sendiri. Tatkala kekuasaan terpusat pada kabupaten/ Kota lewat devolusi politik (YB. HIDYO HARI M 2006). Ternyata Provinsi menjadi korban dan terpinggirkan.
Karena itu, melalui devolusi politik pada tataran implementasinya menimbulkan kecemburuan yang luar biasa pada level provinsi. Kecemburuan itu dimungkinkan karena UU 22/1999. Eksistensi provinsi tidak terlalu signifikan, kekuasaanya disunat dan terjadi pembangkangan Kabupaten/Kota terhadap provinsi. Pengaturan hubungan pusat daerah harus dimaknai dalam kerangka keinginan Jakarta untuk menarik kembali kewenangan politik yang telah diberikan. Penarikan inilah yang biasa disebut dengan Resentralisasi.
Lagi menurut Fathur Rahman S.IP, MA, bahwa Pusat dengan segenap Gubernur telah berhasil melakukan Resentralisasi, majalah Flamma (2005) secara kritis menjelaskan bahwa UU 32/2004 yang secara tegas menghendaki hirarkis kekuasaan pusat – provinsi – daerah – kecamatan dengan tujuan menciptakan pola hubungan yang serasi. Selanjutnya UU ini juga tidak memberi ruang mosi tidak percaya dan posisi rakyat lemah jika berhadapan dengan Kepala Daerah.
Argumennya adalah pusat bersifat tunggal dan daerah merupakan subsistem pemerintahan. Nalar ini secara jelas menggiring kita pada pemahaman bahwa Jakarta (Pusat) kuat dan harus mengontrol daerah dengan segenap hatinya. Karena pemahamannya demikian, maka daerah mengalami kelumpuhan kekuasaan sebagai konsekuensi logis dari resentralisasi. Pemulihan kekuatan camat dan gubernur pada satu sisi, dan pengurangan kekuatan DPRD dan BPD pada sisi yang lain, merupakan bagian dari skenario politik pusat dalam membangun kekuasaannya di daerah.
Karena itu, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa UU 32/2004 bahkan UU 23/2014 yang tidak terlalu jauh berbeda, merupakan duplikasi dari UU 5/1974, baik UU 32/2004, UU 23/2014 maupun UU 5/1974 sama-sama menempatkan pemerintah daerah sebagai “Penguasa Tunggal”.
Dikatakan sebagai penguasa tunggal karena tidak ada lagi pemisahan kekuasaan antara Daerah dengan DPRD. Begitulah pusat dengan mendudukkan DPRD dan Bupati/Walikota sebagai unsur pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan, tentu saja bertolak belakang dengan UU 22/1999, yang notabene mencoba melakukan pemisahan antara unsur pemerintah dengan unsur DPRD.
Masuknya DPRD sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah sama halnya dengan menafikkan eksistensi DPRD sebagai lembaga politik. Tentu saja, pandangan ini sangat ganjil kedengarannya, tetapi itulah realitas politik yang terjadi di tanah air. Demi proyek resentralisasi, pusat tidak mengindahkan logika “Trias Politika”. Kesetiaan dan kepatuhan daerah itu digeser menjadi kesetiaan dan kepatuhan pada pusat (Jakarta) dan pusat telah merumuskan dirinya secara sepihak sebagai personifikasi yang absah dari Indonesia itu sendiri (A. GAFFAR KARIM 2003 ; 14).
Itulah konsekuensi yang harus dihadapi oleh politisi yang mendapat panggilan untuk berjuang menjalankan keyakinan cita-cita dan ideologi politik, kemudian memperjuangkan keutamaan publik dan kebaikan bersama, karena semua kerja dan aktivitas politik sesungguhnya, memanggul kemuliaan dan kehormatan untuk selalu menempatkan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi dan golongan.
Kendati pun kita harus mengarungi jalan terjal politik dengan berbagai intervensi Negara melalui regulasi yang berwajah tidak bersahabat, sikap optimis harus terus dipelihara sambil mengupayakan secara bersama, cara mengatasi permasalahan secara institusional, dan disinilah pentingnya para pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dengan cara memahami saling ketergantungan realitas serta kesediaan menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan harus mampu digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang dapat mendorong partisipasi warga untuk merealisasi kebajikan bersama dalam menguatkan prinsip gotong royong, sesuai dengan nilai esensial Revolusi Mental, sebagai suatu prasyarat yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu kerangka strategi rencana Pembangunan Nasional. Akhirnya seorang politisi dituntut untuk harus mampu merawat harapan dan optimisme dalam meperjuangkan cita-cita bagi terwujudnya Program Pengentasan Kemiskinan, Penyiapan Lapangan Kerja, Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi dan berorientasi pada Penyelamatan Lingkungan demi Perspektif Daerah Sabalong Samalewa, KHUSUSNYA DAN DAERAH-DAERAH LAIN DI SELURUH NUSANTARA PADA UMUMNYA SEMOGA…..!!!!!